Skip to content
Muslimah Times

Muslimah Times

dari dan untuk muslimah masa kini

Primary Menu
  • HOME
  • NEWS
  • AKTUAL
  • CHICKEN SOUP
  • HIKMAH
  • KAJIAN
  • PARENTING
  • RESENSI
  • RUMAH TANGGA
  • SASTRA
  • TEENS
  • Kontak Kami
    • SUSUNAN REDAKSI
    • Login
  • Home
  • 2025
  • August
  • 8
  • Selebrasi Perceraian, Korban Standar TikTok

Selebrasi Perceraian, Korban Standar TikTok

Editor Muslimah Times 08/08/2025
WhatsApp Image 2025-08-08 at 21.27.48
Spread the love

Oleh. Kholda Najiyah

Muslimahtimes.com–Muncul fenomena kehancuran rumah tangga disebabkan standar TikTok. Konten ngawur tentang pernikahan yang bertebaran di sana, menjadi pemicu banyaknya perceraian di kalangan anak muda. Terutama gugat cerai istri.

Lebih miris lagi, mereka merayakan perceraian itu dengan menjadikannya konten di media sosial. Dimanipulasi seolah prestasi, padahal tragedi. Seharusnya sedih, malah bahagia. Sebenarnya tabu diekspose ke ruang publik, malah diviralkan.

Perempuan-perempuan itu keluar dari ruang sidang sambil mengacungkan akta cerai dengan senyum mengembang. “Dapat akta cerai sedih, NO! Dapat akta cerai happy, YES!” Begitu bunyi kepsen untuk mengabarkan pada dunia maya, bahwa dia telah menjanda, padahal menikah baru seumur jagung. Lalu, ratusan komentar berisi dukungan membanjiri. Sebagian lain memberi kesaksian, bahwa mereka juga cerai dari pernikahan singkat. Cerai kok bangga?

Seumur Jagung

Glorifikasi perceraian ini, bukan tentang perahu rumah tangga red flag yang puluhan tahun berlayar, lalu oleng dan wajib diselamatkan dengan pintu emergency berupa perceraian. Ini juga bukan tentang pernikahan toxic yang membahayakan bila terus dipertahankan. Tentu, kita juga tidak mendukung dan membiarkan pernikahan seperti ini bertahan. Misal, jika sudah terjadi KDRT, penganiayaan, perselingkuhan berupa zina, penelantaran nafkah, judi online atau utang riba yang mencekik, silakan saja jika cerai menjadi jalan keluar. Terlebih jika suami benar-benar tidak mau bertobat dan tidak ada tanda-tanda tobat nasuha. Inilah hikmah dibolehkannya cerai dalam Islam, yaitu menghilangkan kezaliman dalam pernikahan.

Tetapi, kita sedang menyoroti fenomena perceraian di usia pernikahan yang sangat singkat. Perahu pernikahan di bawah lima tahun, bahkan beberapa minggu, lalu kandas dan tenggelam. Mirisnya lagi, para perempuan muda yang belum lama menyandang status sebagai istri ini, justru yang menenggelamkan perahu pernikahannya sendiri.

Seberapa Darurat

Penyebab gugat cerai istri di pernikahan singkat ini, kebanyakan disebabkan oleh hal-hal yang sebenarnya masih bisa diselesaikan baik-baik tanpa buru-buru bercerai. Bisa dibilang, belum darurat cerai. Misal, ada yang gugat cerai karena dikomentari mertua, sementara suami tidak tampak membela. Ada yang cerai gara-gara suami selalu minta diambilkan nasi yang dianggap bentuk penindasan seorang suami patriarki. Ada yang cerai karena suami terlalu pendiam, dianggap silent treatment. Tidak asyik diajak seru-seruan.

Pendek kata, pemicu cerai pasangan muda ini, kebanyakan hal-hal biasa yang sebetulnya lumrah terjadi di hampir semua rumah tangga. Bertengkar dengan pasangan, salah paham, perdebatan sengit, miskomunikasi, konflik dengan mertua, uang belanja habis sebelum gajian, atau ketidak-pekaan suami; itu hal yang pasti terjadi dalam setiap relasi suami istri.

Semua itu, butuh proses adaptasi dan pendewasaan mental dalam waktu relatif panjang. Harus berjuang dan bersabar menjalaninya. Karena, setiap masalah dalam relasi suami-istri, pasti ada solusinya. Antara lain dengan belajar tentang ilmu pernikahan lebih komprehensif. Bukan bermudah-mudah cerai.

Standar Medsos

Pemudi hari ini, kebanjiran informasi tentang pernikahan di media sosial. Konten, quote, influencer, dan podcast, membentuk konstruksi baru tentang pernikahan yang keliru. Termasuk drama dan film romantis di saluran berbayar, yang menggambarkan pernikahan yang tidak realistis.

