
Foto: Narasumber
Jurnalis: Asri Supatmiati
Muslimahtimes.com–Maraknya tagar #KaburAjaDulu masih menjadi perbincangan hangat. Radar Bogor mewawancari salah satu WNI yang pernah tinggal di Nara, Jepang, Teh Neneng Sri Wahyuningsih (37). Ibu tiga putri ini sekarang berdomisili di Cibanteng, Ciampea, Bogor. Berikut tanggapannya terkait trend anak muda ingin mengadu nasib ke luar negeri:
- Apa pandangan Anda tentang maraknya tagar #KaburAjaDulu?
Adanya tagar #KaburAjaDulu ini merupakan respons kekecewaan masyarakat atas karut marutnya menjalani kehdupan di negeri ini. Hanya saja untuk menyikapi persoalan yang sedang terjadi di negeri kita ini, tidak cukup hanya dengan kabur saja karena ini seolah-olah kita lari dari masalah tanpa menyelesaikan permasalahan tersebut
Tetapi harus dicari akar permasalahannya apa, agar solusi yang ditawarkan juga tepat. Di sisi lain, dari pihak pemerintah juga harus evaluasi kenapa akhirnya marak yang ingin tinggal di luar negeri. Padahal memiliki SDM yang berkualitas itu kan luar biasa. Salah satu aset berharga sehingga jangan sampe dilepas dan disia-siakan.
- Biasanya apa yang memotivasi WNI akhirnya menetap di luar negeri?
Hidup nyaman, aman, dan sejahtera, karena memang itu dambaan setiap orang. Sementara di negeri ini serba tidak pasti. Saya pernah menemukan beberapa orang yang mengatakan memang sengaja tinggal di LN pasca study, karena jika pulang ke tanah air, mereka gak tau mau ngapain, gak tahu bagaimana nasib ke depannya.
Umumnya yang bilang seperti ini karena mereka belum memiliki pekerjaan tetap di tanah air. Mereka sekolah pasca magister langsung setelah lulus S1. Di Indonesia belum punya job, akhirnya mereka cari pekerjaan di LN atau nyari beasiswa lagi agar bisa lanjut studi lagi.
Sebenarnya miris ketika mendengar langsung ungkapan kekhawatiran tersebut, tetapi memang begitulah kondisinya di negeri kita. Jangankan susah cari kerja, yang udah kerja saja banyak yang di-PHK. Jadi sebenarnya mungkin gak hanya tagar #kabarajadulu, tapi kalau diviralkan bisa juga ada tagar #gaperlubaliklagi. Apa pemerintah kita gak rugi kehilangan banyak SDM potential seperti ini?
- Anda sendiri, bagaimana awalnya bisa ke luar negeri, dan berapa lama tinggal di sana? Boleh diceritakan?
Kami tinggal di Nara, Jepang selama tiga tahun. Kalau suami 3,5 tahun. Saya dan anak-anak menemani suami yang melanjutkan sekolah doctoral di sana. Awalnya baru suami saja yang berangkat kesana, September 2017. Kemudian kami bertiga menyusul di bulan Februari 2018. Selama 3 tahun kami tinggal di asrama kampus (Sept 2017-Sept 2020).
Ini memang fasilitas yang diberikan oleh universitas tersebut, karena selama studi mahasiswanya tinggal di asrama kampus. Jika program magister jatahnya 2 tahun. Program doctoral jatahnya 3 tahun. Jika ternyata belum selesai (lulus) maka harus keluar dari asrama tersebut dan mencari tempat tinggal di luar (apartment/apato).
Bersyukur di kampus suami ini, fasilitas asramanya lama. Kalau di kampus lain kebanyakan bisa tinggal di asrama itu hanya 6 bulan-1 tahun saja. Dengan tinggal di asrama ini, biaya sewa asrama dan pengeluaran seperti listrik, gas dan air lebih hemat karena disubsidi. Mahasiswa yang mendapatkan beasiswa juga dianggapnya orang miskin sehingga tidak perlu bayar pajak.
