Oleh. VieDihardjo
Muslimahtimes.com–Pasca perpecahan Sudan Selatan dan Utara pada 2011, kondisi Sudan memanas dan mengalami perang militer-sipil selama bertahun-tahun, antara pasukan militer SAF (Sudanese Armed Forces) yang dipimpin oleh Jenderal Abdel Fattah Al Burhan dan RSF (Rapid Support Forces)yang dipimpin oleh Mohamed Hamdan Dagalo, dikenal sebagai Hemedti. Persaingan keduanya terkait penguasaan sumberdaya alam, terutama minyak bumi, emas dan lahan subur.
Perang saudara yang terus berlangsung menimbulkan penderitaan yang semakin pedih dan meluas. Kelaparan parah dan kehancuran infrastruktur menjadi pemandangan yang memilukan di Sudan. Diperkirakan 21,2 juta penduduk di Sudan mengalami kelaparan atau sekitar 45% populasi (www.unicef.org 4/11/2025). Hampir setengah populasi mengalami kelaparan, 638.000 dalam situasi “castathrophe” yaitu kematian tinggi karena kombinasi kelaparan, malnutrisi dan penyakit.
Krisis Sudan semakin parah karena kehancuran infrastruktur, bukan hanya dari rusaknya bangunan fisik tetapi layanan publik yang tidak lagi bisa dipenuhi, misalnya,listrik, air bersih, irigasi, transportasi, kesehatan dan pendidikan. Estimasi kehancuran infrastruktur kurang lebih 100 USD, kehancuran yang besar dan sistemik. kehancuran sistem transportasi mengakibatkan distribusi pangan terganggu, sehingga Sudan benar-benar tergantung pada bantuan luar negeri. Kurangnya pangan berdampak pada keadaan malnutrisi, meluasnya penyakit, namun tidak bisa ditangani karena hancurnya fasilitas kesehatan.
Dunia Menghitung Laba SDA
Sudan bukanlah negara miskin di Afrika Timur, Ia adalah wilayah kaya sumberdaya, terutama minyak, emas dan lahan subur dekat sungai Nil. Sumberdaya alam yang melimpah ruah di Sudan membuat konflik yang terjadi bukan sekedar konflik lokal. Tetapi melibatkan banyak pihak di luar Sudan yang memiliki kepentingan ekonomi maupun politik. Secara de facto, SAF adalah kekuatan militer resmi Sudan yang menguasai kemampuan militer baik di darat, laut dan udara. Sementara RSF adalah pasukan reaksi cepat yang berkembang menjadi kekuatan militer. Diduga RSF didukung oleh perusahaan-perusahaan berkedudukan di UEA (Uni Emirat Arab) (www.apnews.com 5/8/2025). Laporan PBB menyatakan bahwa RSF setidaknya telah mendirikan 50 perusahaan di luar Sudan untuk mengekspor emas ke UEA, dan menyimpan hasilnya di bank-bank UEA yang memungkinkannya mendapatkan support dana dan persenjataan dari UEA.
Rusia juga diduga “bermain” dalam konflik Sudan melalui perusahaan senjata, yaitu Wagner Group. Rusia yanng awalnya mendukung pemerintah Sudan dan SAF berbalik mendukung RSF. Wagner melalui afiliasinya dengan perusahaan tambang Rusia, Meroe Gold mengelola tambang emas di Sudan, setelah ditinggalkan kontraktor akibat pecah perang saudara.
Sudan kini menjadi ‘medan perebutan pengaruh” dalam peta geopolitik global. UEA mendapatkan akses emas murah dan pengaruh ekonomi, Rusia mendapatkan cadangan devisa untuk bertahan dari sanksi Barat sementara RSF mendapat dukungan logistik dan persenjataan untuk melawan SAF. Tentu saja yang membayar mahal adalah rakyat Sudan, kurang lebih 24 juta warga mengalami kelaparan akut dan hancurnya infrastruktur. Sudan adalah wajah penjajahan gaya baru (neokolonialisme) yang tidak berperasaan. Emas sebagai anugerah Allah yang seharusnya dikelola negara untuk kemakmuran rakyat justru dikuasai oleh sebagian kelompok warga dan digunakan untuk membiayai perang saudara dan berebut pengaruh.
Terapkan Islam Jalan Keluar bagi Sudan
Khalifah Umar Bin Khattab ra pernah berkata, “Andai seekor keledai tersandung di Irak, aku takut Allah menanyakan kepadaku mengapa aku tidak meratakan jalan untuknya,” sebuah prinsip kepemimpinan amanah yang tidak terjadi di Sudan. Sebaliknya wilayah ini menjadi ajang perebutan sumberdaya alam antar kelompok warga berkelindan dengan kepentingan negara-negara yang mengincar sumberdaya alam di wilayah tersebut.
Paradigma sumberdaya alam dalam islam adalah kepemilikan umum (al milkiyah ammah) yang dikelola oleh negara dan hasilnya digunakan untuk kemakmuran rakyat. Rasulullah ﷺ bersabda “Manusia berserikat atas tiga hal, air, padang rumput, api”(HR. Abu Dawud). Pengelolaan oleh kelompok adalah pelanggaran hukum syara’. Kebutuhan warga secara individual dan komunal dipenuhi oleh negara dan tidak bergantung pada bantuan asing. Dengan cadangan emas melimpah, lahan yang subur dan posisi strategis, Sudan semestinya tidak jatuh menjadi negara miskin dan kelaparan.
Sudan tidak membutuhkan sekedar gencatan senjata antara SAF dan RSF. Sudan membutuhkan kepemimpinan yang mampu menghadirkan keadilan dan rahmat bagi seluruh alam, dan harapan baru itu terletak pada tegaknya kembali sistem islam melalui sistem pemerintahan Khilafah’ala minhajin nubuwwah yang akan menerapkan aturan Islam secara menyeluruh baik secara individu hingga negara. Khalifah akan menjadi perisai dan pelayan bagi rakyat, sebagaimana Rasulullah ﷺ bersabda, Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah ﷺ “Sesungguhnya Imam (Khalifah) itu adalah junnah(perisai), orang berperang dibelakannnya dan berlindung dengannya” (HR. Al Bukhari no.2957, Muslim no.1841)
Sudan membutuhkan Khilafah. Khalifah akan melindungi jiwa, harta, kehormatan, agama dan akal rakyat Sudan, karena begitulah Islam mengatur fungsi negara. Kekayaan alam adalah anugerah dan titipan Allah yang harus dikelola, dijaga oleh negara agar membeli mashlahat pada manusia, bukan sebaliknya menjadi ajang perebutan dan komoditas yang dierjualbelikan oleh sekelompok orang.
Wallahu’alam bisshowab
