Oleh. Sunarti
Muslimahtimes.com–Allah Swt. mengingatkan hambaNya dengan sebuah firman yang tegas mengenai makanan. “Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebihan.” (QS: Al-A’raf: 31). Sayangnya ini tidaklah terwujud dalam negeri yang penduduknya mayoritas beragama Islam ini. Dan sungguh ironis jika masalah negeri yang gemah ripah loh jinawi ini terjadi situasi yang bertolak belakang antara negara dengan persoalan sampah makanan yang memprihatinkan dan sisi lain ironinya warga negara miskin yang kelaparan. Lantas bagaimana negara mengelola distribusi bahan makanan dan mengelola perekonomian bagi seluruh warganya?
Dalam laman Unnes.ac.id (Juni 2024), disebutkan 1/3 dari makanan yang diproduksi untuk dikonsumsi manusia di dunia ternyata dibuang sebagai sampah. Ada 1,3 milyar ton setiap tahunnya. Dan nilai sampah makanan tersebut jika dihitung dengan uang mencapai IS$ 680 miliar untuk negara maju dan U$ 310 miliar untuk negara berkembang. Dan sisi mirisnya adalah 795 juta manusia di dunia menderita kelaparan. Sementara total sampah makanan di setiap tahunnya bisa untuk menghidupi 2 miliar orang.
Dalam laman yang sama juga disebutkan bahwa Indonesia juga menyumbang sampah makanan di dunia. Bahkan terkategori penghasil sampah makanan nomor 2 di dunia setelah Arab Saudi. Pada tahun 2021 saja, Indonesia mencapai 46,35 juta ton sampah dalam skala nasional. Hal ini dicatat dalam Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional. Catatan ini melebihi komposisi terbesar sampah plastik yang angkanya berada di 26,27 ton.
Mirisnya, masalah sampah juga menjadi isu ekonomi yakni sampah makanan tersebut setara dengan kerugian Rp123 – Rp551 triliun pertahun. Bahkan dilihat dari sisi sosial, masyarakat miskin yang mengalami kelaparan juga tingginya kasus stunting pada balita hingga mencapai lebih dari 8 juta anak.
Jika dilihat dari pencemaran lingkungan emisi gas rumah kaca (GRK) di Indonesia terhitung 20 tahun terakhir mencapai 1.702,9 Megaton CO2 ekuivalen atau setara dengan 7,29% rata-rata emisi GRK per tahun. Dan emisi GRK yang ditimbulkan dari 1 ton food weste besarnya 4,3 kali lipat dari left over. Yang artinya dari kelima tahap rantai pasok pangan, penyumbang terbesar emisi gas berasal dari tahap konsumsi (Unnes.ac.id, 13 Juni 2024).
Sampah Makanan “di Antara” si Miskin dan Stunting
Kemiskinan memang erat dengan risiko terjadinya stunting. Bahkan di Indonesia dua kondisi ini, yakni kemiskinan dan stunting bagai dua sisi mata uang. Karena kehidupan masyarakat yang terjerat dalam kemiskinan acap kali mengalami keterbatasan terhadap makanan apalagi makanan bergizi, selain layanan kesehatan yang memadai dan kebersihan diri serta lingkungan. Maka wajar jika kemiskinan identik dengan kekurangan gizi dan stunting.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), diperkirakan sekitar 9,3 juta anak di Indonesia mengalami stunting pada tahun 2020 (Papayan.desa.id; 24 April 2024).
Sementara terkabarkan dalam laman resmi Kemenkopmk.go.id, bahwa prosentase penduduk miskin pada Maret 2024 sebesar 9,03 persen (1/7/2024). Keluarga yang berada dalam kemiskinan mengalami kesulitan serta kurangnya pengetahuan tentang nutrisi dan makanan sehat. Karena kehidupan yang serba kekurangan, menjadikan mereka makan “asal kenyang.”
Dalam sistem sekular-liberal wajar jika karut marut persoalan menimpa setiap warga negara. Dalam sistem ini, manusia dibawa pada kondisi yang kurang dan kurang. Termasuk dalam hal makanan.
