Oleh. Ledy Ummu Zaid
Muslimahtimes.com–Dewasa ini, banyak kita temui ada banyak pasangan yang melakukan hubungan suami istri tanpa status perkawinan yang sah. Walhasil, perempuan yang terlanjur hamil, dan melahirkan bingung bagaimana membesarkan darah dagingnya sendiri. Tak sedikit yang nekat menjual bayinya karena belum siap menanggung ekonomi dan status sosial yang ada.
Jual Beli Bayi Bukan Hal Baru di Masyarakat
Dilansir dari laman news.republika.co.id (12-12-2024), Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menangkap dua bidan berinisial JE (44) dan DM (77) yang ditetapkan sebagai tersangka kasus jual beli bayi. Adapun pelaku melancarkan aksinya di sebuah rumah bersalin di kota Yogyakarta.
Direktur Ditreskrimum Polda DIY Kombes FX Endriadi mengatakan praktik jual beli bayi ini telah berlangsung sejak tahun 2010. Setidaknya sebanyak 66 bayi yang terdiri dari 28 bayi laki-laki dan 36 bayi perempuan serta 2 bayi tanpa keterangan jenis kelaminnya telah tercatat dalam kurun waktu 9 tahun belakangan. Endriadi menjelaskan kedua pelaku menjual bayi perempuan seharga Rp55 juta hingga Rp65 juta. Sedangkan bayi laki-laki dijual Rp65 juta sampai Rp85 juta dengan modus sebagai biaya persalinan. Usut punya usut, JE ternyata seorang residivis pada tahun 2020 lalu. Ia pernah menjalani hukuman kurungan selama 10 bulan di Lapas Wirogunan, Yogyakarta.
Di tempat yang terpisah, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Fauzi mengatakan pihaknya akan terus memantau kasus jual beli bayi yang dilakukan dua oknum bidan Rumah Bersalin Sarbini Dewi di Tegalrejo, Kota Yogyakarta, DIY tersebut, dilansir dari laman cnnindonesia.com (13-12-2024).
Adapun Kementerian PPPA akan mengandalkan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) di tingkat kabupaten/kota terlebih dahulu. Selanjutnya, Arifah juga mengungkapkan harapannya terkait dibutuhkannya kerja sama dari kementerian-kementerian lain untuk mengantisipasi kasus serupa berulang di kemudian hari. Dalam hal ini, Kementerian Kesehatan dapat memperketat perizinan rumah bersalin dengan kebijakan-kebijakan tertentu.
Sejalan dengan itu, Wadir Reskrimum Polda DIY AKBP K. Tri Panungko mengatakan para orang tua korban sebenarnya dengan sukarela memberikan bayi mereka kepada JE dan DM. Mereka memang sengaja ingin menjual bayi, tetapi melalui perantara kedua pelaku tersebut yang telah memiliki jaringan sindikat jual beli bayi. Tri juga mengungkapkan, baik JE maupun DM ini biasa memanfaatkan bayi yang dilahirkan di luar pernikahan yang sah. Kemudian, mereka menawarkan korban kepada calon pembeli dengan modus adopsi ilegal.
Sampai saat ini, kasus jual beli bayi yang menyeret JE dan DM ini masih terus didalami pihak kepolisian. Adapun kedua pelaku telah ditetapkan sebagai tersangka atas tindak pidana perdagangan anak dengan Pasal 83 dan Pasal 76 F tentang perlindungan anak. Oleh karenanya, JE dan DM terancam hukuman penjara paling lama 15 tahun dan denda maksimal Rp 300 juta.
Kapitalisme Membentuk Pribadi yang Liberal
Seperti yang kita ketahui, kasus jual beli bayi ini bukan yang pertama kali terjadi. Berulangnya kasus jual beli bayi menunjukkan adanya problem sistemis yang belum tuntas. Kasus ini tentu terjadi karena banyak faktor. Adapun masalah ekonomi dan seks bebas yang paling banyak mengakibatkan terjadinya kehamilan tidak diinginkan (KTD). Di sisi lain, hilangnya hati nurani orang tua, dan bergesernya nilai kehidupan juga mendorong individu berbuat nekat.
