Oleh. Haifa Manar
Muslimahtimes.com–Dunia terus bergerak, tetapi bukan menuju keadilan, melainkan menuju keterbiasaan pada kezaliman. Di bawah bayang-bayang kekuasaan Amerika Serikat dan sekutunya, normalisasi hubungan dengan Israel menjadi perangkap yang halus, yaitu diplomasi yang berwajah damai tetapi hakikatnya berhati penjajahan. Mereka menyebutnya “normalisasi”, seakan-akan luka yang menganga bisa dijahit dengan tanda tangan dan senyum diplomatik belaka.
Dilansir dari AntaraNews.com, pada 7 November 2025, Kazakhstan baru saja menambah daftar negara yang bergabung dalam Perjanjian Abraham (Abraham Accords), yakni perjanjian normalisasi yang digagas Amerika Serikat sejak tahun 2020. Pemerintah Kazakhstan menyebut langkah itu sebagai kebijakan luar negeri yang “konstruktif dan damai”. Namun, bagi rakyat Gaza, setiap perjanjian semacam itu hanyalah pengkhianatan yang dibungkus dengan bahasa diplomatik.
Di samping itu, kelompok Harakah Al-Muqawwamah Al-Islamiyyah (HAMAS) sebagai simbol perlawanan Palestina, dengan tegas mengecam langkah yang diambil oleh Kazakhstan. Mereka menyebut keputusan itu sebagai pembenaran atas agresi Israel (JambiIndependent.co.id, 08-11-2025). Kritik itu bukan tanpa dasar, sebab normalisasi yang dilakukan oleh negara-negara Muslim hanyalah bentuk penyerahan diri terhadap sistem internasional yang dikendalikan oleh kekuatan Barat. Abraham Accords yang disebut jembatan perdamaian, tetapi sesungguhnya ia adalah pagar yang mengurung perlawanan. Semula melibatkan Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, Sudan, dan Maroko, tetapi kini perjanjian tersebut menjaring lebih banyak negara. Ia menjanjikan investasi, perdagangan, dan stabilitas, tetapi menuntut harga yang sangat mahal, yakni diamnya negara-negara Muslim atas genosida yang terjadi di tanah suci Palestina saat ini.
Turki: antara Seruan Pembebasan dan Belitan Kepentingan
Sehubungan dengan hal itu, di tengah maraknya normalisasi, Turki sempat mencuri perhatian dunia. Pengadilan Istanbul, pada awal November 2025, telah menerbitkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu beserta beberapa pejabat senior Israel. Tuduhannya jelas: genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza (tvOnenews.com, 09-11-2025).
Saat itu, dunia seolah mendapat secercah harapan, bahwa masih ada negara yang berani menuntut keadilan atas darah yang tumpah di Palestina. Namun, keberanian itu segera dipertanyakan. Sebab di balik sikap tegas Turki di panggung internasional, masih ada kepentingan ekonomi dan diplomatik yang sulit dilepaskan. Gaza mungkin mendapatkan doa, tetapi tidak dengan perlindungan. Mereka mendapat simpati, tetapi bukan tentara pasukan. Seperti kata Menteri Luar Negeri RI Sugiono dalam tanggapannya atas penolakan Israel terhadap pasukan perdamaian Turki di Gaza: dunia sudah terlalu terbiasa melihat penderitaan Palestina hanya sebagai berita, bukan sebagai panggilan nurani (CNNIndonesia.com, 06-11-2025).
Oleh sebab itu, para penguasa Muslim, termasuk Turki, terperangkap dalam politik dua wajah: di satu sisi menolak penjajahan, di sisi lain tidak sanggup melepaskan keuntungan yang datang dari tangan penjajah. Di satu pihak, Amerika Serikat, dengan segala kekuatan diplomatiknya, tahu benar bahwa negara Muslim bisa dilemahkan bukan hanya dengan senjata, tetapi dengan narasi. Mereka paham, selama umat Islam sibuk dengan batas nasionalisme dan kepentingan lokal, tidak akan ada persatuan yang berarti untuk melawan penjajahan. Maka diciptakanlah berbagai perjanjian “perdamaian” yang sejatinya hanya mengikat negara-negara Muslim dalam ketergantungan politik dan ekonomi.