Demikian pula para pelaku industri makanan, mereka menganggap makanan adalah benda yang bisa menghasilkan uang. Mereka menganggap kebutuhan pokok sama halnya dengan bisnis yang menggiurkan dan makanan hanya benda saja. Sehingga perilaku yang muncul adalah membuat makanan sebagai bahan berlabel dengan harga tinggi dan hanya bisa disentuh oleh orang-orang elit ekonomi. Sisi lain, mereka juga menghamburkan hingga membuang makanan ketika dianggap sebagai sisa atau tidak laku. Padahal produksi merekalah yang berlebihan. Atau dengan kata lain mengolah makanan tapi mubazir.
Bahan makanan pokok serta bahan makanan tambahan hanya berputar pada para elit ekonomi. Mereka makan bukan untuk kebutuhan pokok, akan tetapi untuk gaya hidup dan prestise saja. Sementara rakyat ekonomi menengah ke bawah hanya sebagian kecil saja yang menikmati makanan layak dan menyehatkan. Hal ini disebabkan peredaran harta hanya berputar pada orang-orang kaya.
Dari semua itu menunjukkan gambaran yang sangat bertolak belakang dengan terbuangnya makanan yang jumlahnya sangat besar. Padahal bisa saja produksi makanan tersebut diolah dan dikonsumsi sesuai kebutuhan saja dan sisanya dibiarkan berupa bahan mentah. Sehingga bisa didistribusikan kepada masyarakat lain yang membutuhkan. Jika distribusi bahan makanan pokok bisa benar-benar tersalurkan kepada masyarakat secara luas, maka ketimpangan seperti ini tidak akan terjadi.
Di samping itu, individu dan masyarakat luas juga menyadari bahwa “makan untuk pemenuhan kebutuhan hidup, bukan hidup untuk makan”, niscaya sampah makanan tidak akan banyak bahkan sampai membludak.
Ditambah dengan tata kelola sistem ekonomi yang meratakan distribusi harta kepada seluruh warga negara, maka tidak ada jarak dengan status sosial. Apalagi negara memperhatikan kesejahteraan individu per individu dalam pemenuhan kebutuhan pokok, maka orang-orang kaya tidak akan berlebih-lebihan dalam konsumsi makanan.
Juga bagian industri tidak akan memproduksi makanan-makanan yang secara berlebihan pula. Mereka akan melakukan proses pengolahan sesuai kebutuhan saja, tidak membuang-buang makanan matang maupun cepat saji sebagai sampah, sehingga makanan matang tidak terbuang percuma. Distribusi bahan makanan maupun makanan siap saji akan diawasi oleh negara sebagai bentuk perhatian negara terhadap warganya.
Butuh Solusi Paripurna
Semua tadi bisa diwujudkan jika antara individu, masyarakat negara memiliki cara pandang yang sama, yakni kebutuhan makanan adalah kebutuhan pokok. Makanan bukan sekadar benda yang dihambur-hamburkan demi apapun. Karena makan termasuk kebutuhan hajat (hajatul udhowiyah) yang jika tidak dipenuhinya, maka manusia akan mati.
Prinsip manusia di dunia “makan untuk hidup, bukan hidup untuk makan.” Sehingga makan pun sesuai kebutuhan, bukan sesuai keinginan. Rasulullah bersabda, “Salah satu ciri berlebihan (al-isrāf) Anda makan setiap yang Anda inginkan” (HR Ibnu Mâjah)
Batasan-batasan halal dan haram pun menjadi pedoman setiap individu, masyarakat maupun negara.
Sisi terpenting adalah negara sebagai payung bagi warga negara. Kebutuhan pokok rakyat dipandang individu per individu.
Demikian pula dalam sistem perekonomian. Negara memperhatikan distribusi bahan makanan pokok ke seluruh warga negara.
Ini semua tidak akan terwujud dalam sistem sekular-liberal. Solusi yang tepat adalah umat mulai menyadari segala persoalan berasal dari sistem yang rusak tersebut. Sudah saatnya umat muslim paham akan aturan Islam yang sempurna. Islam mengatur segala urusan kehidupan termasuk dalam hal makanan.
Waallahu alam bisawab.