Oleh. Yulida Hasanah
Muslimahtimes.com–Baru-baru ini, media sosial kembali diramaikan dengan fakta miris kejahatan suami kepada istrinya. Dikutip dari Merdeka.com (29-1-2025), polisi menangkap dan menetapkan WS (25) sebagai tersangka akibat menelantarkan dan menyekap istrinya CN (26) hingga tewas. Tindakan suami tersebut didorong olah sikap kesalnya kepada sang istri karena menolak berhubungan badan, sementara kondisi istri sedang sakit. Kondisi sang istri begitu menyedihkan, badannya kurus kerontang dan tak terurus hingga akhirnya meninggal dunia di atas tempat tidur di dalam kamar, tempat dia ditelantarkan oleh suaminya.
Bagi siapa pun yang membaca atau menonton berita tersebut tentu takkan tega dengan kondisi korban dan pasti sangat murka dengan sikap tersangka yang tak lain adalah suaminya sendiri. Terlebih, kisah awal pernikahan keduanya dipandang ‘islami’, bertemu tanpa pacaran, tetapi lewat ta’arufan. Hal tersebut tentu saja membuat kita bertanya-tanya, ‘apakah syariat itu hanya dilaksanakan saat akan menikah saja?’ dan setelah menjalani pernikahan, syariat begitu mudah dilalaikan.
Maka, pesan penting untuk para istri dan khususnya para suami, bahwa pernikahan tidak hanya bicara tentang ‘saya terima nikah dan kawinnya’, namun ada tanggungjawab besar seorang suami terhadap istrinya yang wajib dijalankan selama pernikahan masih berjalan. Para suami wajib memahami bahwa setelah ijab kabul dilantunkan, maka perempuan yang telah halal dia gauli adalah ‘tawanan’ yang wajib dia perlakukan dengan makruf dan dia lindungi hingga si istri merasa aman selama bersamanya.
Bukankah telah jelas bahwa Islam telah menolak kebiasaan orang-orang jahiliah dan kaum sebelum Islam yang telah memosisikan perempuan di tempat terendah. Perempuan dianggap sebagai budak dan hanya menjadi pemuas hawa nafsu para laki-laki. Perempuan bahkan dipandang sebagai sumber petaka, dan menjadi tempat menampung setan dan roh jahat. Islam hadir sebagai syariat yang memuliakan dan menjaga kaum perempuan, termasuk para istri. Oleh karena itu, Rasululah saw. telah menyampaikan dengan tegas kepada para suami/laki-laki, “Hendaklah kalian berwasiat kepada para istri dengan penuh kebaikan, karena sesungguhnya mereka adalah tawanan –dalam tanggung jawab/kuasa– kalian.” (HR. Tirmidzi)
Begitu pula di hadits beliau saw. yang lain, “Bertakwalah kepada Allah dalam memperlakukan para wanita, karena kalian telah mengambil mereka (sebagai istri) dengan perjanjian Allah dan menghalalkan hubungan suami istri dengan kalimat Allah” (HR.Muslim)
Maka jelas, Rasulullah telah berwasiat kepada para suami, ketika istri telah dinikahi, itu artinya istri telah menjadi ‘tawanan’ suaminya. Ini tidak berarti, suami berhak berbuat semena-mena, sesuka hati memberi sanksi saat istri menolak melayani/berhubungan badan. Semuanya tidak bisa suami lakukan kecuali wajib menjadikan syariat sebagai pegangannya. Sementara, syariat Islam jelas telah memosisikan istri sebagai ‘tawanan’ yang artinya istri adalah amanah yang wajib dijaga. Dan tawanan yang dimaksud, melebihi tawanan perang yang harus dijaga keamanannya. Sebagaimana tawanan, istri tidak punya kuasa dalam rumah suaminya, justru dengan posisi inilah istri wajib dipenuhi segala kebutuhan dirinya, tidak hanya kebutuhan lahiriah namun juga secara batiniah. Dalam hal ini Rasulullah menegaskan, “Cukuplah dianggap berdosa seseorang yang menelantarkan orang yang menjadi tanggungannya.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, An-Nasai, Al-Baihaqi, Al-hakim dan Ath-Thabrani)
Di sisi lain, istri juga hamba Allah yang memiliki posisi yang sama dalam hal ketaatan pada Rabb-Nya. Maka, tidak ada kuasa bagi suami membuat aturan yang diluar ‘ketentuan syariat’. Bagi keduanya, standar ketundukan hanya ada pada Allah dan Rasul-Nya saja. Maka, pelaksanaan hak dan kewajiban bagi keduanya wajiblah berjalan sesuai dengan syariat Islam. Di sinilah yang membedakan berjalannya pernikahan rumah tangga muslim dengan rumah tangga di luar Islam.
