
Oleh. Kholda Najiyah
Muslimahtimes.com–Lini masa ramai meneriakkan tagar #KaburAjaDulu. Ini adalah semacam ajakan, jika ingin menggapai harapan hidup lebih baik, pergilah ke negara-negara maju. Berderet ‘tanah harapan’ pun disebutkan oleh warganet, seperti Singapura, Australia, Jerman, Jepang, Finlandia dan Swedia.
Beragam kisah orang Indonesia yang berhasil memperbaiki nasib di luar negeri pun, ikut meramaikan. Antara lain Dini Adriani (28), peraih beasiswa S2 ke Chiang Mai, Thailand, tiga tahun lalu. Selesai studi pada Desember 2024, Dini melamar sebagai guru privat di salah satu sekolah internasional swasta.
“Jujur saya lebih betah tinggal di sini daripada di Indonesia,” ujarnya. Bagaimana tidak, meski baru lulus, ia digaji setara dengan Rp10 juta. Dibanding UMR Bandung, kota asalnya yang hanya Rp4,5 juta rupiah, ia merasa hidup lebih baik. Bisa mengirim orang tuanya dan kebutuhannya pun terjamin.
“Kalau boleh jujur, saya sebetulnya ingin pulang ke Indonesia. Tapi kalau melihat situasi di Indonesia, saya rasa cukup susah untuk mendapatkan pekerjaan untuk menghidupi diri saya dan keluarga, karena kebetulan saya sandwich generation,” ujar Dini kepada BBC News Indonesia.
Muak Tanpa Kepastian
Tren ajakan ke luar negeri untuk hidup lebih baik, menunjukkan betapa muaknya masyarakat dengan situasi negeri ini. Hampir semua lini, tidak ada harapan lagi. Padahal, kekayaan darat maupun laut luar biasa, tetapi salah urus akibat sistem korup.
Jangan sampai negeri ini kehilangan para generasi muda usia produktif yang digadang-gadang sebagai generasi emas. Sementara, generasi lama yang memegang kekuasaan, tidak juga mau berbenah besar-besaran dengan visi dan misi baru demi kemajuan bangsa. Hanya terjebak pada sistem lama tanpa ada perubahan berarti.
Bahkan, belum 100 hari memerintah, beberapa kali kebijakannya blunder yang menimbulkan kegaduhan. Seperti, tiba-tiba menyusahkan rakyat dengan kebijakan gas melon tanpa pikir panjang. Lalu penuntasan masalah pagar laut yang tidak tegas.
Alih-alih mengurusi yang penting, malah usul menu makan sehat dengan belalang. Melantik Deddy Corbuzier sebagai staf khusus Kementerian Pertahanan, padahal dia pernah marah habis-habisan lantaran anak SD bilang menu makan gratis tidak enak. Orang pintar mana yang tidak ternganga dengan hal-hal absurd seperti ini.
Nah, tagar “KaburAjaDulu” seharusnya ditanggapi serius. Bahan evaluasi negara, mengingat negeri ini masih kalah sangat jauh dibanding negara maju. Bagaimana supaya warganya betah, loyal dan kembali ke Indonesia untuk membangun dan memajukan negerinya. Ironisnya, Kementerian Luar Negeri malah menanggapinya dangkal, bahwa hak setiap WNI untuk pergi, yang penting sesuai prosedur legal (CNN Indonesia).
Padahal, substansinya jelas bukan masalah legal vs ilegal, tapi maukah menjadikan negeri ini maju, makmur dan menyejahterakan warganya, hingga tak perlu ramai-ramai mencari harapan di luar sana. Itu yang harusnya dipikirkan.
Ditinggal Generasi Muda
Fenomena pergi ke luar negeri untuk mencari kehidupan lebih baik, sejatinya sudah lama terjadi. Alasannya macam-macam, mulai ekonomi, politik hingga sosial. Tak hanya buruh migran, juga dari kalangan terdidik yang disebut brain drain. Karena skill, keterampilan dan keahlian mereka kurang dihargai di negeri sendiri, akhirnya memilih berkarier di luar negeri.
Tidak hanya pergi sesaat, nyatanya banyak yang memilih pindah kewarganegaraan. Mereka enggan kembali ke Indonesia. Tak mau lagi menetap di tanah air. Singapura menjadi salah satu tujuan masyarakat Indonesia yang ingin berpindah kewarganegaraan. Berdasarkan data Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), tercatat ada sebanyak 3.912 WIN telah pindah jadi WN Singapura sepanjang 2019-2022.
