Oleh. Umul Istiqomah
Muslimahtimes.com–Pegiat investasi properti kini makin naik daun, terutama properti residensial. Bagaimana tidak, karena bisnis ini dinilai menguntungkan dan didukung penuh oleh pemerintah tanpa menelisik dampak yang diakibatkan dari maraknya pembangunan properti ini. Seperti yang terjadi di Bandung, Jawa Barat, sedang menjadi pusat pengembangan bisnis properti ini yakni di kawasan Bandung Selatan. Karena dinilai mudah dijangkau dari pusat kegiatan ekonomi sehingga memberi kemudahan aksesibilitas sehari-hari bagi para penghuninya. PT Mentari Agung Mandiri misalnya, menjadi salah satu developer di Bandung, yang untuk ke sekian kalinya mengembangkan bisnis properti residensial. Kali ini proyek terbarunya yakni hunian Cluster Padjadjaran yang berlokasi di Jalan Siliwangi, Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung. Lokasi ini dinilai strategis karena dikelilingi kawasan industri yang terbentang dari Dayeuhkolot, Tegalluar, Rancaekek, hingga lokasi industri strategis nasional di Bandung Selatan juga dekat dengan fasilitas umum. (Momsmoney.id, 05/11/2024)
Sudah banyak proyek hunian yang dibangun, namun kenyataannya tidak ada korelasi positif dengan meningkatnya kepemilikan hunian bagi masyarakat. Karena pembangunan hunian atau pengembangan properti secara besar-besaran ini sebetulnya belum mampu memenuhi kebutuhan hunian tersebut. Alih-alih masyarakat mendapatkan keuntungan dari bisnis ini, justru malah kerugian yang mereka dapatkan. Karena investasi properti hanya bahasa halus dari perampasan ruang hidup masyarakat yang mengakibatkan hilangnya hunian bagi penduduk berpendapatan rendah akibat penggusuran, berkurangnya lahan hijau, dan hilangnya sumber mata pencaharian.
Seperti banyaknya apartemen yang dibangun di permukiman penduduk, sehingga mengharuskan masyarakat yang sudah bertahun-tahun tinggal di sana untuk pindah akibat penggusuran. Kemudian berkurangnya lahan hijau terutama lahan pertanian, dikarenakan sawah-sawah kini berubah menjadi rumah-rumah yang terkadang juga tidak berpenghuni karena hunian tersebut disewakan oleh pemiliknya, inilah yang dinamakan investasi properti residensial di mana pemilik properti atau investor akan mencari keuntungan dari rumah yang mereka beli untuk disewakan atau dijual kembali. Selain itu, dengan beralihnya fungsi lahan pertanian menjadi perumahan, maka akan banyak petani yang kehilangan mata pencaharian karena lahan-lahan garapan mereka telah berpindah kepemilikan. Dan muncul pula masalah turunannya yakni bertambahnya angka pengangguran di tingkat desa. Maka, seharusnya lahan pertanian yang saat ini banyak menyerap tenaga kerja di desa perlu dicari penggantinya dengan maraknya investasi properti ini.
Sebenarnya, alih fungsi lahan ini tidak bisa dilakukan sembarangan dan perlu adanya izin dari kepala daerah tingkat bupati/wali kota setempat. Karena dengan adanya Undang-Undang Nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan sejumlah aturan turunannya yang telah diterbitkan pada 2012 lalu, seharusnya membuat para investor makin kesulitan mendapat izin. Namun, dalam sistem kapitalisme hal yang sulit pun akan menjadi mudah ketika bisa menghasilkan keuntungan materi sebanyak-banyaknya. Dalam hal ini, peran pemerintah dalam memberikan izin kepada para pengembang bisnis properti perlu di pertanyakan, kepada siapa mereka berpihak? Masyarakat atau oligarki. UU tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan ternyata tidak terlalu diperhatikan oleh pemerintah daerah, dalam menyusun tata ruangnya. Karena dengan mengalihkan lahan pertanian menjadi permukiman dan industri akan lebih mendatangkan keuntungan bagi pemasukan daerah, terutama dari sektor pajak. Dari sini jelas terlihat keberpihakan pemerintah pada oligarki.
Jika dengan adanya bisnis properti ini negara memiliki visi untuk memenuhi kebutuhan hunian rakyatnya, seharusnya negara pun memberikan kemudahan bagi mereka untuk mengaksesnya. Namun nyatanya tidak, karena rusaknya sistem yang dianut saat ini yakni sekuler kapitalisme di mana aturan agama dipisahkan dari kehidupan dan yang berkuasa adalah para pemilik modal, maka akhirnya negara tidak memiliki prinsip untuk mengurusi kebutuhan rakyatnya, dan malah menyerahkan tugas ini kepada swasta, sehingga negara tidak dapat menjamin kebutuhan primer rakyatnya seperti papan. Karena pembangunan properti hanya di peruntukkan bagi kalangan tertentu saja , yakni investor yang memiliki modal untuk memperkaya dirinya sendiri.
Hanya Islam yang memiliki konsep jelas terkait pemenuhan hunian bagi warganya. Islam menetapkan bahwa rumah merupakan kebutuhan pokok yang harus dipenuhi secara layak dan kepala negara (khalifah) bertanggung jawab atas pemenuhan kebutuhan pokok tersebut. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw. “Imam (khalifah) adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas (urusan) rakyatnya” (H.R. Bukhari). Selain itu Islam dikenal memiliki konsep tata kota dalam membangun peradabannya. Konsep tata kota perumahan, cluster, area-area publik dan sebagainya dalam Islam memiliki makna yang luas, meliputi sistem pertahanan, jalanan kota, fasilitas umum, hingga sistem sosial politik. Sehingga tidak hanya supaya cepat laku, tapi keseimbangan yang asri antara perumahan dan ruang hijau serta fungsi tata kota lain, harus sinergis. Tata kelola pembangunan perumahan dalam Islam didasarkan pada sudut pandang bahwa bumi ini milik Allah SWT. Maka pemerintah dan masyarakat wajib terikat pada syariat Allah SWT dalam pengelolaannya. Supaya dengan banyaknya pembangunan yang dilakukan tidak berdampak negatif setelahnya terhadap lingkungan dan juga masyarakat.
Adapun ketentuan pengelolaan lahan, di antaranya tidak dibiarkan seorang pun termasuk pengembang properti menelantarkan tanahnya bertahun-tahun dengan tujuan untuk mendapat keuntungan peningkatan nilai investasi. Jika pemilik tanah tidak mengelola atau memagari/merawat tanahnya selama tiga tahun, maka negara akan mengambil tanah tersebut dan diberikan kepada yang lain yang bisa mengelola atau memanfaatkan tanah tersebut. Rasulullah Saw. Bersabda yang artinya: “Barang siapa mempunyai tanah (pertanian), hendaklah ia mengolahnya, atau memberikan kepada saudaranya” (HR Bukhari). Begitulah Islam dalam kehati-hatiannya mengelola tanah untuk kemaslahatan umat. Hal ini menjadikan tata kelola perumahan tercegah dari liberalisasi lahan. Karena orientasi kepala negara (khalifah) dalam pemenuhan kebutuhan rakyatnya adalah pelayanan, bukan untuk bisnis. Sehingga kebijakan yang digulirkan akan memberikan keuntungan bagi semua pihak, dan tidak akan ada lagi yang namanya perampasan ruang hidup masyarakat.
Wallahu a’lam bishowab