Hal ini tak lain karena sistem kehidupan kapitalisme sekuler yang diterapkan saat ini. Sistem kufur yang sengaja memisahkan agama dari kehidupan telah salah arah dalam mengatur seluruh aspek kehidupan umat. Seiring dengan itu, kentalnya orientasi terhadap materi telah mematikan hati nurani paramedis, khususnya bidan yang seharusnya berperan dalam membangun keluarga. Inilah gambaran riil dari kehidupan liberal (bebas) yang tak mengenal halal haram.
Selanjutnya, keberadaan sindikat penjual bayi membuat praktek jual bayi tidak mudah diberantas. Aparat penegak hukum yang tak lain adalah negara seolah kalah dengan keberadaan sindikat yang mencari keuntungan materi. Hal ini seharusnya menjadi pukulan keras bagi negara bahwasanya negara telah gagal mensejahterakan rakyatnya. Banyak perempuan kehilangan kehormatan dan hati nuraninya telah menjadi bukti negara tidak memuliakan perempuan.
Islam Sangat Memuliakan Perempuan
Adapun dalam sistem Islam, peradaban yang mulia tersebut akan mencetak manusia yang beriman dan bertakwa. Adanya pola pikir dan sikap masing-masing individu harus sesuai dengan hukum syarak yang melahirkan syakhsiyah islamiah (kepribadian Islam). Kemudian, didukung pula dengan sistem pendidikan Islam yang kurikulumnya berbasis akidah islamiah.
Dalam Islam, hubungan laki-laki dan perempuan terpisah, kecuali adanya uzur syar’i yang dibolehkan hukum syarak. Oleh karenanya, negara akan menjaga setiap individu dari perzinaan. Adanya syariat Islam terkait menutup aurat, menundukkan pandangan, ikhtilat (campur baur) dan khalwat (berdua-duaan) antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram menjadi penjagaan keimanan seorang muslim.
Selain itu, jaminan negara atas kesejahteraan individu rakyat dalam mencari harta yang halal juga sangat diperhatikan. Laki-laki akan dibentuk menjadi qowwam (pemimpin keluarga) yang sholih, dan perempuan dibentuk menjadi ummu wa robbatul bait (ibu dan pengurus rumah) yang penuh kasih sayang.
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya. Seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya. Laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya dan ia akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang perempuan memimpin rumah suaminya dan anak-anaknya. Ia akan ditanya tentang kepemimpinannya.“ (HR Bukhari)
Sistem Islam tentu memiliki kesungguhan dalam mensejahterakan setiap individu rakyatnya. Daulah (negara) hadir untuk menyelesaikan akar masalah dari setiap persoalan, dan memfasilitasi sistem sanksi yang tegas dan adil. Sistem sanksi yang berlandaskan syariat Islam dengan pedomannya, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunah akan mampu mencegah terjadinya tindak kejahatan atau kriminalitas serupa. Sebagai contoh, seorang pezina yang belum menikah akan mendapat hukuman berupa cambukan 100 kali. Sedangkan, pezina yang sudah menikah akan mendapat hukuman rajam. Dengan adanya hukuman yang tegas ini dapat menjadi pelajaran bagi masyarakat agar takut untuk melakukan kemaksiatan yang sama.
Sejalan dengan itu, para pejabat tentu akan menjalankan tugasnya dengan amanah dan tanggung jawab. Seorang khalifah atau pemimpin daulah akan menjaga akidah dan segala lini urusan rakyat. Misalnya, adanya jaminan pendidikan dan kesehatan gratis, serta lapangan pekerjaan yang luas. Dengan demikian, perekonomian rakyat akan stabil dan sejahtera.
Khatimah
Miris, kasus jual beli bayi berulang. Hal ini membuktikan bahwasanya persoalan umat khususnya perempuan kian panjang. Tak heran, kerusakan umat hari ini merupakan hasil penerapan sistem kufur kapitalisme sekular. Oleh karena itu, sebagai muslim sudah seharusnya kita merindukan lingkungan masyarakat yang sehat dan islami, yaitu dengan penerapan syariat Islam secara kafah (menyeluruh). Hal ini tentu membutuhkan kesadaran kaum muslimin seluruh dunia untuk bersatu kembali dalam naungan pemerintahan Islam, khilafah islamiah ala minhajin nubuwwah.
Wallahu a’lam bishshowab. []