Oleh. Mariyam Sundari
(Jurnalis Ideologis, Kontributor Muslimahtimes.com)
Muslimahtimes.com–Setelah beraktivitas seharian, aku lelah, dengan tertatih terus berjalan menuju kamar untuk memberikan hak tubuh, berbaring, beristirahat sejenak. Setelah berdoa, mulai kupejamkan mata. Namun, ingatan itu selalu hadir dalam benak sebagai pengantar tidurku. Ya, aku selalu mengingat dan mengenang dua perempuan kuat dalam keimanan dan kesabaran, yaitu Aafia dan Asiyah.
Sebagai penulis, juga pegiat sejarah, selalu kubaca kisah-kisah perjuangan dan perjalanan seorang perempuan hebat dalam Islam. Termasuk kisah-kisah tragis yang dialami para pejuang kaum hawa lewat buku, dari para guru, termasuk lewat media.
Aafia dalam Kenangan
Mataku terpana dengan satu kisah, banyak media menceritakan tentang penderitaan hidupnya, salah satunya adalah siasat.com. Kisah kubaca, tak terasa tubuhku bergetar, hati ini seperti teriris sembilu, dengan mata yang berkaca-kaca, aku tak mampu berucap satu kata pun, selain doa. “Ya Allah masukkanlah ia ke dalam surga,” ratapku penuh harap kepada-Nya.
Dialah Aafia Siddiqui, seorang dokter ahli perempuan tersohor di dunia, asal Karachi Pakistan yang menjadi Tahanan Guantanamo bay Nomor 650. Selama 86 tahun lamanya harus menjalani hukuman di penjara Amerika di Bagram.
Menurut Geo TV, Penjara Bagram adalah fasilitas yang AS mengelolanya di Afganistan, yang terkenal dengan penyiksaan brutal terhadap para tahanan. Aafia di penjara atas tuduhan anggota Al-Qaeda yang ingin melakukan percobaan pembunuhan terhadap tentara AS. Di penjara, beliau dikabarkan satu tempat bersama laki-laki dan mengalami penderitaan yang luar biasa.
Berdasarkan informasi lewat media yang kubaca, Fowzia Siddiqui (saudara kandung Aafia) menyampaikan penyiksaan yang dialami oleh Aafia setelah diculik bersama ketiga anaknya (Ahmed, Maryam dan Sulaiman). Diduga dilecehkan secara seksual, mendapatkan penyiksaan sampai mau menandatangani pengakuan serta dibius secara paksa, mendapatkan pukulan senapan sampai terluka dan berdarah. Dan yang paling menyesakkan hatiku setelah membaca kisah tersebut adalah ia dipaksa berjalan di atas Al-Qur’an dalam keadaan tanpa sehelai pun baju di tubuhnya, juga termasuk dipaksa untuk menyaksikan secara langsung anak-anaknya disiksa.
Ada satu sebab yang paling mengiris hati ini yaitu ketika ia disiksa dan dilecehkan, teriakannya terdengar siang dan malam oleh tahanan lain. Sehingga, mereka yang mendengar sampai melakukan mogok makan selama enam hari, untuk menyatakan protes atas pelecehan bagi para penculik Amerika.
Ya Allah, duhai yang Maha Menyaksikan, menurut pengetahuan yang kubaca. Apakah mungkin seorang Aafia yang memiliki 144 gelar pendidikan Kehormatan serta sertifikat spesialisasi Neurology (ilmu syaraf), juga wanita pertama di dunia yang memiliki gelar kehormatan Ph. D dari Harvard University, termasuk sebagai penghafal Al-Qur’an. Sampai melakukan percobaan pembunuhan terhadap tentara Amerika?, pikirku dalam benak merasa tidak percaya.
Satu kata dari Aafia yang membuat goresan luka dalam hatiku, dia berpidato pada saat vonis dijatuhkan. “Saya sudah mati, sejak pertama kali saya diperkosa dan digeledah dalam keadaan telanjang.” Dari perkataan itu, sebagai sesama perempuan seperti merasa dihinakan dan tidak dihargai kehormatannya di mata manusia keji.
Asiyah Istri yang Tegar
Di sisi lain, ada perempuan yang tegar, hebat, dan mulia hingga aku terus mengenangnya. Asiyah, iya, dia adalah Asiyah binti Muzahaim istri dari penguasa Mesir, yaitu Fir’aun yang berkuasa pada masa kenabian Musa a.s.
