
Oleh. Sherly Agustina, M.Ag
Muslimahtimes.com–Lagi, dunia pendidikan tercoreng oleh perilaku amoral pendidiknya. Mirisnya, pelaku kekerasan seksual tersebut seorang guru besar di perguruan tinggi negeri. Guru besar yang seharusnya menjadi teladan di dunia pendidikan, sebaliknya mencoreng nama baik civitas akademik, lembaga pendidikan, dan gelar guru besarnya. Mengapa kekerasan seksual bisa terjadi di lembaga pendidikan tinggi dengan pelakunya guru besar yang memiliki jabatan kepada mahasiswinya?
Di majalah Tempo edisi 31 Maret-6 April 2025 menerbitkan tulisan berjudul “Gelagat Cabul Profesor Pembimbing” yang memaparkan kasus kekerasan Edy Meiyanto. Edy dituding melecehkan mahasiswa S1 hingga S3 saat menjalani bimbingan skripsi, tesis, dan disertasi. Peristiwa itu terjadi di kampus, rumah Edy di kawasan Minomartani, Sleman, dan sejumlah lokasi penelitian. Jumlah korban 15 mahasiswa melapor ke Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual. Total kasus dalam kertas kerja yang dilaporkan korban ada 33 kejadian. Beberapa korban bahkan mengalami kekerasan lebih dari satu kali.
Pelaku dipecat oleh Rektorat UGM karena terbukti bersalah melanggar kode etik dosen dan Pasal 3 Peraturan Rektor UGM Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di UGM. Belasan korban terduga kekerasan seksual meminta Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi bersikap tegas, memberikan sanksi berupa pencopotan status pelaku sebagai aparatur sipil negara agar memberikan efek jera. (Tempo.co, 8-4-2025)
Di media lain dijelaskan bahwa Edy Meiyanto, Guru Besar Fakultas Farmasi dipecat UGM karena terbukti melakukan kekerasan seksual terhadap sejumlah mahasiswa sepanjang 2023-2024. Kasus ini muncul setelah ada laporan ke kampus pada Juli 2024. Sekretaris UGM, Andi Sandi mengatakan pelaku telah dijatuhkan sanksi pemecatan berdasarkan SK Rektor tahun 2025. Saat ini, Kemendiktisaintek sedang memproses pencopotan status ASN pelaku. (Metrotvnews.com, 7-4-2024)
Tercorengnya Dunia Pendidikan
Problem di dunia pendidikan tak ada hentinya, dari kasus bullying, kekerasan dan tawuran para pelajar, kekerasan seksual antar pelajar, kekerasan seksual oleh guru pada muridnya, seks bebas, peserta didik yang niradab, dan lainnya. Kini, kekerasan seksual kembali terjadi di perguruan tinggi dengan pelakunya guru besar. Bagaimana akan terbentuk generasi yang berkualitas, jika para pendidiknya berperilaku yang tidak patut dicontoh?
Jika kekerasan seksual sudah terjadi di berbagai jenjang pendidikan, maka masalahnya bukan lagi pada individu pelaku melainkan sistemik. Mengapa perilaku kekerasan seksual ini begitu masif dan parah terjadi di dunia pendidikan? Selain self kontrol keimanan seseorang runtuh, tentu ada faktor lain yang dapat memicu. Bisa jadi dari derasnya arus media yang tak terfilter dengn baik, konten porno mudah diakses mendorong hasrat seksual seorang pria bergejolak. Pergaulan dengan lawan jenis yang bebas, dan aurat yang tak terjaga.
Apalagi sistem sekuler libelar yang diadopsi negara saat ini membuat manusia menomorduakan agama. Sekuler berarti, agama tak perlu dibawa dalam kehidupan, agama dipisahkan dari kehidupan dan negara. Liberal menjamin manusia melakukan apa saja dengan bebas termasuk dalam kehidupan seksual walau melanggar norma dan agama. Jelas, harus ditelisik penyebab utama mengapa perilaku kekerasan seksual ini terjadi? Tak lain, karena sistem sekuler liberal yang diterapkan saat ini.
Maka, pilihannya sistem sekuler liberal saat ini harus dicampakkan agar tidak terjadi lagi perilaku amoral dan kerusakan lainnya terutama di dunia pendidikan. Karena dunia pendidikan adalah tempat mencetak generasi berkualitas estafet para ulama yang akan mengisi negara di masa depan. Negara bertanggung jawab mengondisikan lembaga pendidikan steril dari perilaku menyimpang yang melanggar syarak dan niradab. Demi terwujudnya generasi yang diharapkan dan didambakan yaitu generasi cemerlang.
Bagaimana Solusi dalam Islam?
Lalu, sistem apa yang mampu menggantikan sistem sekuler liberal dan menjadi alternatif solusi dari permasalahan pendidikan termasuk kekerasan seksual yang marak terjadi saat ini di dunia pendidikan? Jawabannya, sistem itu tak lain adalah sistem Islam yang memiliki aturan yang sempurna dan paripurna. Islam memiliki solusi preventif dan kuratif. Pada aspek pencegahan, Islam memiliki aturan sistem pergaulan yang unik. Allah Swt. menciptakan naluri seksual pada pria dan wanita bukan untuk diumbar liar melainkan diatur dengan sebaik-baiknya sesuai fitrah manusia. Tentang aturan tata pergaulan dijelaskan oleh seorang ulama, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah dalam kitabnya, An-Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam, hlm. 39. Di antaranya sebagai berikut:
Pertama, Islam memerintahkan kepada manusia, baik pria maupun wanita agar menundukkan pandangan. Allah Swt. berfirman, “Katakanlah kepada pria yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.‘ Dan katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya.…‘” (TQS An-Nûr [24]: 30-31)
Kedua, Islam memerintahkan kaum wanita untuk mengenakan pakaian yang menutupi auratnya, yaitu seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan kedua telapak tangannya, yakni mengenakan jilbab (gamis) (lihat QS Al-Ahzab: 59) dan khimar (lihat QS An-Nuur: 31).