Mereka mengira, pernikahan itu isinya bahagia semua. Senang terus. Tercapai semua ekspektasinya. Seperti, resepsi yang mewah, kencan yang romantis, rumah yang estetik, suami yang bisa diajak seru-seruan buat jalan-jalan dan jajan, serta kondisi keuangan yang stabil. Persis gambaran nikah yang mereka saksikan di media sosial.

Akibatnya, ketika dihadapkan pada kehidupan pascanikah yang pahit, tidak siap mental. Mereka terkejut ketika menikah itu yang dominan adalah soal tagihan listrik, beras yang habis, dan nafkah yang minim. Mereka kecewa dan merasa menjadi korban. Lalu, perceraian menjadi pelarian yang disyukuri. Bukan lagi dianggap sebagai tragedi, tetapi dimanipulasi menjadi konten yang dikapitalisasi

Mereka hanya memandang pernikahan sebagai kontrak sosial untuk hidup senang. Jika tidak tercapai ekspektasinya dan merasa tidak bahagia, semudah itu mereka memutuskan komitmen. Mereka tidak paham akan konsekuensi sesudah menikah, bahwa rumah tangga itu bukan semata-mata untuk menerima kesenangan, tetapi bahkan harus mengorbankan kesenangan.

Menikah adalah komitmen jangka panjang untuk membangun rumah tangga yang harmonis, melahirkan generasi penerus, dan menghasilkan output berupa ketangguhan dan ketakwaan diri. Semua itu harus dijalani dengan penuh bertanggung jawab atas risikonya. Termasuk, siap memperjuangkan keutuhannya.

Menikah adalah akad agung yang sakral, hingga diperjuangkan agar tetap utuh dan tahan dari badai ujian. Menikah bukan mencari kesenangan semata, tetapi menjalani proses yang kadang penuh kesusahan untuk mewujudkan impian bersama pasangan. Nah, proses yang penuh lika-liku perjuangan ini, tentu tidak dikontenkan di media sosial. Mengingat, media sosial memang ajang pamer kebahagiaan semu.

Korban Toxic Positivity

Pemicu maraknya glorifikasi perceraian di usia nikah seumur jagung ini, juga narasi-narasi menyesatkan yang disebut toxic positivity. Kata-kata motivasi yang seolah benar dan menggugah, namun bisa menjerumuskan bila disalahgunakan.

Misalnya, self love, selamatkan mentalmu. Kamu berhak bahagia. Cintai hidupmu. Sendiri terbukti lebih sukses. Keputusanmu tepat, mumpung belum punya anak. Kamu hebat, daripada seumur hidup menikahi orang yang salah. Lebih baik anak melihat orang tuanya bahagia meski berpisah, daripada serumah tapi sering bertengkar. Sungguh narasi yang salah kaprah dalam memaknainya.

Ingat, bercerai di usia pernikahan sangat singkat, hanya karena alasan sepele, sejatinya adalah bentuk ketidak-dewasaan. Alih-alih dianggap sosok yang hebat, justru itu adalah bentuk kurangnya rasa tanggung jawab. Betapa tidak bertanggungjawabnya atas akad nikah yang telah mereka ikrarkan di hadapan Allah Swt.

Memutuskan cerai hanya karena sakit hati oleh komentar mertua. Kecewa pada pasangan hanya karena dia tidak romantis. Sakit hati karena tidak pernah diberi hadiah. Merasa tidak dihargai karena jarang dipuji. Stres finansial karena semua impiannya akan materi belum terwujud seketika itu juga, lalu cerai. Semua itu pertanda belum dewasa. Alangkah tidak bijak dan tidak bertanggung-jawabnya, jika pernikahan hanya dibayangkan untuk bersenang-senang.

Dewasa dan memutuskan menikah itu, harus siap dengan konflik batin saat membangun relasi dengan pasangan. Bersedia membersamai pasangan dalam proses perjuangannya. Ada keringat dan air mata di sana. Bersedia akad nikah, berarti siap menerima kekurangannya. Memaklumi perbedaan. Bersedia belajar lebih keras untuk menguasai tata cara membangun relasi yang benar. Bertanggungjawab menjaga akad hingga akhir hayat.

Pendek kata, menikah itu memang tidak seindah standar TikTok yang tidak realistis. Apa itu standar TikTok? Konten kemesraan suami istri, atau quote-quote pernikahan yang menggiring pada perasaan kurang bahagia. Contohnya: istri modern itu nafkahnya Rp15 juta. Suami saleh itu yang menyerahkan ATM-nya ke istri. Dan sejenisnya.

Standar media sosial —tak hanya TikTok— merusak cara pandang akan pernikahan. Ini berlangsung secara sistemik melalui algoritmanya. Sekali saja klik quotes pernikahan, seseorang akan dibanjiri dengan quotes sejenis lainnya. Akibatnya, pikiran akan termanipulasi dengan narasi-narasi tersebut.

Seorang istri yang terpapar standar TikTok akan kesempurnaan dalam pernikahan, tiba-tiba merasa pernikahannya kurang bahagia. Efeknya, tidak bersyukur dan gampang memutuskan cerai. Sebab, manusia punya kecenderungan untuk membandingkan dirinya dengan orang lain.