Kami tahu biaya sewa di asrama lebih hemat dari teman-teman yang akhirnya harus tinggal di luar asrama karena studinya melebihi target. Tapi pada akhirnya kami pun merasakan tinggal di luar asrama, 6 bulan berikutnya yakni September 2020-Mar 2021, karena suami lanjut post doctoral selama 6 bulan.
Tempat tinggal yang kami pilih ini apartmen pemerintah yang notabene lebih sederhana ya. Biaya sewa,listrik dll itu 2x lipat dari biaya sewa saat di asrama. Lokasinya juga lumayan jauh dari kampus. Di sekitar kampus ada semacam guest house. Hanya saja biaya sewanya sangat mahal. Untuk kamar family, karena kami punya 2 anak, biaya sewanya sekitar 3,5x lipat dari biaya sewa asrama. Memang sudah full furnish.
Sewa tempat tinggal itu tergantung luas kamar dan fasilitas yang disediakan ya. Tapi kalau sudah berkeluarga harus pilih ruangan yang berisi minimal 2 kamar. Jadi sudah ada kriterianya ruangan tersebut untuk ditempati single atau family.
- Apa yang paling membedakan tinggal di luar negeri dengan di Indonesia, terutama yang menyebabkan betah di sana?
Paling kerasa dari segi transportasi, keamanan, dan kebersihan. Saya cukup lama tinggal di Bogor (dari tahun 2006). Bogor terkenal dengan sebutan sejuta angkot. Di mana-mana banyak angkot. Angkot yang ngetem dan jalanan macet sudah menjadi tontonan setiap hari para pengguna jalan. Ketika tinggal di Jepang, belum pernah ngerasain yang namanya macet bahkan ngetem. Malah kami pernah harus berjalan kaki sekitar 1,5 km dari tempat tinggal menuju stasiun terdekat karena kami telat datang ke halte bus.
Jadi, transportasi umum di sana ada bus, taksi dan kereta. Jadwal bus dan kereta on time. Telat 1 menit saja langsung ditinggal, kecuali di dalam bus ada teman kita yang memanggil-manggil kita untuk segera berlari menuju bus atau sopirnya baik hati menunggu sebentar saat melihat kita berlarian menuju halte. Kita masih baman bisa naik bus. Tapi kalau tidak ada kondisi itu, ya sudah bye bye. Pilihannya nunggu jadwal bus berikutnya atau jalan kaki. Jadwal bus sudah ada di setiap halte, jadi kita bisa pergi menyesuaikan dengan jadwal itu.
Jeda jadwal bus beda-beda, ada yang selangnya 1 jam, ada juga yang 2 jam. Jadi kami pastikan punya jadwal bus tersebut, sehingga kalaupun mau nunggu jadi ketahuan jadwal berikutnya itu jam berapa. Kebetulan selama di sana kami hanya punya sepeda, sehingga jika mau pergi-pergi bersama keluarga, berarti naik bus dari halte terdekat tempat tinggal, lalu naik bus lagi atau kereta. Masyaallah transportasi umumnya sangat nyaman dan aman, sehingga kami pun menikmatinya. Tidak perlu mengeluh cuma punya sepeda doang.
Selain itu jikapun harus jalan kaki, di sana ramah untuk pejalan kaki. Trotoar yang cukup luas dan udaranya bersih sehingga pejalan kaki pun akan aman dan senang melakukannya. Takayama, salah satu daerah di Nara tempat tinggal kami, memang masuknya pedesaan. Jadi gak terlalu ramai. Mungkin kalau di kota-kota besar kendaraan lebih ramai. Tapi setahu saya di setiap jalan ada trotoar. Jadi memang sangat ramah bagi pejalan kaki.
Karena transportasi ini ukurannya besar (bus) jadi gak perlu menyediakan yang banyak banget, akhirnya di jalan gak terjadi kemacetan. Udara juga bersih karena gak terlalu banyak polusi udara.
