Oleh. Andini Nisaul Qoumy, S.Sos
Sumatera kembali tenggelam
Rumah hanyut
Jalan terbelah
Tanah longsor menelan desa
Banjir bandang laksana tsunami yang menerjang dua dekade silam
Dan seperti biasa, manusia berdasi itu berdalih “Ini hujan ekstrem. Ini cuaca.”
Padahal kita sama-sama tahu, yang ekstrem bukanlah hujan, namun kerakusan yang tak kenal puas
Ketahuilah, di balik banjir dan longsor yang menggerus tanah Sumatera,
ada tangan-tangan yang lihai menebang hutan,
mengoyak bukit,
membiarkan air menyusuri rumah yang harusnya menjadi tempat pulang anggotanya.
Untung. Adalah satu kata yang melanda berbagai kebuntungan yang dialami para penyintas.
Kapitalisme mengajarkan bahwa hutan adalah angka produksi,
bahwa tanah bisa diperas sampai gundul, selama ada pengusaha yang digandeng penguasa.
Saat bencana datang?
Oh, tak usah ditanya. Mereka cuci tangan. Mereka datang dengan kamera, rombongan, lengkap dengan rompi yang terpasang rapi,sembari beradegan menjadi kuli yang mengangkut bantuan bertempelkan stiker.
Seolah manusia yang kehilangan rumah, perlu tahu siapa yang harus dihaturkan terima kasih
Beginilah kapitalisme bekerja.
Rakyat diminta sabar, sementara mereka di tahta kuasa sibuk membangun citra yang kadung miring
Alam disalahkan, cuaca dituding, padahal pelakunya jelas:
cara pandang yang melihat bumi sebagai komoditas belaka
dan nyawa manusia sebagai statistik laporan lapangan.
Islam tak melihat dunia seperti itu.
Dengan habluminannasnya, nyawa adalah amanah, bukan angka semata.
Dengan hablum minal ‘alamnya, bumi adalah titipan, bukan barang dagangan.
Islam hadir untuk menjaga manusia dan alam sebagai satu kesatuan.
Tidak ada pembangunan yang membolehkan penghancuran bukit, penggundulan hutan, atau pencitraan di atas kesedihan orang banyak.
