
Oleh. Novita L, S.Pd
Muslimahtimes.com–Kecurangan dalam perdagangan, khususnya terkait beras, baik dalam hal timbangan, kualitas, maupun jenis menjadi perhatian serius akhir-akhir ini. Kasus-kasus seperti pencampuran beras SPHP dengan beras premium, pengoplosan beras subsidi, hingga manipulasi berat kemasan, telah menyebabkan kerugian besar bagi masyarakat. Ironisnya, pelaku dari berbagai kasus ini bukan pedagang kecil, melainkan perusahaan besar yang justru memiliki akses dan kekuatan dalam tata niaga pangan. Padahal, negara telah memiliki regulasi, namun tetap saja pelanggaran terus terjadi.
Realita ini mengungkapkan wajah sistem sekuler kapitalistik, di mana keuntungan menjadi orientasi utama, dan halal-haram tidak lagi menjadi batasan. Praktik kecurangan dianggap sebagai bagian dari “strategi bisnis”, bahkan meski melanggar aturan dan merugikan rakyat. Ini adalah konsekuensi dari sistem yang menyingkirkan agama dari kehidupan. Islam hanya dijadikan urusan privat, sementara urusan ekonomi, politik, dan niaga diatur oleh sistem buatan manusia yang rapuh.
Berlarutnya persoalan ini juga mencerminkan lemahnya pengawasan dari pihak berwenang serta lemahnya sistem sanksi. Tidak sedikit pelanggaran yang berakhir dengan sanksi ringan atau hanya pencitraan penindakan tanpa efek jera. Ini terjadi karena sistem pendidikan juga telah gagal mencetak individu yang bertakwa dan amanah. Pendidikan sekuler mencetak generasi pemburu materi, bukan pembangun peradaban. Maka tak heran bila perilaku culas ini muncul bahkan dari para pelaku usaha besar.
Fakta yang lebih menyedihkan adalah lemahnya peran negara dalam mengurusi pangan. Sistem sekuler hari ini menyerahkan urusan hulu hingga hilir pangan kepada korporasi. Negara tidak lagi menjadi penanggung jawab utama dalam mengatur produksi, distribusi, hingga konsumsi pangan. Dengan penguasaan negara atas pasokan beras yang tidak lebih dari 10%, negara kehilangan kekuatan untuk menekan pelaku usaha dan menjaga keadilan. Imbasnya, rakyat dirugikan, sementara korporasi tetap untung.
Islam memiliki solusi yang menyeluruh dan mendalam atas persoalan ini. Islam menetapkan bahwa penguasa adalah raa’in (pengurus urusan rakyat) dan junnah (pelindung) sebagaimana sabda Rasulullah saw:
“Imam (khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Penguasa dalam Islam wajib amanah, adil, dan bertanggung jawab. Tidak cukup hanya membuat regulasi, tetapi juga memastikan pelaksanaannya. Islam menetapkan bahwa ketertiban masyarakat dijaga dengan tiga pilar: ketakwaan individu, kontrol masyarakat, dan penerapan hukum oleh negara. Ketiga hal ini hanya mungkin berjalan bila Islam diterapkan secara kaffah.
Islam juga memiliki struktur khusus dalam menjaga pasar dan perdagangan, yaitu Qadhi Hisbah. Lembaga ini bertugas mengawasi muamalah (termasuk timbangan, kualitas barang, dan etika bisnis) serta menindak pelaku kecurangan. Rasulullah SAW sendiri mencontohkan hal ini dalam sabdanya ketika menemukan penjual kurma yang mencampur kurma bagus di atas dan busuk di bawah:
“Barang siapa menipu, maka ia bukan dari golonganku.” (HR. Muslim)
Islam juga mengatur bahwa negara wajib hadir secara utuh dalam mengurusi urusan pangan, mulai dari produksi, distribusi, hingga konsumsi. Negara tidak hanya memastikan pasokan tersedia, tapi juga harus mengatur rantai tata niaga, memastikan keadilan harga, melindungi petani dari praktik zalim, dan memastikan bahwa pangan benar-benar sampai kepada setiap individu rakyat.
Inilah solusi Islam yang menyeluruh dan menenangkan. Sistem ekonomi Islam tidak membiarkan korporasi mengendalikan hajat hidup rakyat. Negara hadir bukan sebagai regulator pasif, tetapi sebagai pelaksana langsung urusan rakyat. Semua ini akan terwujud hanya dalam sistem Islam yang kaffah di bawah naungan Khilafah Islamiyyah, yang menjadikan syariat sebagai satu-satunya sumber hukum dan mengemban amanah kepemimpinan dengan takwa.
Sudah saatnya umat menyadari bahwa solusi sejati bukanlah dengan perbaikan sistem tambal sulam dalam kapitalisme, tetapi dengan kembali kepada sistem Ilahi yang terbukti adil dan menyejahterakan: Islam kaffah dalam naungan Khilafah.