Tahun 2021 kami kembali ke Bogor, masih jetlag dan sempat merasakan malas pergi keluar memggunakan angkutan umum karena sering macet, ngetem, dan kurang nyaman angkutan umumnya (kecuali naik grab car, go car atau taxi baru bisa dibilang nyaman kali ya).
Trotoar juga harus diperbaiki agar bisa ramah untuk pejalan kaki atau pengendara sepeda. Ini kan bagus untuk kesehatan tubuh kita. Jika gaya hidup rakyatnya sehat maka ini menjadi aset negara juga bulan?
- Orang-orang Jepang terkenal sangat disiplin, seperti apa kebiasaan warga yang bisa ditiru di sini?
Betul. Contohnya terkait kebersihan. Di sana sangat bersih. Di sungai-sungai itu mengalir air yang bersih. Tempat sampah ada di berbagai tempat dan sudah dengan kriteria sampah yang berbeda-beda. Jadwal pembuangan sampah juga sudah diberitahukan kepada setiap orang atau ditempel di tempat pembuangan sampahnya.
Memang tidak dipungkiri, saya pun pernah melihat ada orang yang masih buang sampah sembarangan. Tapi sepertiya persentase antara orang yang membuang sampah pada tempatnya atau benar cara buangnya itu lebih besar dibandingkan orang yang masih sembarangan buang sampah.
Waktu di asama ada petugas kebersihan yang suka ngecek ke tempat sampah (tempat mengumpulkan sampah sebelum diangkut truk sampah itu berupa ruangan. Beliau mengecek apakah orang-orang yang tinggal di sekitar lingkungan tersebut sudah benar memilah sampahnya atau belum. Kalau belum, dipisahkan sama beliau agar bisa diangkut sama truk sampah karena kalau salah mengkelompokkan sampah, sampah tsb tidak akan diangkut (biasanya nanti ditempel sticker utk memberitahukan kalau isi kanting plastik tsb salah).
Saya sendiri sempat kena “semprot” nenek-nenek petugas kebersihan yang suka memilah sampah itu, karena saat beliau memilah-milah, saya pas buang sampah. Padahal entahlah siapa yang salah memilah sampah-sampah tersebut.
Terkait keamanan, di sana cukup aman. Saya pernah ketinggalan tas, tapi karena langsung ingat jadi saya langsung balik lagi ke lokasi. Pas banget itu tasnya mau diantar ke pusat layanan (ketinggalan di mal). Pernah juga jaket si kecil jatuh tanpa kami sadari. Pas sudah sadar, jaketnya sudah dibawa ke petugas. Karena keterbatasan bahasa, akhirnya kami pun mengiklaskan jaket tersebut. Begitupun suami pernah ketinggalan jam tangan di kamar mandi mal. Karena telat sadarnya, akhirnya jam itu sudah dibawa ke kantor pusat. Kalau kita bisa ngomongnya sih bisa aja barang-barang itu balik lagi ke kita. Tapi karena gak bisa komunikasi, ya sudah diikhlaskan saja.
Tapi pernah teman saya kehilangan dompet (jatuh), kemudian ada petugas yang mengembalikannya. Pernah juga suami kehilangan sarung tangan. Sarung tsb disimpan di sepeda, ditinggal karena percaya di Jepang aman, gak ada yang bakalan ngambil. Eh ternyata ada yang ngambil. Mungkin karena musim dingin jadi orangnya butuh kali ya.
- Apa tantangan paling sulit yang pernah dialami di sana?
Kendala komunikasi, karena keterbatasan Bahasa Jepang. Misalnya ketika kami harus berobat ke rumah sakit. Kebetulan diuji sakit barengan berdua, saya dan suami. Kami pun sama-sama keterbatasan berbicara dalam Bahasa Jepang. Apalagi waktu itu sedang awal-awal Covid (Januari awal 2020).
