Oleh: Endang Widayati
Muslimahtimes.com–Beberapa hari belakangan ramai di jagat media sosial tentang unggahan “Peringatan Darurat” yang bergambarkan Burung Garuda dan berlatarbelakang warna biru. Unggahan tersebut pertama kali diunggah di platform media sosial X oleh banyak akun dan influencer pada Rabu (21/08/2024).
Poster tersebut diunggah sebagai bentuk kekecewaan dan perlawanan masyarakat usai Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menganulir putusan Mahkamah Agung (MK) terkait ambang batas syarat pencalonan pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024. Puncak perlawanan masyarakat atas kekecewaannya terhadap penerapan demokrasi saat ini adalah dengan berunjuk rasa di depan gedung DPR. Unjuk rasa ini diikuti oleh berbagai elemen masyarakat, mulai dari public figure, komika, mahasiswa dan yang lainnya.
Di tengah kondisi itu, terdapat unggahan lain yang berlawanan yang juga ramai di media sosial. Unggahan tersebut menyerukan bahwa “Indonesia Baik-Baik saja”. Terkuak kemudian bahwa unggahan itu diduga seruan dari para buzzer. Beredar tangkapan layar yang mengindikasikan bahwa seruan itu sebagai bagian dari kampanye lengkap dengan jumlah imbalan yang diperoleh untuk setiap kali postingan. (suara.com, 23/08/2024)
Menutupi Kondisi Rusak
Seruan Indonesia baik baik saja sejatinya bertentangan dengan kondisi nyata yang ada di Indonesia. Fakta di lapangan memperlihatkan bahwa permasalahan terjadi di berbagai aspek kehidupan. Pada aspek ekonomi, banyak masalah yang terjadi mulai dari kemiskinan, kesulitan mendapatkan pekerjaan, tingginya harga pangan, kenaikan BBM dan lain sebagainya.
Pada aspek sosial, tingkat pergaulan bebas semakin tinggi, pencurian, perampokan, kasus pelecehan seksual, perdagangan orang masih menyelimuti kondisi masyarakat Indonesia. Pada aspek hukum, budaya jual beli hukum terlihat jelas praktiknya, hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah sering terjadi di depan mata.
Pada aspek pendidikan, mahalnya biaya pendidikan masih menjadi beban bagi para orang tua, sarana dan prasana pendidikan yang belum memadai, gaji guru honorer yang membuat hati pilu masih menjadi problematika di dunia pendidikan.
Pada aspek kesehatan, aroma bisnis kesehatan semakin kental dengan banyaknya birokrasi yang harus ditempuh oleh pasien, biaya kesehatan yang tergolong mahal, nakes yang bermasalah, kasus bullying dan perselingkuhan yang terjadi di antara nakes menjadi penyambung masalah baru di dunia kesehatan.
Permasalahan yang terus menyeruak ke permukaan, seharusnya menjadi perhatian utama pemerintah dan memberikan solusi yang tepat bukan malah menghadirkan buzzer untuk menutupinya. Maka, tidak heran jika muncul dugaan bahwa para buzzer dibayar untuk menutupi ketidakberdayaan pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan yang ada. Hadirnya buzzer demi pencitraan kondisi yang sebenarnya sedang tidak baik-baik saja.
Bahkan, Mantan Wakil Presiden Boediono menyatakan bahwa Indonesia tidak selalu baik-baik saja. Hal itu disampaikannya dalam forum Pelantikan Pengurus Pusat Keluarga Alumni Fakultas Ekonomika dan Bisnin Universitas Gadjah Mada (KAFEGAMA) periode 2024-2027 yang disiarkan oleh laman YouTube Kafegama, Sabtu (24/8). (katadata.co.id, 25/08/2024)
Namun, mirisnya, saat ini sebagian masyarakat tidak menyadari permasalahan mendasar yang terjadi dan kesadaran politik yang dimiliki masyarakat juga rendah. Akhirnya, masyarakat tidak memahami realita yang terjadi dengan benar, sehingga mereka dengan mudah terkecoh dengan propaganda yang dilancarkan oleh buzzer. Terlebih lagi, masyarakat tidak memahami bahwa negara adalah pengurus (raa’in) terhadap rakyatnya.
Islam Tidak Membutuhkan Buzzer Pencitraan
Negara dalam perspektif Islam berfungsi sebagai raa’in (pengurus) bukan sekadar regulator sebagaimana dalam sistem kapitalisme hari ini. Islam dalam rangka membentuk dan membangun kesadaran politik masyarakat memiliki kurikulum pendidikan yang mumpuni yang belandaskan akidah Islam.
Kurikulum pendidikan dalam Islam bertujuan membangun pola pikir (aqliyah) Islam dan pola sikap (nafsiyah) yamg Islami dalam diri peserta didik. Dengan demikian, perilaku dan perasaan mereka akan terpengaruh dan disesuaikan dengan Islam. Sebagai hasilnya, mereka memahami konsep halal dan haram, serta mengikuti konsep tersebut dalam melakukan setiap aktivitas.
Di dalam kurikulum pendidikan Islam juga akan memberikan kesadaran politik yang benar. Kesadaran politik merupakan aktivitas seseorang menelaah semua hal yang terjadi untuk mengurus urusannya. Kesadaran politik tidak hanya dimiliki oleh politikus atau cendekiawan, tetapi bersifat umum yang bisa dimiliki oleh siapapun. Sehingga, dengan adanya kesadaran politik yang dimiliki oleh individu mampu mendorongnya untuk berbuat amar makruf nahi munkar.
Dengan kesadaran politik yang dimiliki, umat akan mampu melakukan perjuangan ketika menemukan perkara yang bertentangan dengan hukum-hukum Islam. Hal ini akan mendorong umat untuk selalu peduli dengan apa saja yang terjadi di sekitarnya. Begitu halnya dengan penerapan sistem demokrasi yang rusak ini. Kerusakan demokrasi yang terpampang jelas di depan mata, nyatanya belum bisa memalingkan kepercayaan umat terhadap demokrasi.
Oleh karena itu, Islam dengan kurikulum pendidikan yang dimiliki akan mampu menghantarkan umat kepada jalan yang benar. Dan negara dalam menjalankan aktivitas kepengurusannya tidak memerlukan buzzer untuk memberikan citra baik. Negara melakukan kewajibannya mengurusi umat dilakukan dengan amanah dan dilandasi rasa takut kepada Allah SWT. Sebab, setiap kepemimpinannya akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Inilah yang membedakan negara Islam dengan negara demokrasi. Wallahu a’lam.