Oleh. Arina Sayyidatus Syahidah
(Aktivis Dakwah Muslimah)
Muslimahtimes.com–Isu Islamofobia bukanlah hal baru, topik itu semakin menjadi perhatian utama dalam konteks dunia yang semakin kompleks dan saling terkait. Islamofobia, sebagai pandangan negatif dan prasangka terhadap agama Islam dan umat Islam, telah mengakar dalam berbagai lapisan masyarakat di berbagai belahan dunia. Dikutip dari Jakarta, CNBC Indonesia, suasana di India sedang memanas setelah terjadi kematian lima orang akibat bentrokan antara komunitas Hindu dan Muslim. Insiden tersebut terjadi pada hari Senin (31/7/2023) tidak jauh dari New Delhi.
Sebelumnya, Fatma Sunardi, seorang aktivis muslimah dan pengamat politik, memberikan tanggapan melalui MNews pada hari Rabu (25-1-2023) bahwa demokrasi telah membuka jalan bagi kalangan nasionalis Hindu untuk mewujudkan aspirasi primordial mereka serta mengeluarkan rasa benci terhadap muslim India melalui undang-undang yang diakui oleh pemerintah. Dalam konteks ini, undang-undang tersebut telah memberikan dasar sah bagi tindakan kekerasan, termasuk pengrusakan properti milik warga muslim. Demokrasi di India dinilai telah menjadi alat bagi pemerintah untuk melakukan tindakan kekerasan dan ancaman, yang mengakibatkan ketakutan dan penderitaan bagi warga negara India yang beragama muslim.
Situasi ini menjadi bukti bahwa demokrasi telah gagal memberikan jaminan kesetaraan dan keadilan kepada seluruh warga negara. Penerapan demokrasi tidak mampu memenuhi tuntutan keadilan yang dihadapi oleh komunitas muslim yang merasa tertindas dan tak diberi perlindungan yang adil dan merata oleh pemerintahan saat ini.
Tidak hanya itu, rangkaian insiden memprihatinkan terus berlanjut. Setelah ramainya insiden yang terjadi di Negeri Seribu Warna tersebut, muncul laporan tentang aksi pembakaran Al-Qur’an yang dilakukan oleh kelompok anti-Islam Danske Patrioter (Patriot Denmark) di depan masjid Kedutaan Turki di Copenhagen pada Rabu (2/8/2023). Kabarnya, anggota kelompok tersebut mengeluarkan seruan-seruan yang mengecam agama Islam di depan gedung kedutaan dan memajang spanduk yang berisi pesan-pesan anti-Islam, sambil juga mengajak untuk tidak menggunakan produk-produk asal Turki. Insiden ini tak terjadi satu-dua kali saja, insiden tersebut justru dilakukan tiga kali berturut-turut. Kejadian pertama terjadi pada hari Senin, di mana mereka melakukan pembakaran salinan Al-Qur’an di area sekitar Kedutaan Besar Arab Saudi di Copenhagen. Insiden kedua dan ketiga terjadi pada hari Selasa dan Rabu berturut-turut, di mana anggota kelompok Patriot Denmark melakukan aksi serupa dengan membakar Al-Qur’an di sekitar Kedutaan Besar Turki di Copenhagen.
Sungguh menyayat hati, ternyata islamofobia semakin merajalela tanpa henti. Semakin banyak orang, baik nonmuslim maupun muslim itu sendiri, yang menyuarakan kebencian dan cela terhadap agama Islam. Mirisnya, itu terjadi di berbagai negara. Selama prinsip-prinsip HAM dan kebebasan berekspresi masih menjadi landasan yang diberlakukan dalam masyarakat, fenomena memilukan ini masih belum dapat teratasi. Bahkan upaya PBB dalam menetapkan hari anti Islamofobia tidak juga mampu mengatasi hal tersebut dengan tuntas, buktinya sampai saat ini masih ada islamophobia yang dibiarkan berjalan-jalan di berbagai penjuru negeri. Mereka melakukan aksi penyerangan, pencelaan dan penistaan terhadap Islam dengan bangga dan terang-terangan, namun dunia tak mampu mengatasinya. Tak ada sanksi yang memberikan efek jera bagi para pelaku islamofobia, yakni mereka yang menolak kebenaran dan menabur kebencian terhadap kebenaran itu sendiri. Akibat pemikiran sekuler-liberal yang telah lama bersarang pada diri mereka membuat hati dan pikiran mati, sehingga tak heran bila seringkali terjadi pembunuhan, penyerangan, penistaan terhadap simbol-simbol Islam maupun penganut Islam.