Sebenarnya ada teman dan salah satu guru les Bahasa Jepang yang menawarkan bantuan, hanya saja kami sendiri yang merasa sungkan mengingat mulai ramai-ramainya COVID. Pada Januari itu kami harus beberapa kali bolak balik rumah sakit. Kebetulan rumah sakit yang kami tuju juga menjadi salah satu tempat yang direkomendasikan untuk pasien terindkasi COVID. Sehingga kami tidak ingin merepotkan mereka.
Karena keterbatasan bahasa juga, kami sempat mengalami kejadian lucu, yakni datang ke klinik bersalin, padahal klinik tersebut sudah tidak beroperasi lagi (sudah tutup sejak setahun sebelumnya). Kami pergi menggunakan taksi dan tidak menunggu. Akhirnya, saat pulang kami pun harus berjalan kaki menuju stasiun terdekat (jalan sekitar 1,5 km dalam kondisi musim panas dan sedang puasa Ramadan).
Padahal, sebelum pergi ke klinik itu kami sudah cari info terlebih dahulu. Teman kami yang sudah lama tinggal di sana juga merekomendasikannya. Tapi di web tidak ada info kalau sudah ditutup. Makanya kami tetap pergi kesana. Kocak, secanggih Jepang aja, ada juga info yang tidak valid.
- Jika ada kesempatan, ingin tinggal di luar negeri selamanya, atau ingin menetap kembali ke Tanah Air? Alasannya?
Kalau hanya memikirkan kesenangan dunia, sepertinya pengen tetap tinggal di luar negeri ya. Waktu tinggal di apartemen pemerintah, kami mendapat tetangga yang baik. Rata-rata nenek-nenek yang kami temui itu baik-baik. Suka ngasih hadiah ke anak-anak. Ngasih makanan juga, tapi kami cek dulu halal atau gak. Tentunya kami i=cek pas udah nyampe rumah, jadi sama tetangganya dikira kami makan makanan tsb. Ini sebagai bentuk Kami memghargai kebaikan mereka.
Di sana juga banyak taman bermain anak-anak gratis. Jadi kami bisa safari ke taman sesuka hati, anak-anak juga senang. Cuma kita memahami bahwa hidup di dunia ini sementara, yang abadi ya di akhirat nanti. Sehingga kami menginginkan kehidupan yang tidak hanya menyenangkan semata (kesenangan dunia, red) tetapi juga kehidupan/lingkungan yang bisa mengingatkan/mendekatkan kami untuk persiapan kehidupan selanjutnya.
Apalagi kami punya anak. Anak itu peniru ulung. Meski misalnya di dalam rumah sudah berusaha dijaga dengan baik, tapi kalau lingkungannya (masyarakat) berbeda dengan trandisi keluargamya, otomatis ini bisa menggoyahkan (mempengaruhi) mereka. Sehingga kami butuh lingkungan yang bisa sejalan dengan visi kami atau tradisinya mendekati kami (muslim). Kalau tinggal di LN agak sulit untuk memilah-milah yang masyarakatnya semua muslim.
Kebetulan di Nara ini juga baru ada masjid. Itupun di pusat kota Nara dan baru beroperasi sekitar akhir tahun 2020-an. Selama kami di sana, biasanya muslim Indonesia suka berkumpul untuk pengajian di lobi asrama atau ruangan kampus yang biasa disewakan (assembly hall). Seminggu sekali kami mengadakan pengajian di sana (khusus muslim Indonesia).
Bapak-bapak juga kalau salat Jumat, dzuhur dan ashar bisa di lobi asrama. Kalau agenda besar seperti Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha diadakan di assembly hall gabung dengan muslim lainnya. Jadi, muslim Indonesia, Pakistan, Dan Bangladesh kumpul semua.
Alhamdulillah selama di sana memang menemukan circle yang sama-sama mau belajar tentang agama. Hanya saja, seperti masih kurang optimal, jika dibandingkan belajar agamanya di tanah air. Kami juga sangat merindukan adzan. Meski suara adzan bisa didengarkan dari aplikasi tapi tetap saja rasanya berbeda.
- Pesan Anda untuk anak muda yang ingin mengadu nasib ke luar negeri?
