Oleh. Riza Maries Rachmawati
muslimahtimes.com – Baru-baru ini konflik etnis Rohingya kembali diperbincangkan, pasalnya gelombang pengungsi Rohingya dengan menggunakan kapal kembali mendarat di pantai Aceh, Indonesia. Pada hari Selasa (14/11/2023) lalu, menurut catatan Amnesty telah berlabuh di Pidie Aceh kapal yang berisi 194 pengungsi Rohingya. Di susul keesokan harinya kapal berisi 147 pengungsi datang lagi ke Pidie. Berdasarkan sumber lokal di tempat kejadian, kedua kapal tersebut diterima dengan dengan baik dan semua pengungsi telah ditempatkan ditempat penampungan. (tirto.id, 19-11-2023)
Kapal lain yang berisi sekitar 247 pengungsi Rohingya, Kamis (16/11/2023) mencoba turun di Bireun, Aceh. Penduduk setempat menyediakan makanan bagi para pengungsi dan memperbaiki kapal yang mereka tumpangi. Namun, mereka ditolak dan mencoba masuk kembali ke paraian Aceh Utara pada sore hari, namun kembali menghadapi penolakan. Hingga kemarin, Sabtu (18/11/2023), perahu pengungsi Rohingya tersebut masih terombang-ambing di peraian Aceh. (tirto.id, 19-11-2023)
Bagaimana Respons Pemerintah Indonesia?
Juru bicara Kementerian Luar Negeri, Lalu Muhammad Iqbal menyampaikan berdasarkan pada aturan Konvensi 1951 dimana Indonesia tidak ikut meratifikasi. Indonesia tidak memiliki kewajiban untuk menerima pengungsi Rohingya, apalagi untuk memberikan solusi permanen bagi pengungsi tersebut. Iqbal pun mengatakan banyak negara pihak konvensi justru abai kepada urusan kemanusiaan Rohingya. Mereka menutup pintu bahkan menerapkan kabijakan push back terhadap para pengungsi itu. Iqbal pun memperingatkan Indonesia untuk berhati-hati dalam menerima pengungsi karena ada banyak pihak yang memanfaatkan belas kasih kepada pengungsi untuk Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). (tirto.id, 16-11-2023)
Tak hanya enggan untuk memberikan pertolongan terhadap pengungsi Rohingya, pemerintah pun tidak mampu untuk mendamaikan konflik antara warga dan para pengungsi Rohingya yang sebelumnya sudah datang. Konflik di antara mereka semakin hari semakin membesar sehingga warga di sekitar lokasi pengungsian menyampaikan ultimatum bagi pengungsi untuk pindah ke lokasi lainnya maksimal Minggu (19/11/2023). Padahal keduanya, baik warga maupun pengungsi Rohingya, meraka adalah sesama muslim.
Solusi Pragmatis Dunia Internasional
Kaum muslimin Rohingya sudah sangat lama mengalami kezaliman luar biasa. Di negara asalnya mereka diperlakukan keji oleh pemerintah Myanmar, rumah-rumah mereka dibakar, mereka diusir, dianiaya, dan diperlakukan dengan sangat keji. Akhirnya kaum muslimin Rohingya terpaksa meninggalkan kampung halaman mereka dan mengungsi ke negara tetangga seperti Bangladesh. Saat mereka ditempatkan di kamp Bangladesh pun, kondisi kamp jauh dari kata layak. Sehingga hal tersebut memaksa mereka untuk berlayar tanpa arah ke negeri-negeri Muslim terdekat. Dengan harapan mereka akan mendapatkan kehidupan yang lebih layak di tanah saudaranya sesama muslim.
Ironisnya, saat tiba di pantai negeri-negeri muslim nyatanya mereka terlunta-lunta dan tidak mendapat kepastian jaminan hidup. Sebagian ada yang hanya memberi penampungan sementara, memberi bantuan seadaya tanpa mengizinkan meraka untuk tinggal, bahkan ada yang sampai mengusirnya. Anehnya, PBB yang dikatakan sebagai polisi dunia tidak mengambil sikap tegas atas kejahatan kemanusiaan yang dialami etnis Rohingya. Misalnya, saat kaum Muslimin Rohingya terdampar di Aceh bulan Desember 2022 lalu, perwakilan UNHCR di Indonesia hanya mengatakan pihaknya menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah Indonesia soal lokasi khusus penampungan. Sementara untuk negara lain, PBB tidak mendorong dan memaksa negara lain untuk membantu pengungsi Rohingya.
