Oleh. Kholda Najiyah
(Founder Salehah Institute)
Muslimahtimes.com–Menghilangkan red flag atau bahaya dalam hubungan suami istri, penting agar punya rasa aman dan sejahtera jiwa raga dalam menjalani kehidupan. Bahaya jika menikah malah menimbulkan mudharat, menjauhkan pelakunya dari ketaatan kepada Allah Swt dan bahkan tidak membawa kebahagiaan lahir dan batin.
Nah, kondisi demikian sebenarnya tidak akan terjadi pada keluarga-keluarga Muslim, bila benar-benar membangun pernikahan dengan fondasi iman yang kokoh. Oleh karena itu, Islam punya solusi untuk mengantisipasi red flag dalam pernikahan. Antara lain dengan membangun pernikahan di atas landasan sebagai berikut:
1.Tempatkan Allah Swt sebagai Sumber Bergantung
Red flag dalam interaksi suami istri, bisa dipastikan terjadi karena masing-masing lalai dalam menempatkan Allah Swt sebagai satu-satunya sumber bergantung.Tanamkan keyakinan yang kokoh bahwa jalinan relasi mereka dibersamai Allah Swt. Yakin bahwa pasangannya telah dijodohkan untuknya sebagai yang terbaik, sehingga wajib diperlakukan dengan baik. Mungkin bukan sosok yang ia idamkan, tetapi pascaakad nikah terucap, ia wajib mencintai, melindungi dan menjaga keselamatannya.
Yakin dengan konsep rezeki, pemberian anak, ujian-ujian dalam pernikahan, dan bahkan cara memaknai kebahagiaan, semuanya dari Allah Swt. Satu-satunya tempat bergantung adalah Allah Swt. Bukan yang lain. Bukan menggantungkan pada suami, bukan pula kepada istri. Sehingga, ketika terjadi masalah-masalah dalam pernikahan, keduanya sepakat saling bekerja sama menyelesaikannya dengan meminta pertolongan semata-mata kepada Allah Swt.
2. Bersyukur Telah Memiliki Pasangan untuk Menggenapkan Agama
Menikah disebut menggenapi setengah agama. Para ulama menjabarkan, setengah agama dimaksud adalah terjaminnya penjagaan diri dari kejahatan farji atau kelamin. Sebab dengan menikah, telah terpenuhi jalan halal untuk penyaluran naluri kasih sayang. Terpenuhinya kebutuhan biologis, tercegah dari zina. Untuk itu, harus selalu ditumbuhkan rasa cinta dan cenderung pada pasangan. Bersyukur atas keberadaannya. Perlakukan dengan mulia.
Adapun setengahnya lagi, berupa penjagaan diri dari lisan. Ya, lisan adalah sumber tergelincirnya manusia pada dosa selain farji. Betapa banyak kejahatan dipicu oleh lisan yang menyakitkan. Menikah dan interaksi sosial di dalamnya, melatih diri atas pengendalian lisan. Itulah perintah untuk berbuat lemah lembut dan makruf. Janganlah tajamnya lisan menusuk kalbu, hingga menimbulkan luka batin, kebencian hingga dendam kesumat.
3. Jalankan Kewajiban Dahulu, Biarkan Hak Menyusul Kemudian
Suami dan istri punya kewajiban yang harus dilakukan sesuai kemampuan. Kerahkankanlah sumber daya diri untuk menjalankan kewajiban itu dengan baik. Tidak perlu mempertimbangkan apakah hak saya sudah diberikan oleh pasangan atau tidak, karena menjalankan kewajiban adalah perintah dari Allah Swt. Ketika kewajiban dilakukan dengan tuntas, hak akan otomatis terpenuhi.
Misal, istri taat suami, menyenangkan saat dipandang, melayani dengan ikhlas, menjaga amanah berupa harta, menjaga kehormatan dan nama baiknya. Lalu suami sungguh-sungguh memberi nafkah, memuliakan istri, memperlakukan dengan makruf dan seterusnya. Jika kewajiban sudah diikhtiarkan sesuai kemampuan, niscaya Allah Swt akan memberikan hak-hak suami dan istri dengan sebaik-baiknya. Yakinkanlah itu dalam hati, hingga tak pernah terbersit berbuat keji pada pasangan.
4. Muhasabah dan Evaluasi Bersama Pasangan
Menjalani pernikahan tidak selamanya konstan dalam kondisi harmonis. Selalu ada pertengkaran, baik kecil maupun besar. Selalu ada kekhilafan dalam memenuhi hak dan harapan pasangan. Penting untuk keduanya saling mengevaluasi atau muhasabah. Berkomunikasi dengan terbuka dan saling percaya. Bicara dari hati ke hati secara mendalam, mana yang harus diperbaiki dan mana yang harus diupayakan lebih keras. Terbuka untuk saling memaafkan dan memperbaiki ke depan. Barangkali ada unsur-unsur keharaman yang telah masuk dalam rumah tangga, segera singkirkan dan tobat nasuha. Dengan demikian pernikahan tetap berjalan dalam koridor syariat-Nya.
5. Saling Melindungi dan Menjaga Kesehatan Fisik dan Mental
Perhatikanlah selalu kondisi kesehatan dan kesejahteraan pasangan. Utamakan rasa empati dan toleransi melihat sepak terjangnya. Jika dia tampak begitu lelah fisik, maka janganlah memaksakan kehendak. Biarkan ia berhenti pada batas aman, demi menjaga kesehatannya. Sangat repot dan menguras sumber daya keluarga, jika salah satu pasangan ternyata sakit gara-gara tak pernah mendapatkan kesempatan untuk hidup rileks sejenak.
Demikian pula perhatikan kestabilan emosi dan psikisnya. Jangan-jangan dia merasa tertekan, stres, tidak nyaman, terancam dan bahkan mengalami gangguan psikis. Pedulilah. Jangan terlalu abai dengan kondisi pikiran, emosi, fisik dan mental diri dan pasangan. Hal ini sangat penting, di tengah hidup yang penuh dengan tantangan dan tekanan. Utamakan kestabilan pikiran, kesehatan fisik dan mental. Hal Ini supaya kita bijak membuat keputusan-keputusan dan mampu menjalin hubungan yang sehat. Lepas dari bahaya yang mengancam kehancuran ikatan suci pernikahan.(*)