Pesan atau saran saya untuk anak muda yang ingin mengikuti tren Kabur Aja Dulu, sebaiknya pikirkan kembali dengan matang, apa yang akan kita lakukan. Meski itu tren, tetap saja yang menjalani kita masing-masing kan.
Jangan langsung tergiur dengan video-video hidup enak di LN, karena secara naluri, pasti si pembuat video ingin memperlihatkan kenyamanan hidup di sana, tapi giliran kesusahannya tidak di publish ke piblik. Memang enak tinggal di luar negeri dan gajinya besar. Tapi sebenarnya kkalau mau dirinci, biaya hidupnya juga tinggi. Belum bayar yang lainnya seperti bayar pajak, asuransi, dan dana pensiun.
Selain itu, belum tentu kita dapat lingkungan yang nyaman dan orang-orangnya ramah. Tinggal di dalam negeri yang notabene sesama muslim aja, tipe orangnya beda-beda kan. Apalagi ini di LN beda kultur, agama dan lainnya. Ya, kalau kita tinggalnya di desa, mungkin bisa lebih hemat dan bisa menabung, jaga diri, dan menemukan circle yang sama-sama mau taat dengan agama. Itu bersyukur banget.
Tapi kalau ternyata tidak mendapatkan hal seperti ini, lama kelamaan kita akan tergerus dengan arus yang menyesatkan. Sebelum memutuskan tinggal di LN, coba dipastikan plus minus nya apa tinggal di sana. Apalagi kita sebagai muslim, gunakan standar slam bukan manusia.
- Apa yang perlu dibenahi dari kota tempat tinggal Anda sekarang, khususnya, agar layak sebagai tempat menetap dan warganya tidak “kabur”?
Yang perlu dibenahi dari Kota Bogor, terutama segi transportasi umum. Sangat diharapkan bisa menyediakan transportasi umum yang aman dan nyaman Salah satunya seperti buskita. Saya senang sekali saat naik buskita seperti lagi nostalgia saat-saat di Jepang. Sayangnya, sekarang sudah berhenti beroperasi. Padahal dulu saya berharap buskita ini bisa diperbanyak jumlah maupun jangkauan areanya.
Selain itu, benahi soal kebersihan (sampah). Di dekat tempat tinggal kami yang sekarang (Ciampea, Red), ada sungai yang isinya dipenuhi dengan sampah. Airnya pun sudah tak nampak lagi. Semenjak kami di sini, sepulang dari Jepang, miris sekali lihat sungai tersebut. Penuh dengan sampah.
Memang mulai dikeluarkan dari sungai, tapi sudah beberapa pekan sampah tersebut hanya digeletakkan di pinggiran sungai saja, gak diangkat sama sekali oleh truk sampah. Sungainya pun bukannya jadi bersih tapi masih saja ada yang membuang sampah ke sana jadi makin bertambah.
Masyarakat juga tidak diedukasi untuk buang sampah pada tempatnya, maka lama kelamaan sungai-sungai tersebut bukan mengalirkan air, melainkan dipenuhi dengan tumpukan sampah yang akhirnya bisa berakiibat pada banjir. Bogor kan dikenal kota hujan. Sangat berbahaya bukan, jika sungainya dipenuhi sampah?
Trotoar juga diperbesar, jangan irit amat. Ini trotoarnya kecil, eh pengendara motor malah ada juga yang lewat trotoar. Terus pejalan kaki mesti pakai jalan yang mana?
Selain itu juga sediakan taman bermain anak gratis. Ada perosotan, ayunan, jungkat-jungkit atau yang buat manjat-manjat. Dijamin anak-anak pasti suka. Sehingga energi mereka bisa dikeluarkan di sana, bukan malah sibuk main game online atau nonton YouTube yang gak jelas. Kasian juga anak-anak, terlalu lama dan sering screentime-nya. Di sini sekarang rata-rata fasilitas taman bermain ini kan hanya disediakan perumahan-perumahan saja, itupun perumahan yang elite mungkin. Padahal tidak semua warga tinggal di sana.(*)