Bahkan meski PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) telah menetapkan hari tanpa islamofobia yang disebut The International Day to Combat Islamofobia pada 15 Maret, nyatanya itu tak cukup untuk menghentikan penistaan dan penyerangan yang dilakukan oleh para islamofobia kepada umat Islam.
Serangan-serangan yang ditujukan kepada umat islam tidak hanya terbatas pada beberapa tempat atau dilakukan oleh individu yang disebut memiliki masalah mental atau gangguan psikologis. Sebaliknya, serangan-serangan terhadap umat muslim sesungguhnya berlangsung secara sistematis di berbagai belahan dunia. Ini merupakan manifestasi dari islamofobia, yakni sikap anti-Islam. Selain itu, ada juga istilah xenophobia, yang mencakup sikap anti terhadap imigran yang beragama Islam. Kedua pandangan ini terus disuarakan, terutama di negara-negara Barat.
Fenomena ini tumbuh seiring memburuknya sistem kapitalisme. Kaitannya adalah ide-ide buruk dan berbahaya seperti rasisme atau semacamnya yang mana akan menghasilkan islamofobia, muncul karena sistem liberal yang menaungi mereka selama ini sebenarnya memfasilitasi aksi atau tindakan mereka itu. Ideologi kapitalisme jelas berbenturan dengan prinsip-prinsip Islam. Mereka menyadari bahwa Islam akan bangkit dan menyingkirkan kemaslahatan-kemaslahatan yang selama ini mereka anggap benar, dan hal ini menimbulkan kecemasan dan ketakutan yang mendalam pada diri mereka. Mereka sebenarnya adalah orang-orang yang denial namun tetap bersikeras untuk menolak kebenaran yakni islam itu sendiri, sehingga islamofobia menjadi semakin merajalela bahkan hingga saat ini.
Umat Islam hari ini tak punya perlindungan yang kokoh dan seolah tak punya hak yang sungguh-sungguh diberikan. Oleh karena itu, umat Islam membutuhkan adanya perlindungan sejati yang mampu menjaga dan melindungi kehormatan, kemuliaan Islam dan hak-hak kaum muslim. Umat Islam harus memiliki kekuatan besar dalam bentuk institusi negara yang kuat dan adidaya agar mampu mencegah Islamofobia.
Negara Islam Melindungi Kemuliaan Agama dan Umatnya
Sikap dan pandangan negatif terhadap Islam, yang dikenal sebagai Islamofobia, bukanlah sesuatu yang baru. Islamofobia telah ada sejak masa awal kehadiran Islam sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya,
“Demikianlah, tidak seorang rasul pun yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka, melainkan mereka mengatakan, ‘Ia adalah seorang tukang sihir atau orang gila.’ Apakah mereka saling berpesan tentang apa yang dikatakan itu? Sebenarnya mereka adalah kaum yang melampaui batas.” (QS. Az-Zariyat [51]: 52—53)
Fenomena Islamofobia juga dianggap sebagai manifestasi dari ambisi kapitalis yang melibatkan kepentingan-kepentingan ideologis. Dulu, masyarakat nonmuslim pada awalnya tidak memiliki persepsi bahwa Islam memiliki karakter kejam atau intoleran. Namun, demi tujuan menciptakan dominasi atau kepemimpinan dalam tataran ideologi, kelompok-kelompok dengan orientasi kapitalis secara bertahap membentuk narasi-narasi yang menggambarkan Islam sebagai agama yang kejam dan tidak toleran. Narasi ini mencapai puncaknya dengan peristiwa serangan World Trade Center (WTC) pada 11 September 2001, dan sejenisnya.
