Oleh. Kholda Najiyah
Muslimahtimes.com–Tahun ini, pemerintahan yang baru, mencanangkan akan membangun 3 juta rumah. Ini untuk mengatasi masalah rumah yang belum terselesaikan, yang mencapai sekitar 37 juta, terdiri dari 9,9 juta rumah tangga yang belum mempunyai rumah dan 26 juta ada rumah, tapi tidak layak huni (RTLH). Mayoritas atau 93% masalah rumah berasal dari Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), di mana sebanyak 60% dari angka tersebut adalah pekerja sektor informal (Antara).
Tak hanya itu, pemerintah juga menggagas Tapera atau Tabungan Perumahan Rakyat. Tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera, yang mewajibkan seluruh pekerja dengan gaji di atas UMR, untuk menjadi peserta Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera).
PNS dan pekerja mandiri yang berpenghasilan minimal sebesar upah minimum, wajib ikut Tapera. Sedangkan pekerja mandiri yang berpenghasilan di bawah upah minimum, tidak wajib akan tetapi bersifat sukarela. Syaratnya, berusia minimal 20 tahun atau sudah menikah. Akankah kebijakan ini dapat mengatasi kebutuhan masyarakat akan rumah? Bagaimana pula dampaknya jika masyarakat tidak memiliki rumah atau punya tapi tak layak huni?
Kriteria Layak
Menurut UU No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman Pasal 24 huruf A, rumah yang layak huni adalah rumah yang memenuhi keselamatan bangunan dan kecukupan minimum luas bangunan, serta kesehatan penghuni.
Ketahanan dan keselamatan bangunan, tolok ukurnya adalah komponen struktur meliputi pondasi, sloof, kolom, balok, rangka atap, dll yang harus sesuai standar. Selain itu, juga komponen nonstruktur meliputi lantai, dinding, kusen, pintu dan jendela, serta penutup atap. Semuanya harus menggunakan bahan SNI (Standar Nasional Indonesia).
Adapun kecukupan luas minimum untuk ruang gerak setiap individu, yakni minimal 7,2 m2 per orang, dengan tinggi rumah minimal 2,8 meter. Jadi, jika satu keluarga ada 4 orang, maka minimal luas rumahnya adalah 7,2m2x4=28,8 m2. Tentunya jika mengacu pada kriteria rumah Islami, standarnya bisa lebih luas, mengingat kamar anak laki-laki harus dipisahkan dengan anak wanita.
Sementara untuk kesehatan penghuni, maka rumah yang layak harus memiliki sistem sanitasi yang baik. Meliputi ketersediaan MCK, septic tank, tempat sampah, serta saluran pembuangan air kotor dan limbah. Akses air minum lancar, kualitasnya bagus dan bersih. Persentase pencahayaan minimal 10% luas lantai dan penghawaan atau sirkulasi udara minimal 5% luas lantai. Jadi, rumah harus memiliki ventilasi yang cukup, di mana jendela dapat ditembus matahari.
Sulitnya Punya Rumah
Setiap individu pasti ingin memiliki rumah yang layak seperti di atas. Karena, rumah adalah kebutuhan mendasar manusia. Siapapun berhak hidup nyaman, bersih, rapi dan sehat. Namun,
puluhan juta rakyat ternyata belum memiliki rumah yang layak. Penyebabnya banyak. Antara lain, karena kepala keluarga tidak punya daya beli properti. Masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), sehingga gajinya hanya cukup untuk makan.
Masyarakat memiliki daya beli rendah, tak mampu menjangkau harga rumah yang overprice. Terutama di kota-kota besar, harga properti setiap tahun naik. Terlebih, bisnis properti saat ini juga dikuasai oleh para kapitalis raksasa. Mereka tentu mengutamakan mencari laba sebesar-besarnya.
Indonesia yang memiliki lahan luas, tidak akan kekurangan tanah untuk memenuhi kebutuhan rumah puluhan juta rakyat. Sayangnya, kepemililan tanah juga dikuasai para kapitalis. Rakyat semakin sulit mengaksesnya dengan mudah dan murah. Padahal, jika memakai sistem Islam, negara bisa menginventarisir tanah di seluruh wilayah dan bisa membagikan kepada rakyat yang membutuhkan.