Standar Islam

Menikah adalah komitmen jangka panjang. Jika ada masalah, kedua pihak harus introspeksi dan mencari jalan keluar semaksimal mungkin. Jangan cari solusi di media sosial, karena ada bias konfirmasi di sana. Artinya, orang cenderung menemukan konten yang sejalan dengan masalah di benaknya. Akibatnya, ia merasa yakin bahwa keputusannya untuk cerai sudah tepat.

Dulu, bercerai itu keputusan panjang setelah melalui proses berlapis-lapis. Melibatkan keluarga, konsultasi, istikharah dan perenungan panjang. Sekarang, cerai hanya mengikuti trend, karena terbawa arus testimoni seseorang yang bahagia setelah bercerai. Media sosial menciptakan ekosistem bahwa bercerai di usia pernikahan seumur jagung itu normal dan wajar.

Sekali lagi, bukan berarti cerai itu tidak boleh. Islam membolehkan dengan alasan syar’ie yang kuat. Tetapi jika itu terjadi di usia nikah yang singkat, perlu dikritisi. Jangan dinormalisasi, tetapi dicarikan solusi. Karena, ini bukan persoalan individu semata, tapi sudah sistemik.

Perceraian yang terus meroket, akan berdampak buruk, baik saat ini maupun nanti. Perlu peran negara dan kebijakan holistik untuk mengantisipasinya. Bukankah keluarga adalah elemen fundamental dalam pembentukan peradaban bangsa?

Dimulai dari evaluasi akan sistem pendidikan, yang seharusnya menyiapkan generasi menjadi dewasa dan kuat mental. Melalui kurikulum yang include tentang pernikahan, memahamkan mereka akan tanggung jawab ketika memasuki usia dewasa.

Lalu, tentang pengaturan media, baik media mainstream maupun media sosial. Apakah negara benar-benar akan membebaskan begitu saja media sosial yang sudah sedemikian meresahkan dampaknya? Negara-negara lain bisa melarang aplikasi media sosial tertentu, jika dianggap lebih banyak membawa mudharat dibanding manfaatnya. Berarti jika ada kemauan, negara ini pun bisa.(*)

Continue Reading

Previous: Kelaparan Gaza, Buah Sistem Kapitalisme
Next: Bendera Jolly Roger Berkibar, Rakyat Sudah Tak Gentar

Related Stories

Two State Solution: Solusi Sesat! WhatsApp Image 2025-10-21 at 20.51.01

Two State Solution: Solusi Sesat!

21/10/2025
Mafia Tambang Ilegal, Biang Kapitalisme WhatsApp Image 2025-10-21 at 20.42.14

Mafia Tambang Ilegal, Biang Kapitalisme

21/10/2025
Femisida: Perempuan Dilahirkan, Laki-laki Mematikan WhatsApp Image 2025-10-21 at 20.16.11

Femisida: Perempuan Dilahirkan, Laki-laki Mematikan

21/10/2025

Recent Posts

  • Forum Ukhuwah Muslimah Banyiwangi Gelar Dialog Bersama tentang Moderasi Beragama
  • Two State Solution: Solusi Sesat!
  • Mafia Tambang Ilegal, Biang Kapitalisme
  • Wibawa Guru di Ujung Tanduk: Antara Disiplin, Moralitas, Remaja, dan Kegagalan Sistem
  • Femisida: Perempuan Dilahirkan, Laki-laki Mematikan

Recent Comments

  1. Editor Muslimah Times on Utang Luar Negeri dan Kedaulatan Negara
  2. ranum on Diskriminasi Pendidikan, Sampai Kapan?
  3. Yanto on Utang Luar Negeri dan Kedaulatan Negara
  4. Winda on Potret Pendidikan di Era Milenial
  5. Nungki on Jual Beli Perawan, Bisnis yang Menjanjikan

Read This

Forum Ukhuwah Muslimah Banyiwangi Gelar Dialog Bersama tentang Moderasi Beragama IMG-20251009-WA0000

Forum Ukhuwah Muslimah Banyiwangi Gelar Dialog Bersama tentang Moderasi Beragama

21/10/2025
Two State Solution: Solusi Sesat! WhatsApp Image 2025-10-21 at 20.51.01

Two State Solution: Solusi Sesat!

21/10/2025
Mafia Tambang Ilegal, Biang Kapitalisme WhatsApp Image 2025-10-21 at 20.42.14

Mafia Tambang Ilegal, Biang Kapitalisme

21/10/2025
Wibawa Guru di Ujung Tanduk: Antara Disiplin, Moralitas, Remaja, dan Kegagalan Sistem WhatsApp Image 2025-10-21 at 20.29.40

Wibawa Guru di Ujung Tanduk: Antara Disiplin, Moralitas, Remaja, dan Kegagalan Sistem

21/10/2025
Copyright © Muslimah Times. All rights reserved. | MoreNews by AF themes.