Menariknya, catatan sejarah mencatat bahwa dalam masa lalu, bangsa Romawi justru menyatakan bahwa mereka lebih memilih hidup di bawah pemerintahan Islam daripada di bawah pemerintahan sesama pemeluk agama mereka (Kristen, dll). Ini karena Islam terkenal dengan prinsip-prinsip keadilan yang mencakup seluruh manusia, bahkan yang non-Muslim, yang diperlakukan setara dengan umat muslim lainnya. Prinsip-prinsip ini membuktikan bahwa Islam mengutamakan rasa keadilan dan peduli terhadap sesama manusia, tidak memandang latar belakang agama selama mereka bukan termasuk orang-orang kafir yang menyatakan peperangan. Pandangan ini terwujud dalam perlakuan adil dan penghormatan terhadap seluruh individu manusia sesama ciptaan Allah Swt. juga tugas mutlak sebagai wali Allah di bumi (Pemimpin/Khalifah).
Cara Islam mendakwahi nonmuslim pun tidak semena-mena, Islam tidak menggunakan kekerasan maupun cacian dalam berdakwah. Islam punya aturan tersendiri, karena tujuannya bukanlah memukul namun justru merangkul. Islam juga tidak memaksakan nonmuslim untuk masuk dalam agama Islam, Islam berdakwah dengan tenang, aman dan damai tanpa perlu bersekutu dengan agama yang bukan muslim. Dari Ibnu Umar r.a., Rasulullah Muhammad saw. bersabda, “Seorang Muslim bersaudara dengan muslim lainnya. Ia tidak menganiaya, tidak pula menyerahkannya (kepada musuh). Barangsiapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya, Allah akan memenuhi pula kebutuhannya. Barangsiapa yang melapangkan dan seorang muslim suatu kesulitan, Allah akan melapangkan baginya satu kesulitan pula dan kesulitan-kesulitan yang dihadapinya di hari kemudian. Barangsiapa yang menutup aib seorang Muslim, Allah akan menutup aibnya di hari kemudian.”
Namun, ironisnya, agenda kapitalis terus menyebarkan pandangan negatif tentang Islam sebagai bagian dari strategi untuk memperkuat dominasinya. Di sanalah sebab musabab adanya sebutan-sebutan Islam itu radikal, ekstremis, ataupun teroris. Mereka sendirilah yang menyebarkan Islamofobia. Tujuan utama di balik upaya ini adalah menghasilkan sentimen antipati dalam masyarakat terhadap Islam dan sekaligus membesarkan posisi kapitalis sebagai pemimpin dalam arena global. Keberhasilan dalam menyebarkan opini negatif tentang Islam akhirnya melahirkan prasangka buruk di seluruh dunia yang dapat memicu konflik besar.
Cara satu-satunya untuk mengakhiri perilaku yang keji ini adalah dengan mendirikan lembaga Islam yang akan menjalankan hukum Islam secara komprehensif. Saat negara menerapkan prinsip-prinsip hukum Islam dengan konsisten, integritasnya akan terlihat dengan jelas. Masyarakat akan menikmati keadilan dan memperoleh kesejahteraan yang semestinya. Dengan sendirinya, tuduhan negatif terhadap Islam akan terpatahkan. Jika masih ada yang berani menyebarkan tudingan merugikan terhadap Islam, pemerintahan Islam tidak akan tinggal diam. Tindakan tegas akan menjadi respons yang pantas.
Allah Swt. telah mengabarkan kemenangan Islam atas para pendusta, “Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir membencinya. Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama, meskipun orang-orang musyrik membencinya.” (QS Ash-Shaff [61]: 8).