![WhatsApp Image 2025-02-11 at 20.43.26](https://muslimahtimes.com/wp-content/uploads/2025/02/WhatsApp-Image-2025-02-11-at-20.43.26.jpeg)
Oleh. Hawa Aziz
Muslimahtimes.com–Isu kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% cukup memanas pada awal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Terakhir, Presiden Prabowo Subianto dinilai mengambil arah kebijakan populis dengan membatalkan kenaikan PPN secara umum dan sekedar menaikkan PPN untuk barang mewah saja (ekon.go,id, 10/1/25).
Di atas kertas pembatalan kebijakan itu seolah melegakan masyarakat, karena harga barang dan jasa tidak jadi naik. Akan tetapi, langkah ini sekaligus menunjukkan inkonsistensi pemerintah dalam memutuskan kebijakan ekonomi yang menyangkut hajat hidup rakyat. Jadi, maksudnya barang dan jasa yang tidak mewah tetap dikenai PPN 11 %. Nyatanya, meskipun pemerintah meyakinkan bahwa PPN 12 % hanya untuk barang mewah, beberapa harga barang di masyarakat sudah naik (ekonomi.bisnis.com, 6/1/25).
Akibat dari kebijakan yang berubah-ubah diiringi dengan narasi dan komunikasi pemerintah yang tidak efektif adalah munculnya efek psikologis pengusaha untuk mengantisipasi kenaikan PPN. Antisipasi itu dilakukan dengan menaikkan harga produk yang merupakan bahan kebutuhan sehari-hari.
Pembatalan kenaikan pajak PPN menjadi 12% sekilas tampak menguntungkan masyarakat. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah itu seolah-olah memihak rakyat. Akan tetapi, diduga bahwa pola kebijakan ini adalah gaya kepemimpinan yang sebenarnya memihak pada pemilik modal dan dalam rangka menjaga keberlangsungan proyek-proyek mercusuar.
===
Sosok Penguasa dalam Islam
Islam adalah Ideologi, bukan sekadar agama ritual. Ideologi Islam mengatur hubungan manusia dengan Allah Swt yang Maha Pencipta dan Maha Pengatur, hubungan manusia dengan dirinya sendiri dan hubungan manusia dengan sesama manusia. Jadi, Islam mengatur seluruh urusan kehidupan. Syariah Islam kafah akan menjadi solusi ketika diterapkan secara sempurna oleh negara.
Islam memiliki konsep kepemimpinan yang istimewa yang berbeda dengan sistem manapun. Dalam konsep Islam, seorang pemimpin bertanggungjawab kepada Allah Swt. atas rakyat yang dipimpinnya. Islam mengatur seluruh urusan kehidupan, seperti pemenuhan kebutuhan dasar berupa sandang, pangan, papan, kesehatan, keamanan, dan pendidikan.
Syaikh Taqiyudin An Nabhani dalam kitab Asy Syahsyiah Al Islamiyah jilid dua menggambarkan sifat yang harus dimiliki seorang pemimpin Islam di antaranya adalah kekuatan, ketakwaan, dan lemah lembut terhadap rakyat. Hadis riwayat Muslim dari Abu Dzar, dia berkata, “Aku berkata, “Wahai Rasulullah tidaklah engkau memberikan jabatan padaku?” Beliau menepuk bahuku dengan tangannya, lalu berkata, “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya aku melihatmu seorang yang lemah, sesungguhnya ia ( jabatan) adalah amanah, sesungguhnya ia pada hari kiamat adalah kehinaan dan penyesalan. Kecuali orang yang mengambilnya dengan hakimnya dan menunaikan kewajiban di dalamnya.”
Dalam hadist di atas, Rasul mengingatkan bahwa kepemimpinan adalah amanah yang harus diemban oleh orang-orang yang kuat, sehingga ia akan mampu menunaikan seluruh amanah dengan baik. Orang yang dianggap lemah diingatkan untuk tidak mengambil nya. Sebab, kelemahan akan berpotensi pada pengabaian amanah yang akan berujung pada kehinaan dan penyesalan.
Seorang pemimpin harus menghiasi dirinya dengan sifat takwa yang harus melekat, baik waktu ia sebagai dirinya sendiri ataupun ia sebagai pemimpin rakyat. Salah satu amanah yang ada di pundak pemimpin adalah menegakkan kedisiplinan, keadilan, dan bersikap tegas. Hal tersebut dilakukan agar dalam menjalankan amanah tersebut penguasa tidak menyusahkan rakyatnya.
lslam memerintahkan pemimpin untuk bersikap lemah lembut pada rakyat. Seperti hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a., “Aku mendengar Rasul berkata di rumahku ini, “Ya Allah barangsiapa yang memimpin umatku, lalu ia menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia. Barangsiapa yang memimpin umatku, lalu ia bersikap lemah lembut, maka bersikap lemah lembutlah padanya.”
Dalam hadis lain juga diriwayatkan dari Ma’qul bin Yasar, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada seorang penguasapun yang memerintah kaum muslimin, lalu ia mati, sedang ia dalam keadaan menipu mereka, kecuali Allah Swt mengharamkan baginya surga.”
Hadis Rasul tersebut merupakan arahan bagi seseorang pemimpin agar tidak mengabaikan hak-hak rakyatnya dan tidak menipu mereka. Hal itu termasuk tidak membuat aturan dan kebijakan yang menyengsarakan mereka yang dibungkus dengan iming-iming, seperti pembagian berbagai bantuan. Itu jelas bukan kebijakan yang menyejahterakan, melainkan tipuan yang menzalimi.