
Oleh. VieDihardjo
MuslimahTimes.com–Sebuah liga baru kini menjadi topik ditengah masyarakat, bernama liga korupsi Indonesia. Sebuah liga satir yang dibuat oleh warganet menanggapi banyaknya kasus korupsi yang terungkap belakangan dengan jumlah kerugian negara yang sangat fantastis. Usai Kejagung merilis hasil penyidikan dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produksi kilang di Pertamina, netizen ramai-ramai ‘mengadu’ kasus korupsi dengan jumlah kerugian paling besar dan menyusun daftar klasemen sementara liga korupsi Indonesia, ini menjadi sebuah gambaran masalah akut yang terjadi dinegeri ini yang tak kunjung tuntas justru semakin ganas.
Posisi kasus korupsi timah tergeser, setelah bertahan dengan jumlah korupsi merugikan negara sebesar 300 triliun kini digantikan oleh dugaan korupsi di anak perusahaan (sub holding) Pertamina, Patra Niaga dengan dugaan kerugian negara hampir 1000 triliun (1 kuadrilliun). Pihak Kejagung yang menyidik kasus ini menyatakan bahwa ini adalah hitungan kasar, pada 2023 negara diduga mengalami kerugian hingga Rp193,7 trilliun. Sementara Kejagung menyebut tempus delicti atau waktu terjadinya praktik korupsi ini dimulai tahun 2018-2023, jika dihitung secara kasar, kerugian mencapai Rp968,5 triliun.
Pemberantasan korupsi menjadi agenda yang tidak pernah luput dari kampanye setiap pergantian kepemimpinan, begitupun pada pemilu 2024 lalu. Namun, upaya pemberantasan korupsi seperti ‘jauh panggang dari api’, malah muncul klasemen liga korupsi Indonesia yang ‘mengadu’ jumlah total kerugian negara akibat korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan bahwa, pada tahun 2024, korupsi paling banyak dilakukan oleh Kementerian dan lembaga setingkat lainnya sebanyak 39 kasus dan oleh Badan Usaha Milik Negara atau Daerah (BUMN/BUMD) sebanyak 34 kasus. Masih menurut KPK, Secara keseluruhan, kasus korupsi pada 2023 menghasilkan 1.649 putusan dengan 1.718 orang terdakwa. Kerugian yang harus ditanggung negara mencapai Rp56 triliun (www.goodstaat.id 5/1/2025).
Dengan pernyataan Presiden Prabowo bahwa koruptor akan dimaafkan asal mengembalikan uang negara yang telah dicuri, alih-alih menekan angka korupsi, justru terungkap kasus korupsi yang dilakukan oleh anak perusahaan Pertamina dengan dugaan kerugian negara yang sangat besar. Hari ini, korupsi di Indonesia mencapai level kritis, karena setiap individu dalam masyarakat berpotensi terjangkiti penyakit korupsi bahkan setiap organisasi pemerintahan hingga swasta tidak bisa menghindar dari potensi perilaku koruptif. Mengapa bisa terjadi demikian?
Kapitalisme Lahirkan Korupsi
Korupsi secara sederhana dapat dipahami sebagai upaya untuk menggunakan kemampuan atau kekuatan, campurtangan karena posisinya untuk menyalahgunakan informasi, keputusan, pengaruh, uang dan kekayaan untuk keuntungan dan kepentingan dirinya. Lord Acton (1833-1902) pernah menyatakan “Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely” (“Kekuasaan itu cenderung korup. Kekuasaan absolut korup seratus persen”) benar adanya karena kekuasaan akan memberi celah besar melakukan tindakan koruptif. Apalagi jika ditopang oleh kapitalisme dengan asasnya sekularisme, memisahkan agama dari kehidupan. Nilai-nilai agama tidak mengatur dan membatasi perilaku seseorang, tidak memberi standar baik dan buruk, moral menjadi hilang. Kapitalisme juga memberi standar kebahagiaan adalah materi, sehingga semakin banyak materi yang bisa diperoleh akan semakin bahagia, tanpa memberi aturan bagaimana cara memperolehnya.
Kapitalisme mendorong seseorang melakukan tindakan koruptif karena tujuannya adalah materi sementara cara tidak boleh diatur oleh agama.
Dalam hal Indonesia, korupsi berkembang secara elitis, korupsi menjadi khas dan biasa dikalangan elit dan pejabat. Saat pejabat tersangkut dugaan korupsi dan dipanggil KPK, gesturnya tampak biasa saja bahkan masih bisa mengumbar senyum didepan media massa. Selain itu, korupsi juga seperti endemik, karena korupsi mewabah, menjangkiti masyarakat hingga level bawah, misalnya tindakan suap atau sekedar uang tips. Korupsi lahir secara sistemik, buah dari sistem hidup Kapitalistik.
Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW) korupsi telah membudaya dan tidak hanya dibutuhkan pendekatan struktural melalui alat-alat penegakan hukum, seperti polisi, Kejaksaan, KPK. Namun membutuhkan pendekatan kultural, dimana semua ajaran agama melarang perilaku koruptif. Masih menurut ICW, secara filosofis, larangan korupsi pada semua ajaran agama telah diketahui oleh semua pemeluk agama, sayangnya pada level praktis yang terjadi justru sebaliknya, yang melakukan korupsi justru manusia beragama.
Terjadi paradoks dalam masyarakat Indonesia, bahwa apa yang dipahami dan diyakini berbeda 180 derajat dengan apa yang dikerjakan. Artinya, berharap pada Kapitalisme Sekulerisme untuk meghilangkan korupsi adalah mustahil. Karena secara asas, agama justru dipisahkan dari kehidupan, sehingga masyarakat bebas menggunakan cara apa pun untuk sampai kepada tujuan, yakni materi.
Islam Hadirkan Solusi
Islam tidak hanya mengatur masalah ritual ibadah, juga mengatur semua aspek kehidupan manusia. Dimulai dari pemilihan pemimpin dan para pejabat pemerintah yang diakui dan dipilih oleh rakyat untuk menjalankan dan mengelola negara (pemerintahan) berdasarkan Al Qur’an dan sunnah. Dimulai dari pengangkatan pejabat. Pejabat dalam Islam dipilih dan diangkat dengan sifat berkualitas, amanah dan tidak berbiaya tinggi, hal ini dimaksudkan untuk menekan anagka korupsi, suap dan sejenisnya. Dalam pengangkatan pejabat negara Islam, Khilafah menetapkan syarat taqwa selain syarat profesionalitas. Ketakwaan individu adalah pengontrol awal agar tidak berbuat maksiat atau tercela.
Pejabat bertakwa akan takut kepala Allah, akan senantiasa merasa diawasi oleh dalam setiap aktivitasnya. Sebagaimana Allah berfirman,
إِنَّ رَبَّكَ لَبِالْمِرْصَادِ
“Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi.” (Qs.Al Fajr ayat 14)
Dan pada QS. Al Hadid ayat 4,
وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا ۖ وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”
Bukan hanya memiliki keimanan yang kokoh sehingga senantiasa merasa diawasi Allah dalam setiap langahnya, mindset zuhud senantiasa mewarnai setiap pejabat, memandang rendah dunia dan qana’ah, rida dengan setiap pemberian Allah, sehingga jabatan bukan alat untuk memperkaya diri dan keluarga akan tetapi menjadi sarana untuk meraih rida Allah.
Para pejabat dalam Daulah Islam atau Khilafah adalah orang-orang yang dilipilih untuk membantu Khalifah mengurusi rakyat, bukan untuk mengurusi sekelompok elite rakus, pemilik modal atau oligarki, untuk itu maka negara memberi gaji yang layak bagi para pejabat. Harta meraka dicatat sebelum menjabat dan setelah menjabat beserta penambahannya. Apabila penambahannya diperoleh dengan cara yang tidak syar’i maka akan dikembalikan kepada kas negara dan pelakunya akan diberi sanksi.
Di dalan Daulah Islam, negara memastikan kebutuhan pokok rakyat seperti pangan,sandang, papan dapat diperoleh dengan mudah dan murah. Sementara layanan umum akan digratiskan seperti, pendidikan, kesehatan, keamanan, infrastruktur dan birokrasi. Sistem Islam memiliki upaya preventif (pencegahan) terhadap perilaku koruptif dan juga kuratif (sanksi) ketika terjadi perilaku koruptif . Bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, cambuk hingga hukuman mati. Khalifah Umar bin Khattab pernah menyita kekayaan Abu Sufyan dan membagi dua, setelah Abu Sufyan berkunjung ke anaknya Muawiyah, yang saat itu menjadi gubernur Syam (Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan Khilafah, hlm.123)
Upaya memberantas korupsi harus dilakukan secara sistemis agar efektif. Perubahan sistem perlu dilakukan denngan sungguh-sungguh dengan cara kembali menerapkan islam secara kaffah dalam sistem pemerintahan Khilafah mutlak diperlukan. Wallahu’alam bisshowab