Oleh. Risma Dian. A
Muslimahtimes.com—Dalam debat Pilkada Jawa Barat 2024 yang berlangsung pada Sabtu, 23 November 2024, terungkap bahwa sekitar 22.000 rumah tangga di Jawa Barat masih belum memiliki akses listrik. Para kandidat gubernur diminta untuk memaparkan rencana dan strategi mereka dalam mengatasi masalah ini, terutama karena rumah tangga tersebut berada di daerah terpencil. Situasi ini menyoroti tantangan besar dalam pemerataan infrastruktur dasar di wilayah tersebut, dan para calon pemimpin diharapkan dapat memberikan solusi yang konkret dan efektif untuk memastikan semua warga mendapatkan akses listrik yang layak (beritasatu.com – 23/11/2024).
Meskipun sebagian besar wilayah di Indonesia telah teraliri listrik, masih ada beberapa daerah yang belum merasakannya. Menurut Jisman P. Hutajulu, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), hingga triwulan pertama 2024, terdapat 112 desa/kelurahan yang belum mendapatkan akses listrik dari total 83.763 desa/kelurahan.
Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 100.1.1-6177 Tahun 2022, rasio desa yang telah teraliri listrik mencapai 99,87%. Dari jumlah tersebut, 77.342 desa/kelurahan atau sekitar 92,33% mendapatkan listrik dari PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN. Selain itu, 4,27% atau sekitar 3.573 desa memperoleh listrik dari perusahaan penyedia listrik lainnya, dan 3,27% atau 2.736 desa/kelurahan mendapatkan listrik dari program lampu tenaga surya hemat energi yang diselenggarakan oleh Kementerian ESDM. (tirto.id – 10/06/2024)
Hal ini menunjukkan bahwa meskipun kemajuan signifikan telah dicapai, masih ada pekerjaan yang harus dilakukan untuk memastikan semua wilayah mendapatkan akses listrik yang memadai. Namun, fakta bahwa puluhan ribu penduduk Jawa Barat masih hidup tanpa listrik mengindikasikan bahwa distribusi listrik di Indonesia belum merata.
Listrik adalah kebutuhan mendasar yang seharusnya dipenuhi oleh negara, karena listrik tidak hanya mendukung aktivitas sehari-hari, tetapi juga berperan penting dalam pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Tanpa listrik, banyak anak-anak yang kesulitan belajar di malam hari, fasilitas kesehatan yang tidak dapat beroperasi dengan optimal, dan usaha kecil yang tidak dapat berkembang.
Sayangnya, hingga saat ini, hal ini belum tercapai karena adanya liberalisasi dalam pengelolaan listrik, baik dari sumber energi primer maupun layanan listrik itu sendiri. Liberalisasi ini merupakan hasil dari penerapan sistem ekonomi kapitalis yang berorientasi pada keuntungan. Dalam sistem ini, perusahaan listrik cenderung fokus pada daerah yang lebih menguntungkan secara ekonomi, seperti kota-kota besar, dan mengabaikan daerah pedesaan yang dianggap tidak menguntungkan.
Akibatnya, penyediaan listrik di daerah pedesaan sering diabaikan karena biaya yang tinggi dan potensi keuntungan yang rendah. Hal ini menyebabkan kesenjangan yang signifikan antara daerah perkotaan dan pedesaan dalam hal akses listrik. Banyak desa yang masih mengandalkan sumber energi alternatif seperti genset atau lampu minyak, yang tidak hanya mahal tetapi juga tidak ramah lingkungan. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada kemajuan dalam beberapa aspek, masih banyak tugas negara yang harus dilakukan untuk memastikan semua warga mendapatkan akses listrik yang memadai.
Dalam sistem ekonomi kapitalis, sumber energi primer seperti batu bara sering kali dikelola oleh pihak swasta. Ini menjadi masalah utama karena batu bara, sebagai sumber energi, seharusnya menjadi milik rakyat dan dapat diakses dengan biaya rendah atau bahkan gratis. Kepemilikan umum ini tidak hanya penting bagi mereka yang kurang mampu, tetapi juga bagi seluruh masyarakat, termasuk yang kaya. Batu bara yang dikelola oleh negara akan dapat memastikan bahwa semua lapisan masyarakat mendapatkan akses yang adil dan merata terhadap energi yang dibutuhkan untuk kehidupan sehari-hari.
Namun, dalam pengelolaan listrik yang berorientasi pada kapitalisme, sumber daya alam seperti batu bara diprivatisasi dan dijadikan ladang bisnis oleh perusahaan swasta. Perusahaan-perusahaan ini sering kali beroperasi dengan tujuan utama untuk memaksimalkan keuntungan, tanpa mempertimbangkan dampak sosial dan lingkungan dari aktivitas mereka. Akibatnya, masyarakat harus membayar mahal untuk mendapatkan akses listrik karena perusahaan swasta berusaha meraih keuntungan besar dari pengelolaannya. Harga listrik yang tinggi ini dapat memberatkan banyak keluarga, terutama mereka yang berada di bawah garis kemiskinan.
