
Oleh. Fathimah Nurul Jannah
Muslimahtimes.com-Pemerintah Amerika Serikat baru-baru ini mengambil langkah yang tidak hanya kontroversial tetapi juga sangat disoroti dunia internasional: menjatuhkan sanksi terhadap Pelapor Khusus PBB untuk Wilayah Pendudukan Palestina, Francesca Albanese. Tindakan drastis ini merupakan respons langsung terhadap laporan tajam yang ia sampaikan pada 30 Juni lalu. Dalam laporan tersebut, Albanese dengan berani dan lugas menuding lebih dari 60 perusahaan multinasional—termasuk raksasa teknologi AS seperti Google, Amazon, dan Microsoft—terlibat secara aktif dalam apa yang ia sebut sebagai “transformasi ekonomi pendudukan Israel menjadi ekonomi genosida.” Sanksi yang dijatuhkan oleh Washington ini bukan sekadar peringatan; cakupannya serius, meliputi pembekuan aset milik Albanese yang berada di wilayah AS, serta kemungkinan pembatasan aksesnya untuk bepergian ke negara tersebut. Ini adalah sebuah upaya nyata untuk membungkam suara kritis yang mengungkap kebenaran yang tidak ingin didengar.
Sanksi terhadap seorang pejabat PBB yang menjalankan tugasnya untuk melaporkan dugaan pelanggaran hak asasi manusia ini secara gamblang menunjukkan sebuah paradoks yang menyakitkan: Perserikatan Bangsa-Bangsa, sebagai organisasi multilateral tertinggi yang dibentuk untuk menjaga perdamaian dan keadilan global, seolah-olah tidak berdaya dalam memberikan solusi nyata bagi pendudukan Gaza dan Palestina demi mencapai kedamaian yang adil dan berkelanjutan. Pertanyaan fundamental pun muncul: Bagaimana mungkin kita bisa berharap menemukan keadilan sejati bagi rakyat Palestina, jika pihak-pihak yang seharusnya memegang kuasa dan menjadi penjamin perdamaian dunia justru berdiri teguh sebagai penyokong utama bagi pihak yang secara konsisten melakukan kekejaman dan pelanggaran hukum internasional? Keputusan AS ini tidak hanya membungkam suara yang berani menyuarakan kebenaran, tetapi juga mengirimkan pesan mengerikan tentang prioritas dan keberpihakan dalam konflik yang telah berlangsung puluhan tahun ini, yang seharusnya diselesaikan berdasarkan prinsip-prinsip kemanusiaan dan keadilan universal.
Namun, satu hal yang patut digarisbawahi dengan jelas adalah bahwa faktanya dunia sekarang tidak bungkam. Narasi bahwa masyarakat internasional pasif atau tidak peduli dalam menghadapi isu Palestina adalah keliru. Justru sebaliknya, pembelaan terhadap Palestina semakin aktif, terorganisir, dan bahkan meluas di berbagai belahan dunia. Kita melihat gelombang demi gelombang demonstrasi massa yang masif, gerakan boikot, divestasi, dan sanksi (BDS) yang semakin efektif, serta seruan-seruan keras dari berbagai organisasi masyarakat sipil, akademisi, seniman, dan individu dari berbagai latar belakang untuk menghentikan serangan brutal Israel. Berbagai tuntutan untuk menghentikan agresi, bahkan sampai pada kesepakatan gencatan senjata yang telah diupayakan melalui jalur diplomatik, semuanya secara konsisten dilanggar oleh Israel tanpa konsekuensi yang berarti dari sebagian besar kekuatan besar dunia yang seharusnya bertindak sebagai penyeimbang.
Oleh karena itu, sudah saatnya kita mengakui sebuah kebenaran pahit yang tak terbantahkan: solusi perdamaian Palestina yang telah diupayakan melalui jalur diplomatik selama berpuluh-puluh tahun ini tidak akan pernah bisa tercapai dengan cara-cara konvensional semata. Pendekatan diplomatik yang ada terbukti mandek, terjebak dalam kepentingan politik yang sempit, veto, dan hegemoni kekuatan tertentu yang enggan melihat perubahan status quo. Harus ada solusi yang lebih revolusioner, lebih berani, dan lebih fundamental untuk mengakhiri kekejaman sistematis dan penindasan yang terus-menerus dilakukan Israel terhadap rakyat Palestina. Ini bukan lagi tentang negosiasi batas wilayah semata, melainkan tentang pengakuan hak asasi manusia dan keadilan bagi mereka yang tertindas.
Tidak ada jalan lain yang terlihat lebih efektif saat ini selain terus-menerus menyuarakan opini pembebasan Palestina secara masif dan tanpa henti. Suara-suara masyarakat sipil, akademisi, aktivis, dan individu dari seluruh penjuru dunia harus terus digemakan. Kampanye kesadaran global, edukasi publik yang komprehensif, dan tekanan politik serta ekonomi dari bawah ke atas adalah kunci. Hingga seluruh dunia—dan yang terpenting, para pemimpin yang mengklaim diri mereka sebagai penjaga perdamaian global—benar-benar sadar dan akhirnya mengakui bahwa tindakan mereka saat ini tidak berpihak pada keadilan sejati, melainkan pada kepentingan geopolitik dan kekuasaan sempit yang mengorbankan nyawa tak berdosa. Perubahan besar akan terjadi hanya ketika tekanan publik global mencapai titik di mana kemunafikan ini tidak bisa lagi ditoleransi.