
Oleh. Sherly Agustina, M.Ag
Muslimahtimes.com–Pendidikan dan kesehatan adalah kebutuhan kolektif rakyat yang harus dipenuhi dan dijamin negara. Apabila kebutuhan tersebut terpenuhi bagi rakyatnya, hal itu menunjukkan hebatnya suatu negara. Akan tetapi, di negeri ini akses pendidikan dan kesehatan belum dirasakan merata sampai ke pelosok negeri. Padahal, anggaran pendidikan di negeri ini lebih utama dibanding negara lain. Lantas, benarkah jika pendidikan dan kesehatan adalah solusi untuk keluar dari kemiskinan yang ada?
Menurut Kepala Negara, jalan keluar dari kemiskinan ialah dengan kebijakan menempatkan pendidikan sebagai prioritas. Ketua Umum Partai Gerindra menekankan, bahwa langkah-langkah menuju kebangkitan ekonomi Indonesia yaitu dengan adanya perlindungan sosial, bantuan sosial, dan subsidi. (Viva.co.id, 11-12-2024)
Presiden Prabowo Subianto menegaskan komitmen pemerintah untuk menjadikan pendidikan dan kesehatan sebagai prioritas utama dalam alokasi anggaran tahun 2025. Pesiden menyampaikan hal tersebut dalam sambutannya pada acara Penyerahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) dan Buku Alokasi Transfer ke Daerah (TKD) secara digital, serta peluncuran Katalog Elektronik versi 6.0, di Istana Negara, Jakarta, pada Selasa, 10 Desember 2024. (Presidenri.go.id, 10-12-2024)
Kebijakan Nyata atau Retorika?
Pernyataan Presiden di atas, bahwa peningkatan layanan pendidikan dan kesehatan berpengaruh dalam pengentasan kemiskinan adalah pernyataan yang tepat. Adanya peningkatan anggaran untuk dua bidang tersebut memberikan harapan yang berarti. Namun sayang, pernyataan tersebut belum didukung dengan kebijakan yang sejalan. Bahkan, muncul kebijakan yang membuat hidup rakyat semakin sulit termasuk dalam memenuhi kebutuhan pendidikan dan kesehatan di tengah kehidupan kapitalisme saat ini.
Dalam kapitalisme, adanya kapitalisasi pendidikan dan kesehatan sesuatu yang tak bisa dihindari. Biaya pendidikan yang mahal jika ingin mendapatkan yang lebih berkualitas. Ditambah naiknya biaya BPJS yang membebani rakyat. Bagi rakyat yang kehidupan ekonominya pas-pasan bahkan kurang, tentu hal itu sangat memberatkan, untuk sekadar memenuhi kebutuhan sehari-hari saja sulit. Pasca pandemi dan krisis yang terjadi, banyak pengangguran dan PHK besar-besaran di tengah kesulitan hidup yang semakin menghimpit.
Belum lagi kebijakan pajak yang sangat memberatkan rakyat. Awal tahun 2025, rakyat diberi kado pahit naiknya PPN 12%. Walaupun gelombang protes di mana-mana, tampaknya tak mempengaruhi kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Ditambah turunnya anggaran Makan Bergizi Gratis (MBG) yang awalnya satu porsi Rp15.000 menjadi Rp10.000. Masyarakat tahu dengan alokasi anggaran Rp10.000 mampu kah gizi terpenuhi yang berdampak pada kecerdasan? Rakyat bertanya, peningkatan layanan pendidikan dan kesehatan sebagai solusi kemiskinan, kebijakan nyata atau retorika?
Namun, semua ini adalah konsekuensi dari penerapan sistem kapitalisme yang hanya menguntungkan pihak korporat bukan rakyat. MBG misalnya, digadang-gadang hanya menguntungkan pengusaha tertentu yang menjadi proyek besar. Kapitalisme mendukung terwujudnya penguasa populis penuh pencitraan, seolah pro rakyat padahal tidak. Parahnya, model populis ini memiliki karakter otoriter dalam membuat kebijakan. Walaupun rakyat demo menolak kenaikan PPN 12% misalnya, tetap saja kebijakan itu sudah ketok palu oleh pemerintah.
Hanya Islam yang Mampu Wujudkan
Ternyata, upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan dalam sistem kapitalisme hanya mimpi. Padahal, rakyat sangat berharap besar pada pemerintah. Harapan yang mewujud nyata bukan hanya retorika belaka. Sebenarnya, ada sistem alternatif yang mampu mewujudkan peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan untuk rakyat yaitu sistem Islam. Islam menjamin pendidikan, kesehatan, dan keamanan rakyat karena termasuk pada kebutuhan kolektif rakyat yang dijamin negara.
Penguasa atau pemimpin dalam Islam sebagai raa’in (pelayan) yang memiliki kewajiban mengurus rakyat dengan baik dan tidak menimbulkan kesulitan pada rakyat. Gambaran hubungan penguasa dan rakyat dalam Islam dijelaskan dalam sebuah hadis Baginda Rasulullah saw.: “Sebaik-baik pemimpin adalah mereka yang kamu cintai dan mencintai kamu, kamu berdoa untuk mereka dan mereka berdoa untuk kamu. Seburuk-buruk pemimpin adalah mereka yang kamu benci dan mereka membenci kamu, kamu melaknati mereka dan mereka melaknati kamu.” (HR Muslim)
Mengapa bisa negara dalam Islam menjamin kebutuhan kolektif rakyatnya seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan? Bahkan, diupayakan kebutuhan tersebut gratis untuk rakyat agar mudah diakses dengan baik. Tak sembarang gratis tapi juga berkualitas. Dari mana dananya bisa menjamin gratis kebutuhan tersebut untuk rakyat? Jawabannya, Islam memiliki mekanisme keuangan negara yang unik.
Kas negara disimpan di Baitulmal, ada pos pemasukan dan pos pengeluaran. Pos pemasukan dari harta zakat, fa’i, kharaj, ghanimah, harta milik umum dan negara. Pos pengeluaran sudah diatur dari dana tersebut, misal harta zakat sudah khusus dialokasikan untuk delapan ashnaf (golongan) yang disebutkan di dalam Al Qur’an. Harta untuk pendidikan dan kesehatan bisa diambil dari harta fa’i, kharaj, atau harta milik umum.
Harta milik umum mencakup sumber daya alam (SDA) yang dimiliki negara. Harta tersebut dikelola oleh negara dan digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Tidak seperti saat ini, Indonesia memiliki SDA melimpah, namun dikuasai oleh asing dan aseng. Emas di Papua, dimiliki oleh asing. Nikel dan sumber daya alam lainnya dimiliki oleh korporat asing. Padahal, jika SDA ini dikelola negara cukup untuk memenuhi kebutuhan rakyat termasuk membiayai peningkatan layanan pendidikan dan kesehatan. Jadi, harapan peningkatan layanan pendidikan dan kesehatan serta mengentaskan kemiskinan hanya dalam Islam bisa terwujud nyata bukan hanya retorika. Allahua’lam bishawab