Oleh. Azrina Fauziah, S.Pt
Muslimahtimes.com–Nasib guru honorer di negeri tercinta kian hari kian memprihatinkan. Sebut saja kasus Supriyani, seorang guru honorer yang dikriminalisasi oleh wali murid karena telah melakukan penganiayaan kepada anaknya. Kasus ini viral dan menjadi perhatian publik lantaran latar belakang dan kronologi kasus tersebut begitu janggal. Dilansir dari liputan6.com, kasus tersebut berawal pada 25 April 2024, ketika itu Aipda Wibowo Hasyim, anggota kepolisian sekaligus wali murid dari salah seorang siswa kelas 1 di SDN 4 Baito melaporkan Surpriyani atas dugaan penganiayaan kepada anaknya. Laporan tadi diajukan setelah sang ibu melihat ada bekas luka memar di paha belakang anaknya. Namun Supriyani membantah tuduhan tersebut, lantaran tak mengajar di kelas korban dan tidak berinteraksi langsung dengan anak tersebut (31/10/2024).
Diketahui Supriyani merupakan guru honorer yang telah bekerja selama 16 tahun dan hanya mendapatkan gaji 300 ribu per bulan bahkan terkadang gaji itu dibayar 3 bulan sekali. Dalam kondisi yang memprihatinkan ini, ia sempat diminta uang damai sebesar Rp 50 juta (surya.co.id,1/11/2024). Karna tidak mampu memenuhi permintaan tersebut, Supriyani dilaporkan ke Polres Konawe Selatan dan ditahan selama satu minggu. Ia kemudian dibebaskan dan penahananya ditanggukan atas desakan publik dan permintaan dari Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Konawe Selatan.
Hukum Tajam ke Bawah, Tumpul ke Atas
Kasus guru honorer yang dikrimininalisasi tidak hanya terjadi pada Supriyani, sebelumnya juga telah banyak kasus demikian yang terjadi. Kasus Supriyani merupakan puncak gunung es betapa banyak kasus hukum tidak lagi memihak pada orang kecil. Hukum yang berlaku hari ini seperti hukum rimba, siapa yang kuat dialah pemenangnya. Hukum hari ini tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Seolah-olah hukum hanya memihak kepada kalangan kaya atau penguasa daripada kelompok masyarakat miskin.
Inilah realitas benang kusut pendidikan dalam sistem kapitalisme sekuler, sudahlah gaji minim tanggung jawab selangit. Guru pun rentan dikriminalisasi oleh orang tua murid tersebab tak terima anaknya ditertibkan. Alhasil banyak konten parodi di sosial media, dimana guru tak mau lagi menegur murid jika tidak berperilaku baik di sekolah karena takut dilaporkan polisi.
Betapa malangnya kondisi guru honorer hari ini, mereka hidup menderita dan terhina. Padahal guru merupakan tulang punggung pendidikan nasional yang akan menentukan nasib suatu bangsa. Sayangnya, posisinya tak dilirik dengan baik oleh pemangku kebijakan ala kapitalisme yang berakidah sekuler. Akidah sekuler ini memisahkan paham agama dari kehidupan sehingga aturan yang diterapkan jauh dari kata Islami. Pendek kata, aturan yang dihasilkan condong kepada kepentingan segelintir orang. Tak mengherankan jika penegakkan hukum dalam sistem sekuler tidak pernah memihak kepada rakyat kecil. Selama sistem sekuler ini terus diterapkan hukum timpang sebelah dan kesejahteraan guru hanyalah mimpi.
Islam Memuliakan Guru
Guru dalam kacamata Islam memiliki kedudukan yang mulia. Guru dianggap sebagai perantara manusia dengan Allah karena ia memberi ilmu dan petunjuk jalan untuk menuju kebaikan akhirat. Dapat kita bayangkan jika guru tidak ada maka manusia akan buta ilmu dan bodoh tentang masalah dunia maupun akhirat. Rasulullah saw. telah memberikan banyak hadist tentang keutamaan seorang guru seperti hadis riwayat Tirmidzi, “Sesungguhnya Allah, para malaikat dan semua makhluk yang ada di langit dan di bumi, sampai semut yang ada di liangnya dan juga ikan besar, semuanya bershalawat kepada muslim yang mengajarkan kebaikan kepada manusia”.
Selain sebagai penunjuk ilmu, guru juga mendapatkan limpahan pahala yang tidak terputus meski ia telah tiada. Rasulullah saw. bersabda, “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan atau doa anak yang saleh” (HR. Muslim)
Islam juga mewajibkan murid untuk menghormati gurunya sebagaimana posisi orang tua mereka sendiri. Murid harus memiliki adab sebelum mempelajari ilmu. Mengapa harus demikian? Tersebab agar ilmu dapat diterima dengan mudah dan bermanfaat. Dari sini begitu mulianya kedudukan guru di mata Islam. Sehingga sudah semestinya negara juga punya kewajiban untuk mendukung fasilitas pendidikan termasuk kesejahteraan guru.
Jauh sebelum pendidikan modern Barat lahir, kekhalifahan Islam telah memberikan perhatian besar terhadap pendidikan, demikian pula terhadap nasib para pendidik. Diriwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah, dari Sadaqah ad Dimasyqi, dari al Wadhi’ah bin Atha’ bahwa Khalifah Umar bin Khaththab memberi gaji para guru sebesar 15 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas, 15 dinar = 63,75 gram emas). Bila dikonversikan dengan harga emas sekarang per gram emas Rp1.539.000, berarti gaji guru pada saat itu mencapai Rp98.111.250 setiap bulannya.
Dalam sistem Islam, para guru akan dijamin kesejahteraannya tanpa ada pembedaan status guru honorer atau PNS. Selain bisa mendapatkan gaji yang besar, mereka juga dapat mengakses sarana-prasarana untuk dapat meningkatkan kualitas mengajar. Kondisi ini menjadikan guru bisa optimal menjalankan tugasnya sebagai pendidik sekaligus pencetak generasi yang nantinya melanjutkan estafet peradaban.
Negara menjamin guru tidak mudah dikriminalisasi dengan menerapkan pendidikan berlandaskan akidah Islam sehingga menciptakan anak didik yang bertakwa, juga menerapkan sanksi Islam sehingga mampu memberikan hukum yang adil bagi seluruh warga negaranya tanpa terkecuali. Inilah regulasi Islam yang visioner. Hanya sistem Islam yang mampu mengatasi problematika guru yang hari ini memiliki tugas serius namun kesejahteraannya sangat jauh dari kata layak. Waallahualam bissawab