Perjalanan rumah tangga muslim telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. sebagai sosok terbaik dalam memperlakukan istri dan keluarganya. Beliau saw. bersabda, “Yang terbaik di antara kalian adalah orang yang paling baik perlakuannya pada keluarganya. Aku adalah yang terbaik di antara kalian dalam memperlakukan keluargaku” (HR. At-Tirmidzi). Abu Hurairah juga bertutur bahwa Nabi Saw. bersabda, “Yang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik kepada istri-istrinya.” (HR. At-Tirmidzi)
Begitu juga ketika sadar diri seorang perempuan yang telah dinikahi, maka dia telah menjadi tawanan bagi suaminya. Kehidupannya tak lagi sama dengan saat dia masih sendiri. Tanggungjawab sebagai istri wajib ditunaikan. Sebagaimana yang telah diteladankan oleh sosok ummul mukminin Ibunda Khadijah setelah dinikahi oleh Rasulullah Muhammad saw. Sebelum menjadi istri, ibunda Khadijah adalah perempuan mandiri, kaya raya dan pedagang besar. Namun, setelah menikah beliau r.a. mengikhlaskan dirinya di jalan ketaatan sebagai seorang istri, seorang ibu, dan mendukung perjuangan Rasulullah di jalan Islam. Hingga hartanya pun beliau nafkahkan di jalan perjuangan Islam, bukan sekadar karena beliau adalah istri seorang nabi dan rasul, namun sebagai bukti keimanannya pada Allah SWT dan rasul-Nya.
Layaklah beliau mendapatkan posisi terbaik di hati suaminya sekaligus Rasul-Nya. Wafatya ibunda Khadijah membuat Rasul saw begitu kehilangan. Hal ini terlihat dari jawaban beliau Saw. saat ditanya oleh Khaulah bin Hakam, “Wahai Rasulullah, seakan-akan aku melihat engkau sangat kehilangan karena kematian Khadijah.” Beliau Saw. menjawab, “Benar, dia adalah ibu anak-anak dan ibu rumah tangga (istri).” Rasulullah juga bersabda, “Khadijah beriman kepadaku ketika orang-orang mengingkari. Dia membenarkan aku ketika orang-orang mendustakan. Dan dia memberikan hartanya kepadaku ketika orang-orang tidak memberiku apa-apa. Allah mengaruniakan aku anak-anak darinya dan mengharamkan bagiku anak dari selain dia.” (HR. Imam Ahmad)
Begitulah kehidupan ibunda Khadijah setelah menjadi istri. Di antara keutamaan beliau adalah bahwa malaikat Jibril As pernah datang keapada Rasulullah Saw. sebagai kabar gembira untuknya, berupa; “Rumah di surga untuknya yang terbuat dari mutiara, tidak ada kegaduhan dan kelelahan di dalamnya.” (Muttafaq’alaih)
Maka, layaklah pula para istri meneladani kehidupan beliau ra., sadar posisi saat telah terjalin ikatan pernikahan. Sadar kewajiban atau perannya sebagai istri sekaligus ibu bagi anak-anak suaminya. Sekaligus paham, mana yang harus diperjuangkan dan mana yang harus diterima dengan qanaah. Tentu kesadaran dan pemahaman tersebut tak bisa kita miliki kecuali dengan mengkaji Islam kaffah sebagai keyakinan dan sebagai aturan hidup. Yang akan mengendalikan kehidupan rumah tangga kita agar tetap pada ‘koridor syariat-Nya’. Wallaahua’lam