oleh: Alga Biru, Blogger dan Penulis Motivasi Islami
“Ambil yang kau suka, lewati bila tak suka”, bersit hati tatkala menyendok pinggan ke pinggan di sebuah perhelatan. Tak ada paksaan dalam menyantap menu prasmanan. Ada gado-gado disisipi terasi. Suka? Ambil. Masih kurang? Ciduk satai kambing berlumur kuah kacang, bayangkan sedapnya. Alangkah enak kalau semua urusan dunia ini bisa seenak mulut hendak menyicip. Kalau urusan bersyariah dibuat begitu, kacau perkara agama. Tentu saja, bangsa kita yang elok ini, punya adab juga memperlakukan aturan Yang Maha Kuasa. Hanya sayangnya, manusia pastilah pandai memilah kedok. Tak serta merta agama diperalat, cukup pemukanya yang di”prasmanankan”.
Masih segar dalam ingatan kita soal 200 nama penceramah rekomendasi versi Kemenag beberapa waktu lalu. Langsung heboh dunia jagat maya. Dunia tampak lebih kecil dari daun kelor. Pro dan kontra bak wabah. Apalagi di tengah era digital dimana para ustaz era kekinian punya followers berjibun di sosial media. Sebut saja Ustaz Abdul Somad, yang tak masuk rekomendasi Kemenag, siap menggempur dengan jumlah pengikut 3,5 juta lebih. Bisik punya bisik, gebrakan rekomendasi ini konon dimaksudkan untuk meredam paham radikalisme, yang ternyata kian meruncingkan bipolarisasi di tubuh umat. Seolah umat islam Indonesia punya pakem dan gayanya sendiri, tak bisa dipaksa-paksa, tak mudah dipolitisasi.
Bahkan ada tren begini, “Makin ditolak penguasa, makin keren ustaznya.” Terlepas quote ini tak boleh diterima bulat-bulat, umat mencium adanya upaya depolitisasi agama. Insyaallah kita ingat hadis Nabi Sallallahu ‘alaihi wassalam yang berbunyi, “Islam datang dalam keadaan yang asing, akan kembali pula dalam keadaan asing. Sungguh beruntunglah orang yang asing” (HR. Muslim no. 145).
Al Qadhi ‘Iyadh menyebutkan makna hadis di atas sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi, “Islam dimulai dari segelintir orang dari sedikitnya manusia. Lalu Islam menyebar dan menampakkan kebesarannya. Kemudian keadaannya akan surut. Sampai Islam berada di tengah keterasingan kembali, berada pada segelintir orang dari sedikitnya manusia pula sebagaimana awalnya.” (Syarh Shahih Muslim, 2: 143)
Terlepas apa pun halangan dan rintangan yang menerpa umat islam, girah dan keinginan untuk mendapat predikat orang yang teguh dalam keterasingan menjadi cita-cita tersendiri. Kita tidak boleh lupa bagaimana satu persatu ustaz yang lantang menyuarakan syariah dan khilafah juga disenggol bahkan dililit perkara hukum. Sebut saja Ustaz Zulkifli yang tersohor dengan tema ceramah akhir zaman, sempat masuk bui beberapa waktu lalu. Ustaz Ismail Yusanto dan organisasi Hizbut Tahrir Indonesia yang digawanginya, dibubarkan sepihak oleh rezim dan jajarannya dengan alasan radikalisme dan inkonstitusional.
Banyak orang awam yang ikut gamang alias terikut arus. Pilih-pilih porsi dalam menilai kapasitas agama menakar urusan duniawi. Atas nama deradikalisasi, umat Islam seolah berada di persimpangan jalan. Ada semacam nuansa pilih kasih, padahal sesungguhnya umat islam itu bersaudara satu sama lain. Terlebih lagi para ulama yang notabene merupakan wali Allah Swt. di muka bumi. Tak ada ulama garis keras atau ulama gaya lembut. Ulama itu tugasnya satu, jadi teladan umat dan berjuang menyeru amar makruf nahi mungkar. Langsung atau tidak langsung, pilah-pilih ulama dan pilah-pilih syariah ini tak ubahnya prasmanan ala-ala yang mengerdilkan kerahmatan Islam.
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” [TQS al-Mâ’idah: 50].
“Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Alquran) kepadamu dengan terperinci? Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Alquran itu diturunkan dari Rabbmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu” [TQS al-An’âm:114].
Akhir kata, setiap manusia akan pulang menghadap Allah Swt. secara sendiri-sendiri. Tak ada gunanya harta, kedudukan, ustaz yang dia suka, kolega yang dia percaya, penguasa yang dia bela atau siapa pun di hadapan Allah Swt. Kelak di akhirat, manusia akan dimintai tanggung jawab atas apa yang dia pilih, dan hukum Allah mana yang dia pilih-pilih. Bukan memaksa taat, tapi apakah kita merasa lebih berpengetahuan dibanding pengetahuan Allah? Apakah kita berpikir agama Allah dan hukum-hukumNya bersifat keras, sementara kita merasa lebih lembut dari Dia yang memiliki nama Arrahman dan Arrahim? Subhanallah, jangan sampai kelak Allah enggan melihat kita di akhirat. Maka kepada siapa lagi, kita berharap perlindungan? Wallahu’alam. [el]
sumber gambar: inikata.com