Di sisi lain, pemerintah yang seharusnya bertanggung jawab menyediakan kebutuhan dasar seperti listrik bagi rakyatnya, justru melepaskan tanggung jawab tersebut. Sebaliknya, pemerintah turut mengambil keuntungan dari pengelolaan listrik yang berorientasi pada kapitalisme. Meskipun ada subsidi yang diberikan, jumlahnya terus berkurang dengan alasan tidak tepat sasaran. Karena nyatanya, dalam penerapan sistem kapitalisme, pemerintah hanya berperan sebagai regulator yang mempermudah penguasaan tambang batu bara oleh perusahaan besar. Peran ini sering kali tidak cukup untuk melindungi kepentingan publik, karena regulasi yang ada mungkin lebih menguntungkan perusahaan besar daripada masyarakat umum. Perusahaan-perusahaan besar ini mendapatkan kemudahan dalam mengakses dan mengelola sumber daya alam, sementara masyarakat lokal sering kali tidak mendapatkan manfaat yang sebanding.
Di sektor hilir, liberalisasi atau komersialisasi layanan listrik membuka peluang besar bagi pihak swasta untuk membangun pembangkit listrik baru. Akibatnya, pembangkit listrik swasta yang mendukung suplai listrik PLN terus bermunculan. Pembangkit listrik ini sering kali beroperasi dengan tujuan utama untuk mendapatkan keuntungan, yang dapat menyebabkan tarif listrik yang lebih tinggi bagi konsumen.
Selain itu, ketergantungan pada pembangkit listrik swasta juga dapat mengurangi kontrol pemerintah terhadap harga dan distribusi listrik. Lebih jauh lagi, liberalisasi sektor listrik dapat menyebabkan ketidakstabilan dalam penyediaan listrik, terutama di daerah-daerah yang kurang menguntungkan secara ekonomi. Pihak swasta mungkin tidak tertarik untuk berinvestasi di daerah pedesaan atau terpencil karena biaya yang tinggi dan potensi keuntungan yang rendah. Hal ini dapat memperburuk ketimpangan akses listrik antara daerah perkotaan dan pedesaan.
Pengelolaan listrik dalam sistem Islam berbeda secara signifikan dari sistem ekonomi kapitalis. Dalam pandangan Islam, listrik dianggap sebagai milik umum dari dua perspektif. Pertama, listrik yang digunakan sebagai bahan bakar termasuk dalam kategori api, yang merupakan milik bersama. Dalam hal ini, listrik tidak boleh dimonopoli oleh individu atau kelompok tertentu, melainkan harus dikelola untuk kepentingan seluruh masyarakat. Konsep ini menekankan pentingnya keadilan dan pemerataan dalam distribusi sumber daya.
Kedua, sumber energi untuk pembangkit listrik, baik oleh PT PLN maupun swasta, sebagian besar berasal dari tambang dengan deposit besar seperti minyak dan batu bara, yang juga merupakan milik umum (publik). Dalam Islam, sumber daya alam yang melimpah seperti ini harus dikelola oleh negara untuk kesejahteraan rakyat. Negara bertanggung jawab memastikan bahwa hasil dari sumber daya ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, termasuk listrik. Hal ini berbeda dengan sistem kapitalis di mana sumber daya alam sering kali diprivatisasi dan dikelola untuk keuntungan pribadi.
Rasulullah SAW bersabda bahwa kaum muslim berserikat dalam tiga hal: padang rumput, air, dan api (terjemahan HR. Abu Daud dan Ahmad). Hadis ini menegaskan bahwa sumber daya alam yang penting untuk kehidupan sehari-hari memang wajib dikelola secara kolektif oleh negara dan tidak boleh dimiliki secara pribadi.
Adapun pandangan Islam, listrik dianggap sebagai aset publik yang harus dikelola oleh negara dan disalurkan kepada masyarakat dengan biaya yang sangat rendah atau bahkan gratis. Islam melarang pengelolaan listrik oleh pihak swasta dalam kondisi apapun. Negara akan bertanggung jawab untuk memastikan setiap individu, baik muslim maupun non muslim, termasuk yang tinggal di daerah terpencil, mendapatkan akses listrik. Tidak boleh ada satu pun warga yang tidak bisa mengakses listrik, karena listrik adalah kebutuhan penting untuk mendukung aktivitas sehari-hari.
Untuk itu, negara harus menyediakan infrastruktur terbaik dalam pengelolaan layanan listrik guna memudahkan akses bagi seluruh rakyat. Pengolahan batu bara untuk listrik tidak boleh dikomersilkan oleh negara. Negara tidak boleh menjadikannya sebagai objek bisnis; sebaliknya, negara wajib menjamin kualitas dan kuantitas listrik yang disalurkan, sehingga semua warga, baik kaya maupun miskin, muslim maupun nonmuslim, dapat mengakses listrik. Meskipun pengelolaan listrik membutuhkan dana besar, pengeluaran ini harus dilihat sebagai bentuk pelayanan negara kepada rakyat agar kebutuhan mereka terpenuhi secara merata, baik di perkotaan maupun di pedesaan.