Demikianlah sikap hipokrit lembaga dunia kapitalisme, mereka tidak akan pernah berada di pihak kaum muslimin jika kaum muslimin tidak memberikan keuntungan kepada mereka. Solusi yang mereka tawarkan akan selalu bersifat pragmatis misalnya dengan menampung pengungsi Rohingya. Padahal pangkal permasalahan ini adalah kezaliman penguasa Myanmar kepada kaum muslimin Rohingya.
Pertolongan Kaum Muslimin Terbelenggu Nasionalisme
Konsep nation state (negara bangsa) yang selama ini ditanamkan oleh negara-negara Barat telah meracuni negeri-negeri muslim, sehingga melumpuhkan ukhuwah Islamiyah. Negara-negara tetangga, sekalipun itu negeri-negeri muslimin enggan menolong dan justru menolak pengungsi Rohingya. Sekalipun mereka mengetahui kondisi kaum muslim Rohingya yang sangat memprihatinkan. Padahal Allah Ta’ala telah berfirman : “(Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Anfal: 72)
Pemimpin muslim hari ini memalingkan muka dan melepaskan diri dari tanggung jawab terhadap nasib saudaranya. Di sisi lain, adanya sistem demokrasi kapitalis melahirkan pemimpin muslim yang lemah dalam mewujudkan kedaulatan untuk membebaskan muslim Rohingya. Hal ini terlihat dari tidak adanya desakan masif dari penguasa Muslimin di berbagai wilayah baik secara diplomasi, politik, maupun militer untuk menyelamatkan muslim Rohingya.
Khilafah akan Selamatkan Muslim Rohingya
Sejatinya ketertindasan yang dialami oleh kaum muslim Rohingya saat ini hanya dapat diselesaikan ketika umat muslim memiliki junnah (perisai) yang akan melindungi mereka dari berbagai serangan yang akan membinasakan umat muslim. Junnah atau perisai ini tidak lain adalah Daulah Khilafah. Sebab negara Khilafahlah yang bisa menerapkan secara nyata konsep bahwa muslim yang satu dengan muslim yang lain bagaikan satu tubuh dan tidak ada lagi sekat-sekat kebangsaan. Sebagaimana sabda Rasululah saw: “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam berkasih sayang dengan sesama mereka seperti satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuh akan merasakan baik (sakit) demam dan tidak bisa tidur.” (HR. Bukhari-Muslim)
Khilafah akan melindungi darah seluruh kaum muslimin, melindungi mereka dari segala bentuk penindasan terutama dari kaum kafir. Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya al-Imam atau (Khalifah) itu perisai, dimana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud)
Sebagai perisai, Khilafah menjamin penjagaan nyawa (jiwa) terhadap setiap warga negaranya, muslim maupun non muslim (ahlu dzimmah). Khilafah akan menerapkan aturan Islam yang mencegah dan membuat jera manusia untuk berbuat aniaya terhadap orang lain. Perbuatan aniaya tersebut bisa dengan melukai, menyerang secara fisik, sampai menghilangkan nyawa. Sebab Allah Swt berfirman: “Sesungguhnya siapa saja yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Siapa saja yang memelihara kehidupan seorang manusia, seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (QS. Al-Maidah [5]: 32)
Jika ada orang yang melanggar ketentuan ini Islam akan menjatuhkan sanksi yang keras bisa dalam bentuk diyat (tebusan darah) atau qishash (dibunuh). Dengan demikian, jiwa dan darah manusia pun terjaga. Adapun jika penganiayaan dilakukan secara terorganisasi oleh kafir harbi fi’lan, maka Khilafah akan memobilisasi pasukan militer untuk berjihad membela warga negaranya yang tertindas dan terancam jiwanya di mana pun mereka berada.
Wallahu’alam bi shawab.