Lagi-lagi, sikap ironis ditunjukkan pemerintah yang begitu dangkalnya menyikapi fenomena miris ini. “Saya kira sah-sah saja bagi WNI yang pindah kewarganegaraan demi taraf hidup yang lebih baik selama dilakukan secara legal. Mereka yang pindah ini usia-usia produktif, potensial,” ujar Direktur Jenderal Imigrasi Silmy Karim Silmy, dikutip BBC News Indonesia, Rabu (1/1/2025). Merujuk data Dirjen Imigrasi, rata-rata WNI yang berpindah kewarganegaraan berusia 25 tahun sampai 35 tahun.
Bagaimana dengan generasi yang sudah tidak produktif? Apakah sudah nyaman dan mapan tinggal di negeri ini, sehingga tidak ingin pindah? Jika dilakukan survey, bisa dijamin jawabannya pun tidak. Hanya, generasi lama seperti Gen X, sudah cukup umur sehingga banyak pertimbangan jika ingin mengambil keputusan besar dalam hidupnya.
Peluang karier mapan di luar negeri pun, tidak lebih besar dibanding anak-anak muda. Namun, jika kondisi di negeri ini tak juga membaik, bisa jadi, mereka tidak akan segan-segan hengkang dari Tanah Air. Khususnya para perempuan, sebagai lapisan masyarakat yang tak juga mendapatkan perbaikan nasib di negeri sendiri.
Perempuan Pengejar Harapan
Selain Dini seperti dicontohkan di atas, sebenarnya banyak perempuan Indonesia berkarier di luar negeri. Meskipun, sebenarnya kehidupan mereka tidak kekurangan di negeri ini. Bahkan, sudah kaya dan populer. Misalnya dari kalangan selebriti.
Pasangan aktris dan aktor Cindy Fatikasari dan Tengku Firmansyah juga hengkang ke Kanada. Alasannya, demi anak-anak mendapat pendidikan terbaik di sana. Demikian pula Oki Setiana Dewi yang memboyong keluarganya ke Mesir untuk menuntut ilmu bersama-sama.
Tentu saja, karena mereka kaya, ibaratnya tinggal memilih, mau tinggal di belahan bumi mana saja. Karena, yang penting ada uang. Siapa yang tak mau, hidup di tanah impian yang menjanjikan kesejahteraan, keamanan, kemajuan dan kebahagiaan.
Tapi, bagaimana dengan para perempuan marginal, yang kehidupannya di sini tertatih-tatih hanya untuk mengejar kesejahteraan? Siapa yang mengentaskan nasib mereka, sedangkan untuk makan saja serba kekurangan.
Bagaimana dengan ibu rumah tangga yang tidak memiliki skill dan tidak punya uang, hingga tak bisa memilih sendiri tempat tinggalnya? Jangankan ke luar negeri, mimpi memiliki rumah layak huni di sini saja, sangat sulit. Harganya melangit, sementara penghasilan keluarga jauh dari cukup. Sungguh, hak-hak mereka terabaikan.
Bagaimana dengan para perempuan single parent yang memperjuangkan sendiri kehidupannya? Jangankan memimpikan hidup nyaman, damai dan tenteram di tanah impian, untuk menghidupi diri sendiri pun harus berjuang keras. Belum lagi anak-anak yang menjadi tanggungannya, siapa yang menolong mereka?
Bagaimana dengan anak-anak yatim piatu yang tidak mendapatkan hak-haknya akan pendidikan terbaik? Bagaimana dengan mayoritas rakyat miskin yang kebanyakan tidak mendapatkan hak-haknya untuk memiliki hunian yang layak, makanan yang sehat, gaji yang setimpal, karier yang mapan, kenyamanan dan ketenangan hidup?
Ah, sederet pertanyaan akan terus memanjang, tanpa ada jawaban. Sebuah renungan, bahwa hari ini, di sini; dengan sistem kapitalis dan korup ini; hidup terasa buntu. Tidak maju. Entah sampai kapan. Namun, “kabur” ke luar negeri, tentu hanya solusi untuk segelintir orang. Bukan solusi tuntas atas ketimpangan, kemiskinan, ketidak-adilan dan kebusukan hidup di sini.
Jadi, sebenarnya bukan rakyat yang harus ramai-ramai pindah, tapi bagaimana sistem hidup dalam mengurus rakyat ini yang harus berbenah. Totalitas dan bukan hanya parsial. Ganti sistem dan bukan hanya ganti orang. Bukankah sudah terbukti gonta-ganti rezim tidak mengubah keadaan?(*)