Dampak Buruk
Saat ini, masyarakat yang tidak mampu memiliki rumah, terpaksa tinggal berdesakan dengan anggota keluarga lain di rumah keluarga besar. Sebagian lainnya menumpang di rumah teman, menyewa kamar, atau tinggal di perkampungan kumuh dan kolong jembatan.
Sementara yang sudah punya rumah namun tidak layak huni, terpaksa menjalankan hidup apa adanya. Dampaknya antara lain: menurunnya kualitas hidup penghuni rumah. Tinggal di rumah tak layak, sudah pasti menimbulkan tekanan sosial, stres dan gangguan mental. Bahkan tak sedikit yang gila beneran.
Dampak lainnya adalah soal risiko keselamatan. Rumah yang dindingnya tidak permanen, rawan terbakar dan terdampak bencana alam. Rawan lapuk dan ambruk, hingga dapat melukai penghuni. Rawan pula dimasuki binatang.
Dampak lainnya adalah mengurangi kualitas kesehatan penghuni. Rawan penyebaran penyakit, seperti diare, tifus & kolera, infeksi pernafasan dan penyakit karena nyamuk (DBD, malaria). Sementara dari sisi kenyamanan, jelas tidak memberikan kenyamanan fisik dan emosional bagi penghuninya.
Fungsi Hunian
Hakikat rumah, bukan sekadar tempat berteduh. Bukan sekadar tempat beristirahat dari letihnya beraktivitas. Tetapi banyak fungsi rumah yang diulas oleh para ulama, antara lain:
Pertama, fungsi Al-musholla, di mana rumah adalah tempat ibadah untuk meraih rida Allah. Misal, salat sunah dianjurkan di rumah. Khususnya bagi wanita, hampir semua jenis ibadah dilakukan di rumah. Bayangkan, bagaimana bisa beribadah dengan tenang dan khusyuk jika rumah tak layak.
Kedua, fungsi Al-madrasah, yakni rumah sebagai tempat belajar, edukasi dan pengembangan diri. Tempat saling memberi tahu dan menasihati. Tempat ayah dan ibu belajar menjadi orang tua yang baik, dan tempat anak untuk bisa mandiri.
Ketiga, fungsi Al-maulud, yaitu memperbanyak keturunan. Hubungan intim suami istri yang paling memungkinkan adalah dilakukan di rumah, tepatnya di balik tirai kamar. Tentu hal ini sulit dilakukan jika tidak memiliki rumah yang layak. Demikian pula tugas pengasuhan atau hadhonah ibu yang butuh privacy, sulit dilakukan di rumah tak layak huni.
Keempat, fungsi Al-junnah, di mana rumah adalah perisai pelindung. Benteng penjagaan iman keluarga. Benteng dari penyakit sosial. Jangan sampai bapak-bapak atau anak laki-laki, lebih sering nongkrong dan begadang di malam hari, hingga terseret pergaulan atau tawuran, misalnya.
Kelima, fungsi Al-Maskanah, di mana rumah adalah tempat untuk mewujudkan ketenangan batin. Tempat pelipur lara dan pelepas rindu. Seperti ungkapan baiti jannati, home sweet home, dan rumahku istanaku. Tenang jika telah memilikinya. Lebih tenang lagi jika rumahnya layak.
Keenam, fungsi Al-Markaz, yaitu rumah sebagai tempat mempersiapkn generasi Rabbani. Dari rumahlah, bibit-bibit unggul itu dididik dan dibina. Disiapkan sebagai penerus perjuangan dan dakwah di jalan Allah Swt.
Ketujuh, fungsi Al-Marham, yaitu tempat berkumpul, bercengkerama, berforum dan silaturrahim dengan keluarga, kerabat, tetangga dan sahabat. Apalagi bila statusnya rumah induk dari keluarga besar, tentu harus rumah yang cukup luas dan layak untuk silaturahim.
Semua fungsi di atas akan dapat dijalankan dengan baik dan berkualitas, jika ditunjang oleh kondisi rumah yang layak. Jika tidak, maka rumah-rumah hari ini banyak yang mengalami disfungsi. Itulah pentingnya rumah yang layak huni. Hak setiap individu yang harus diperjuangkan negara. Kita tunggu realisasi dari pembangunan 3 juta rumah, agar setiap individu dapat tinggal di tempat yang layak.(*)