Oleh. VieDihardjo
Muslimahtimes.com–Putera Kiai yang kerap digelari ‘Gus” beberapa waktu terakhir kerap wara-wiri di media sosial bahkan viral karena beberapa tindakan yang dianggap “nyleneh” dan keluar dari kelaziman perilaku seoranng anak Kiai. Media sosial pernah dihebohkan dengan perilaku seorang “Gus” yang mencium anak perempuan dalam sebuah panggung pengajian. Meskipun diklaim bahwa itu video lama yang kembali viral, pelaku telah meminta maaf dan keluarga menyatakan yang bersangkutan “mulai berubah”.
Video terlanjur tersebar dan menuai kontroversi yang meluas. Bahkan beberapa lembaga turut menyoroti, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Komisi Perlindungan Anak (KPAI) hingga PBNU mengecam keras aksi tersebut dan menyatakan sebagai tindakan tidak patut di ruang publik. Selain itu beberapa “Gus” juga kedapatan melakukan hal yang dianggap kurang wajar dalam ruang publik, misalnya berjoget-joget, memaki orang lain, berkata kasar, candaan bernuansa seksual, semuanya dilakukan dalam ranah publik yang mudah diakses oleh banyak orang, lalu terjadi kontroversi yang meluas.
Krisis Akhlak Digital Meluas
Di era media sosial, terjadi pergeseran otoritas yang dialami oleh para “Gus”. Jika dahulu otoritas seorang “Gus” terletak pada adab, kedalaman ilmu, sifat “tawadhu” yang tercemin dalam perilaku, kini telah tergeser oleh sensasionalisme dan viralitas. Karena dunia media sosial menuntut adanya konten yang cepat, berbeda, memancing emosi dan interaksi (engagement). Secara “brand religius” para “Gus” memiliki nilai komersial yang “mudah dijual” karena dianggap bukan orang kebanyakan, memiliki garis keturunan para tokoh agama yang dihormati masyarakat. Potensi ini bertemu dengan tuntutan media sosial, maka muncullah para “Gus digital” yang mengejar impresi (apa yang ditangkap pikiran dan perasaan melalui visual) ketimbang fokus pada ilmu agama yang disampaikan, maka pola seperti ini rentan terjadi perilaku yang melampaui batas adab. Misalnya, interaksi yang terlalu dekat dengan jama’ah non mahram, penggunaan sentuhan fisik yang melampaui batas, humor berlebihan, penggunaan kata kasar, dan sebagainya.
Perilaku nyleneh para “Gus” berkelindan dengan fenomena “Celeb Preacher” (Pendakwah Selebritas), Para pendakwah yang aktif di media sosial, gaya dakwah santai, membranding diri melalui konten, didukung visual estetik dan interaksi akrab memang rentan menimbulkan skandal karena semua aktivitas dikonsumsi publik. Skandal yang dikonsumsi akan merembet pada reputasi pesantren. sebagai lembaga pendidikan Islam. Perilaku”nyleneh” akan digeneralisasi sebagai kesalahan pesantren. Generalisasi bisa terjadi karena penonton ruang digital (media sosial) ditonton oleh berbagai ragam elemen, masyarakat urban, kelompok moderat, aktivis perlindungan anak, akademisi dan netizen global dengan berbagai sudut pandang.
Terjadi krisis akhlak digital yang meluas, yakni hilangnya batas adab, etika ketika agama bertemu dengan logika viral. Ketika para pendakwah muda masuk pada logika performa tanpa pondasi etik. Terlebih ketika modal kamera, gaya retorika ringan dan menghibur dan kecakapan mengolah momen viral, mampu menjadikan seorang menjadi tokoh keagamaan yang digemari karena gaya yang menghibur,ringan, nyentrik dan dekat kadang melampaui batas.
