Oleh : Tri Silvia
(Ummahat Peduli Umat)
#MuslimahTimes — Miris rasanya berbicara tentang tawuran. Di kalangan masyarakat kita seakan telah membudaya. Istilah tawuran sudah tak asing lagi di telinga masyarakat. Pelakunya tidak hanya dari kalangan pelajar, melainkan juga masyarakat umum. Misal, tawuran geng motor, tawuran antar kampung, tawuran suporter bola, tawuran opang (ojek pangkalan), olin (ojek online), dan lain-lain.
Kasus tawuran sudah tak terhitung lagi jumlahnya. Setidaknya ada tiga kasus yang menghiasi media di beberapa hari belakangan. Pertama, Tawuran pelajar antara SMK Sasmita Jaya Pamulang dengan SMK Bhipuri Serpong. Tawuran ini pecah di Jalan Raya Puspiptek, Kota Tangerang Selatan, Selasa (31/7). Seorang siswa SMK Sasmita Jaya Pamulang, Ahmad Fauzan (18), kritis setelah wajah kirinya ditusuk senjata tajam oleh lawannya (Merdeka.com, 2/8). Kedua, Tawuran pelajar SMP di belakang Terminal Bubulak, Bogor, Jawa Barat (31/7). Tawuran tidak biasa, karena ada satu sesi pertarungan ala gladiator. Tawuran ini menewaskan seorang siswa yang bernama MIS (13) yang merupakan pelajar SMP Negeri Cibungbulang 2 (Liputan6.com, 1/8). Ketiga, Tawuran antar warga dan suporter klub sepakbola (4/8). Tawuran ini terjadi di Pasar Rebo, Jakarta Timur. Satu orang meninggal dunia akibat insiden ini.
Kondisi negeri ini semakin buruk dari hari ke hari. Masyarakat dipaksa menerima konsekuensi atas pilihan-pilihan zalim pemerintah. Akhirnya, sensitivitas pun meningkat. Masalah kecil bisa membesar dan menjadi perkelahian hebat, yang bahkan bisa menghilangkan nyawa. Pun para pelajar, kondisi negeri, ditambah pemahaman agama yang nihil memberikan ruang bagi mereka untuk mencari eksistensi lebih dari aksi brutal bernama tawuran. Ini berlaku dari dulu hingga sekarang. Masalah teknis saja yang berbeda.
Tawuran, apapun bentuknya, tidak berfaedah sedikitpun. Justru akan mendatangkan kemudharatan. Apalagi jika sudah berhubungan dengan nyawa dan keselamatan. Disebutkan oleh Ketua KPAI Susanto menyebutkan, ada 187 anak menjadi korban kebrutalan tawuran dari tahun 2015 hingga 2017. (Republika.co.id, 08/08)
Darah tertumpah dengan sia-sia, nyawa pun melayang seakan tak ada harganya. Setelah itu terjadi, apakah eksistensi yang dicari bisa bermanfaat hingga akhirat sana?
Hal ini tentunya harus menjadi perhatian serius para aparat kepolisian dan pemerintah, agar tak ada lagi kejadian serupa. Pemerintah harus mampu menyediakan perangkat hukum yang tegas dalam memberantas aksi tawuran. Karena kejadian tawuran ini terus berulang terjadi, bahkan dikatakan aparat sudah punya list nama sekolah yang sering melakukannya.
Ditambah peran orang tua dan sekolah dalam membentuk anak dengan pola fikir dan sikap yang baik. Jadi, sekolah pun tidak boleh berorientasi hanya pada pengembangan akademik dan prestasi anak. Namun juga harus diselaraskan dengan nilai-nilai keagamaan. Karena hanya dengan sokongan iman dan takwa sajalah yang bisa merubah budaya buruk dengan kebaikan.
Hal-hal di atas hanya mampu diatasi dan diselesaikan dengan diterapkannya sistem Islam yang paripurna. Yang mampu mengurai segala permasalahan dan memberi solusi terbaik dalam penyelesaiannya. Pemberlakuan hukuman atas hilangnya nyawa seseorang telah tertera dengan tegas dalam Alquran. Pun cara untuk membentuk anak dengan pola fikir dan sikap yang baik pun telah dicontohkan di masa sahabat dan generasi setelahnya. Maka kita mengenal Ibnu Sina, Al-Khawarijmi, Ibnu Khaldun, dan para ilmuan Islam lainnya. Mereka tidak lahir dari budaya brutal semacam tawuran, namun mampu eksis dengan keilmuan dan kesalihannya hingga saat ini.
Kembalilah pada aturan Islam, Alquran dan Sunnah. Maka terurailah masalah demi masalah yang menjerat. InsyaAllah.
“… Jika kalian berselisih dalam suatu hal, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya…” (QS. An Nisa: 59).
Wallahu a’lam bis shawab
======================
Sumber Foto : Klikmu