
Oleh. Tari Ummu Hamzah
Muslimahtimes.com–Bulan lalu Indonesia digemparkan dengan sitaan uang 11,8 triliun rupiah oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam korupsi korporasi ekspor crude palm oil (CPO) atau bahan baku minyak goreng. Uang sebanyak itu menjadi sitaan korupsi terbesar yang ditangani Kejagung. Uang Rp11,8 triliun dalam plastik bening dengan pecahan seratus ribu rupiah itu dipamerkan di Gedung Bundar, Kejagung, Jakarta Selatan, Senin (17/6). Uang berjumlah triliunan itu ditumpuk memanjang dan menggunung di lokasi jumpa pers. (Detik.com, 19/06/2025)
Sungguh! Pemandangan itu mengagetkan seluruh masyarakat Indonesia. Karena semua orang baru mengetahui banyaknya uang dalam jumlah triliunan jika diwujudkan dalam bentuk tunai. Belum tuntas kasak-kusuk masyarakat soal wujud uang triliunan rupiah, kini kita dikejutkan dengan kasus korupsi proyek pengadaan mesin electronic data capture (EDC) di salah satu bank pelat merah. Nilai proyek yang disorot mencapai Rp2,1 triliun, dan berlangsung pada periode 2020 hingga 2024.
Korupsi di negeri ini seolah menjadi penyakit menahun. Sebab, setiap pergantian tahun masyarakat harus disuguhkan dengan berita tindak kasus korupsi. Nilainya pun tidak main. Tak tanggung-tanggung kerugian negara mencapai ratusan triliun rupiah. Ironisnya, kasus korupsi ini mencuat saat negara gencar melakukan efisiensi anggaran negara.
Padahal banyak anggaran disektor penting harus dipangkas, seperti penonaktifan PBI, penurunan tukin guru, dana bansos, dana riset militer dll. Pengurangan anggaran semacam ini berimbas pada penurunan kualitas dan kuantitas negara pelayanan terhadap hak dasar masyarakat.
Di saat pemerintah sibuk melakukan efisiensi sana-sini, para pejabat malah gencar melakukan korupsi. Maka dari hal ini kita seolah mendapatkan kesan bahwa pelaksanaan program efisiensi itu hanya pada tataran kegiatan admistrasi negara saja, tidak sampai menyentuh tataran pejabatnya.
Maka, pantaslah jika kita berpendapat bahwa efisiensi itu ditujukan untuk kebutuhan rakyat, sedangkan pejabatnya tidak diaudit untuk melakukan efisiensi. Dimana letak efisiensi jika negara tidak melakukan cara-cara yang efisien untuk mencegah tindak korupsi. Jadi wajar kalau makin hari makin banyak pejabat melakukan tindak korupsi.
Perencanaan yang Menuai Kegagalan
Sudah banyak program pemerintah dilancarkan yang katanya demi kemaslahatan masyarakat, namun gagal dari sisi pelaksanaan. Bagaimana tidak gagal, jika perencanaan itu selalu ditimbang dengan neraca untung dan rugi. Jika efisiensi hanya sebatas administrasi negara itu ternyata menguntungkan dan tidak akan menggoyang kepentingan negara yang sesungguhnya, maka itu dilaksanakan. Tapi jika efisiensi dibeberapa sektor ternyata merugikan para pejabat dan pemodal, jelas itu dihindarkan.
Sebab Pemerintahan ala demokrasi itu selalu mengedepankan transaksional, bukan atas dasar kesadaran mengemban amanah kepemimpinan dari rakyat. Ditambah lagi sekularisme yang mengakar di benak para pejabat, menurunkan tingkat moralitas mereka sebagai manusia. Patutlah jika korupsi dinegeri ini makin lama makin membudaya. Bahkan diteruskan hingga generasi berikutnya. Karena para pendahulunya sudah bebas melakukan tindak korupsi jadi mereka paham bagaimana pelaksanaan korupsi, kongkalikong, dan tindak pencucian uang.
Maka, dari sini jelas bahwa demokrasi telah gagal menyejahterakan rakyat. Pemimpin dalam sistem ini dipilih bukan karena skill kepemimpinannya untuk memelihara urusan rakyatnya, tapi dipilih karena kepopulerannya. Ujung-ujungnya saat dia memimpin hanya akan melahirkan aturan-aturan populis yang sama dengan pemerintahan sebelumnya.
Selain itu, sistem sanksi yang ada saat ini tidak tegas melarang korupsi, bahkan Presiden memberi sinyal pemaafan koruptor jika mereka mau mengembalikan uang hasil korupsinya. Sanksi untuk koruptor juga sangat ringan sehingga tidak membuat jera. Bahkan dipenjara pun mereka masih bisa menikmati hasil korupsinya. Seperti mendapatkan fasilitas mewah. Plesir keluar negeri, dll. Jadi, jelas bahwa penerapan sistem demokrasi kapitalistik jadi biang kerok kasus-kasus korupsi dan turunannya, seperti tindak pencucian uang, misalnya
Islam Solusi Hakiki.
Islam bukan hanya sebagai agama saja, tapi juga sebagai ideologi yang menjadi dasar sebuah institusi negara, yaitu Khilafah. Dalam sistem Islam, praktik politik transaksional itu tidak akan pernah ada. Para pejabat yang saling berebut kekuasaan pun juga tidak akan dijumpai.
Karena politik dalam Islam adalah mengurusi urusan rakyat. Pemenuhan atas kebutuhan dasar masyarakat sangat diprioritaskan oleh negara. Sehingga tidak akan ada efisiensi dalam pemenuhan dasar manusia. Karena mengurangi kebutuhan pokok berarti menzalimi rakyat. Sedangkan fokus negara terhadap rakyatnya salah satunya adalah terpenuhinya kebutuhan pokok.
Di sisi lain, pejabat yang korup dan haus akan kekuasaan juga tidak akan ada. Karena sistem perekrutan pegawai dan pejabat dalam Khilafah akan memperhatikan aspek ketakwaan dan kapabilitas di bidang yang dikuasainya. Maka, orang yang menjabat dalam pemerintahan adalah orang memiliki kepribadian islam dan layak untuk menduduki jabatannya. Tidak ada proses transaksional dalam perekrutan pejabat. Khalifah akan memilihnya secara profesional.
Sedangkan sanksi bagi para koruptor adalah takzir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuk sanksinya bisa berupa nasihat atau teguran dari hakim, penjara, pengenaan denda (gharamah), pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa (tasyhir), hukuman cambuk, hingga hukuman mati. Teknisnya bisa digantung atau dipancung. Berat ringannya hukuman takzir disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan yang dilakukan (Syekh Abdurrahman al-Maliki rahimahullah, Nizhamul Uqubat, hlm. 78-89).