Ketiga, Islam melarang seorang wanita melakukan safar (perjalanan) dari suatu tempat ke tempat lain selama perjalanan sehari semalam, kecuali jika disertai dengan mahramnya.
Keempat, larangan bagi pria dan wanita untuk berkhalwat (berdua-duaan), kecuali jika wanita itu disertai mahramnya.
Kelima, Islam mengatur wanita keluar rumah harus seizin suaminya.
Keenam, Islam sangat menjaga agar dalam kehidupan khusus komunitas wanita terpisah dari komunitas pria; begitu juga di dalam masjid, sekolah, dan sebagainya.
Ketujuh, Islam sangat menjaga agar hubungan kerja sama antara pria dan wanita bersifat umum dalam urusan-urusan muamalah, bukan hubungan yang bersifat khusus seperti saling mengunjungi antara wanita dengan pria yang bukan mahramnya atau keluar bersama untuk berdarmawisata. Ini karena kerja sama di antara keduanya bertujuan agar wanita mendapatkan apa yang menjadi hak-haknya dan kemaslahatannya, di samping agar mereka melaksanakan apa yang menjadi kewajiban-kewajibannya. Jelas, Islam menjaga interaksi pria dan wanita sehingga tidak terjadi interaksi yang mengarah pada hubungan lawan jenis yang bersifat seksual.
Di antara langkah preventif lainnya adalah negara melakukan peran dan tugasnya secara nyata, yaitu menerapkan sistem pendidikan berbasis akidah Islam. Dengan sistem ini, seluruh perangkat pembelajaran mengacu pada Islam. Dengan begitu, anak-anak memiliki akidah yang kuat, orang tua memiliki pemahaman agama yang baik, dan masyarakat aktif berdakwah dengan saling memberi nasihat dalam takwa dan kebaikan.
Negara juga mengoptimalkan fungsi lembaga media dan informasi dengan menyaring konten dan tayangan yang tidak mendukung terciptanya suasana iman dan takwa. Baik di lingkungan pendidikan dasar maupun pendidikan tinggi, seperti konten porno, film berbau sekuler liberal, media penyeru kemaksiatan, dan perbuatan apa saja yang mengarah pada pelanggaran hukum syarak.
Pada aspek penanganan (kuratif), negara memberlakukan sistem sanksi yang tegas dan berefek jera. K.H. M. Shiddiq al-Jawi menjelaskan, jika seorang wanita menyatakan di hadapan hakim (kadi) bahwa dirinya telah diperkosa oleh seorang pria, sebenarnya dia telah melakukan qadzaf (tuduhan zina) kepada pria itu. Kemungkinan hukum syarak yang diberlakukan oleh hakim dapat berbeda-beda sesuai fakta (manath) yang ada, antara lain adalah sebagai berikut.
Pertama, jika wanita itu mempunyai bukti (al-bayyinah) perkosaan, yaitu kesaksian empat pria muslim, atau jika pria pemerkosa mengakuinya, maka pria itu dijatuhi hukuman zina, yaitu dicambuk 100 kali jika dia bukan muhshan dan dirajam hingga mati jika dia muhshan (Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz 7 hlm. 358).
Kedua, jika wanita itu tidak mempunyai bukti (al-bayyinah) perkosaan, hukumnya dilihat lebih dahulu. Jika pria yang dituduh memperkosa itu orang baik-baik yang menjaga diri dari zina (al-‘iffah an zina), wanita itu dijatuhi hukuman menuduh zina (hadd al qadzaf), yakni 80 kali cambukan sesuai QS An-Nur: 4. Adapun jika pria yang dituduh memperkosa itu orang fasik, yakni bukan orang baik-baik yang menjaga diri dari zina, maka wanita itu tidak dapat dijatuhi hukuman menuduh zina (Ibnu Hazm, Al-Muhalla, Juz 6 hlm. 453; Imam Nawawi, Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, Juz 20 hlm.53; Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz 7 hlm. 346). (MislimahNews.com)
Khatimah
Demikianlah langkah preventif dan kuratif dalam Islam mengenai kekerasan seksual. Sistem pergaulan, pendidikan, dan media massa dalam Islam akan menciptakan lingkungan dan pergaulan yang sehat, aman, dan jauh dari perilaku maksiat sehingga mencegah terjadinya kekerasan seksual. Sedangkan sistem ‘uqubat (sanksi) dalam Islam tidak hanya memberikan hukuman, tetapi juga mencegah kasus serupa berulang terjadi sehingga memberikan efek jera bagi para pelakunya siapa pun itu.
Hanya Islam yang mampu menjadi solusi alternatif sekuler liberal saat ini. Karena selama aturan sekuler liberal masih diterapkan, bukan tidak mungkin kasus serupa akan terjadi kembali dengan berbagai modus. Regulasi yang dibuat dalam sistem sekuler liberal hanya mampu menambal sulam tidak menyentuh akar permasalahan. Saatnya umat paham dan sadar bahwa hanya Islam satu-satunya solusi dan sistem yang menjaga fitrah manusia dan memanusiakan manusia. Allahua’lam Bishawab