Oleh: Kholda Najiyah
(Founder Salehah Institute)
Muslimahtimes.com–Utang di era sekuler kapitalis seolah menjadi solusi jitu, padahal menimbulkan masalah rumit. Misal, menjerat manusia pada lingkaran riba yang tak hanya haram, tapi juga menghancurkan kondisi keuangan.
Terlebih jika utang dipakai untuk konsumsi, bukan produksi. Lebih parah lagi, konsumsi untuk barang sekunder atau tersier, bukan kebutuhan pokok. Uang demi gaya hidup, hanya akan membebani keuangan seumur hidup.
Oleh karena itu, Islam menempatkan utang piutang pada posisi ta’awun atau tolong menolong untuk kemaslahatan yang dibutuhkan mendesak. Bukan untuk membiayai belanja sekadar untuk bersenang-senang. Penting memahami beberapa adab dalam utang-piutang agar tidak memiliki mental utang, antara lain sebagai berikut:
- Amankan Anggaran
Kenali fondasi keuangan kita sehingga benar-benar tahu dana yang dibutuhkan untuk mencukupi kebutuhan hidup. Tiap bulan, berapa nominal anggaran yang dibutuhkan untuk belanja kebutuhan pokok. Jika kira-kira kurang, solusinya bagaimana membuka peluang untuk meningkatkan pendapatan. Bukan utang, karena pasti akan gali lubang tutup lubang selamanya.
- Pastikan Sanggup Bayar
Jika terpaksa utang untuk memenuhi kebutuhan hidup, pastikan sanggup membayarnya. Yakinkan diri, dari sumber pendapatan mana nanti untuk membayar utang. Jangan sampai terlanjur utang, tapi masih bingung bagaimana cara membayarnya. Bersungguh-sungguhlah bertekad bahwa utang akan dibayar. Jika ada niat yang kuat, niscaya Allah Swt. akan memberi jalan keluar untuk melunaskan utangnya.
- Tidak Menunda-Nunda Pembayaran
Membayar utang tepat waktu, jangan menundanya. Terutama ketika sudah memiliki uang. Dipercaya orang lain untuk dipinjami uang, itu amanah. Artinya istimewa, karena tidak semua orang dipercaya. Jangan rusak amanah itu dengan sengaja menunda-nunda membayar itang, bahkan mencari-cari beragam alasan untuk menghindar bayar. Ingatlah Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Menunda-nunda membayar utang bagi orang yang mampu (membayar) adalah kezaliman.” (H.R. Bukhari)
- Mencatat Utang di Depan Saksi
Catat besaran utang dan jatuh tempo pembayarannya, tanda tangani akad utang piutang tersebut di depan saksi. Firman Allah Swt. dalam Al-Baqarah ayat 282 menjelaskan dengan cukup rinci tentang utang piutang ini:
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya, maka hendaklah dia menuliskan.“
Dan hendaklah orang yang berutang itu mendiktekan, dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah dia mengurangi sedikit pun daripadanya. Jika yang berutang itu orang yang kurang akalnya atau lemah (keadaannya), atau tidak mampu mendiktekan sendiri, maka hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar.
Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada), agar jika yang seorang lupa, maka yang seorang lagi mengingatkannya. Dan janganlah saksi-saksi itu menolak apabila dipanggil. Dan janganlah kamu bosan menuliskannya, untuk batas waktunya baik (utang itu) kecil maupun besar.
Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah, lebih dapat menguatkan kesaksian, dan lebih mendekatkan kamu kepada ketidakraguan, kecuali jika hal itu merupakan perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak menuliskannya. Dan ambillah saksi apabila kamu berjual beli, dan janganlah penulis dipersulit dan begitu juga saksi. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sungguh, hal itu suatu kefasikan pada kamu. Dan bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
- Tidak Zalim pada yang Memberi Pinjaman
Orang yang mempercayakan uangnya kepada seseorang, adalah orang baik. Ia rela meminjamkan uang hasil jerih payah mereka sendiri, kepada mereka yang membutuhkan tanpa harus kerja keras. Namun, tak sedikit pengutang malah tega dengan sengaja tidak membayar utang. Itu namanya “air susu dibalas air tuba”. Jangan ya. Jangan sampai menjadi pengutang yang zalim, hingga lebih galak daripada yang memberi utang.
Demikianlah adab dan etika utang piutang dalam Islam, semoga kita terhindar dari mental utang. Jika memang kondisi keuangan tidak cukup, lebih baik berpikir bagaimana caranya membuka pintu-pintu rezeki hingga dapat meningkatkan penghasilan. Bukan mindset utang semata sebagai solusi.(*