Sejarah banyak yang mengabadikan kisahnya termasuk para penulis dalam media sosial. Salah satunya yang kubaca adalah muslimah.id. Diceritakan, Asiyah pernah mengalami ujian penyiksaan dari manusia keji yaitu suaminya sendiri Fir’aun.
Ketika mengetahui istrinya beriman kepada Allah Swt, Fir’aun menjadi murka dan mengancam akan menyiksa. Namun, dengan keimanan yang kokoh Asiyah tetap teguh hati, tidak goyah pendiriannya sedikit pun. Firaun menyiksanya dengan memasangkan tonggak kemudian diikatkan pada kedua tangan dan kaki. Lalu, Asiyah diletakkan di bawah panasnya sengatan matahari, dalam keadaan kedua tangan dan kaki dipaku, juga diletakkan di atas punggungnya batu yang besar.
Dengan siksaan yang menimpa secara bertubi-tubi, akankah perempuan hebat ini lemah dan mohon ampunan kepada manusia zalim yang menyiksanya. Jawabnya adalah tidak. Justru, semakin disiksa malah semakin kuat keimanannya.
“Keyakinan kuat inilah yang harus diamalkan oleh para muslimah sedunia, karena di mata perempuan mulia seberat apapun siksaan yang menimpa tidaklah sebanding dengan apa yang dijanjikan Allah, berupa surga apabila bersabar,” ujarku berharap kepada para pembaca, terkhusus muslimah.
Ternyata kisah Asiyah ini diabadikan dalam Al-Qur’an, Allah Swt berfirman yang artinya, “Dan Allah membuat istri Fir’aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: ‘Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam Firdaus, dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim’.” (QS. At-Tahrim: 11)
Kenangan yang Terus Teringat
Sebagai muslim, rasa risau dan khawatir yang melanda pikiranku atas kezaliman yang ditimpakan kepada muslim lainnya terkhusus perempuan, pasti ada. Karena muslim itu ibarat satu tubuh, jika ada bagian satu tubuh saja yang sakit maka akan dirasakan juga oleh seluruh bagian tubuh yang lainnya. Hal ini sesuai dengan hadis yang pernah kubaca, bahwa Rasulullah saw, beliau bersabda, “Seorang muslim itu saudara bagi muslim yang lainnya” (HR. Bukhari dan Muslim)
Seperti faktanya saat ini masih banyak orang-orang yang membenci syariat yang dibawa oleh Rasulullah saw, karena tidak lain yang mereka inginkan adalah menjauhkan aturan Islam dari kehidupan. Sehingga, syariat Islam itu sendiri sudah mulai dikaburkan dan terancam dihilangkan.
“Jika aturan Islam dijauhkan dari kehidupan. Akibatnya kezaliman dan kemaksiatan besar jelas akan terus terjadi, terutama korbannya adalah kaum yang lemah yaitu anak-anak dan perempuan. Jadi, perempuan merupakan salah satu target yang menjadi sasaran bagi orang-orang yang tidak bertanggung jawab,” cemasku mengenang nasib perempuan dan umat.
Kegelisahan dalam diri ini terus melekat seolah tak pernah hilang. Hati ini risau dan terus bertanya-tanya dalam diri. Tapi apa daya, aku hanyalah pribadi yang lemah dan tak mampu berbuat apa-apa.
Lagi-lagi hanya doa yang bisa kupanjatkan. “Semoga Allah menyelamatkan umat khususnya para perempuan muslimah. Dengan melindungi, memperhatikan, memberi keamanan, dan mengabulkan doa-doa para perempuan yang terzalimi, tersakiti, dan memohon pertolongan, serta menghadirkan pemimpin yang diinginkan umat (Khalifah)” harapku dalam doa.
Hidup di dunia adalah sebatas ujian tak terkecuali perempuan. Namun, aku hanya mengambil hikmah dari kisah Aafia dan Asiyah ini yaitu adanya ketegaran, kesabaran, serta keimanan yang melekat luar biasa. Sebagai teladan yang harus kuingat juga muslimah semuanya, bahwa seberat apa pun siksaan yang menimpa diri atas ujian dunia. Itu tidak akan terasa berat dan jadi beban jika pemikiran dan hati ini hanya tertuju pada keselamatan dari api neraka. Dengan besar harapan untuk bisa berjumpa dengan Allah Swt di surga kelak. Aamiin.[]