Ulama Adalah Pewaris Nabi, Menjaga Ilmu Agama Dan Akhlak Umat
Rasulullah diutus untuk memperbaiki akhlak manusia. Di dalam hadits dari Abu Hurairah ra, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاقِ
“Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan keshalihan akhlak.” (HR. Al-Baihaqi).
Pada dunia sekuler, dimana agama dijauhkan dari kehidupan, maka standar digital adalah algoritma dan viral tanpa memperhatikan adab dan akhlak. Terjadi pergeseran fokus, dari akhlak ke performa, tawaddhu menjadi berani tampil, dari kredible menjadi populer.
Dalam paradigma Islam, Ulama disebut Waratsatul Anbiya, pewaris para Nabi. Menjaga ilmu, mengamalkan dan menyebarkan yang diwariskan oleh Nabi. Ulama pewaris adalah mereka yang menjadi teladan ketika umat resah, menegur ketika perilaku umat melampaui batas dan menyeru kepada kebaikan tanpa kepentingan pribadi. Bukan sebaliknya, justru menjadi sumber keresahan umat dengan berperilaku “nyleneh”.
Di era standar benar adalah viral, Ulama (para pendakwah muda) semestinya bisa mengambil bagian untuk mengembalikan kejernihan berfikir umat dan menjadikan ajaran agama sebagai standar moral dan kebenaran. Ketika kekacauan dan gelapnya informasi menyelimuti umat, para Pendakwah muda “Gus” ini semestinya menjadi “lentera”. Tidak gentar menyatakan benar adalah benar atau sebaliknya. Semua harapan yang disandangkan pada para”Gus” mendapatkan tantangan berat dalam dunia materialistis kapitalistik, “Gus” adalah komoditas yang akan menarik banyak “engagement”, ujungnya adalah cuan.
Oleh karena itu menyelamatkan para”Gus” adalah dengan kembali menerapkan islam secara menyeluruh (Kaffah) melalui tiga pilar yang berkolaborasi. Secara Individu, mempersiapkan para pendakwah muda “Gus” sebagai calon ulama dengan adab dan ilmu mumpuni sebelum mereka tergelincir dalam media sosial. Imam Malik pernah marah kepada seorang pemuda bangsawan di majelisnya, Beliau berkata, “Adab itu agama. Jika adab hilang, agama ikut runtuh.”
Pilar kedua adalah masyarakat, saat amar ma’ruf nahi mungkar (menyeru kepada kebaikan dan menjauhi kemungkaran) hidup di tengah-tengah masyarakat, maka viralnya “Gus” dapat dikurangi bahkan dihilangkan. Tidak akan muncul pro dan kontra yang berpotensi merusak ukhuwah umat. Sebagaimana Allah berfirman,
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّن دَعَآ إِلَى ٱللَّهِ وَعَمِلَ صَٰلِحًا وَقَالَ إِنَّنِى مِنَ ٱلْمُسْلِمِينَ
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”(Qs.Fushilaat ayat 33)
Pilar ketiga adalah peran negara sebagai perisai informasi. Negara akan menjaga agama dari olok-olok dan ejekan. Negara akan menyaring informasi yang tidak penting, sampah bahkan berpotensi merusak akidah dan ukhuwah umat pada. Para “Gus” yang secara alamiah memiliki nasab terhormat, karena merupakan putera para Ulama akan terjaga, tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang senantiasa terjaga dari tuntutan media sosial yang tidak memperhatikan adab dan etika selama bisa viral. Rasulullah bersabda,
Dari Abu Hurairah ra, bahwa Nabi Muhammad Sallallahu’alaihi wassallam bersabda,
إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
”Sesungguhnya al-imam (Khalifah) itu perisai yang (orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya.” (HR Muttafaqun ’Alaih ). Mengurangi munculnya “Gus” yang berperilaku nyleneh dengan sistem yang memiliki pengaturan informasi yang benar, yaitu menyaring informasi yang menjaga dan bermanfaat bagi aqidah dan kemashlatan umat, yaitu sistem Islam.
Wallahu’alam bisshowab