Gaza: Luka yang Menyingkap Wajah Dunia
Di sepanjang jalan Gaza yang tengah porak-poranda, nyatanya anak-anak masih asyik bermain, meskipun langitnya telah kelabu oleh asap. Anak-anak Palestina tidak berbicara tentang diplomasi, melainkan mereka hanya berbicara tentang kerinduan dan kehilangan. Mereka tidak memahami apa itu “Abraham Accords”, tetapi mereka tahu arti dari kata “penjajahan”. Sementara para pemimpin dunia duduk di ruang berpendingin udara, menandatangani kertas-kertas yang katanya membawa “perdamaian”, sedangkan anak-anak di Gaza belajar membaca dunia dari suara ledakan yang memekakkan telinga.
Walaupun demikian, Gaza bukan hanya medan pertempuran, tetapi juga cermin yang memantulkan kondisi umat Islam hari ini. Tatkala sebagian dunia menandatangani perjanjian damai dengan Zionis, Gaza justru menjadi saksi bahwa keadilan tidak bisa dinegosiasikan. Lalu, pada dasarnya, salah satu penyebab utama lemahnya negara-negara Muslim dalam membela Palestina adalah ide nasionalisme yang memecah belah umat menjadi sekat-sekat buatan. Sehingga setiap negara sibuk dengan urusannya sendiri, sibuk menjaga “kepentingan nasional”, sementara penderitaan saudara di negeri lain dianggap bukan bagian dari tanggung jawabnya.
Padahal, dalam Islam, umat Muslim merupakan satu tubuh. Luka di Gaza seharusnya terasa di Jakarta, di Istanbul, di Doha, di Kairo. Namun, pada realitasnya, negara-negara Muslim hari ini lebih sibuk menghitung nilai tukar mata uang dan kontrak investasi daripada mengurus darah yang tertumpah di tanah para nabi. Sungguh ironis, tatkala nasionalisme telah mengerdilkan kesadaran kolektif umat, kemudian menjadikan pembelaan terhadap Palestina sekadar slogan musiman semata.
Sebagaimana Rasulullah ﷺ bersabda dalam hadits yang shahih:
“Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal saling mengasihi, mencintai, dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga dan panas (turut merasakan sakitnya).” (H.R. Bukhari No. 6011 dan Muslim No. 2586)
Jihad dan Khilafah: Jalan Pembebasan yang Hakiki
Dalam konteks ini, Khilafah bukan sekadar simbol sejarah, tetapi junnah (perisai) bagi seluruh umat. Ia adalah sistem pemerintahan yang menolak tunduk pada kepentingan penjajah, sekaligus melindungi setiap jengkal tanah kaum Muslimin. Dalam sistem ini, tidak ada ruang bagi kompromi dengan kebatilan. Ia menolak normalisasi yang melanggar nilai akidah.
Selain itu, jihad dalam konteks ini bukan sekadar pertempuran bersenjata, melainkan perjuangan yang menyeluruh—melawan penjajahan, melawan kemunafikan politik, dan melawan bisikan kompromi. Jihad adalah kesadaran untuk menegakkan sistem yang adil, bukan sekadar mengecam kezaliman.
Gaza Belum Usai, Ada Penantian yang Menguji Nurani
Selama negara-negara Muslim terus berdiam diri, perangkap negeri Paman Sam dan sekutunya akan terus bekerja, membungkus penjajahan dengan diplomasi, dan menamainya perdamaian. Lalu, selama itu pula, Gaza akan tetap menunggu. Bukan sekadar menunggu bantuan, tetapi juga kebangkitan. Bukan sekadar menunggu simpati, tetapi keberanian yang datang dari nurani. Menunggu umat Islam kemudian sadar bahwa tidak ada normalisasi di atas darah dan kehormatan.
Sebagai kesimpulan, normalisasi dengan Zionis bukanlah solusi, melainkan ilusi. Sebab ia hanya menenangkan hati para penguasa, tetapi mengkhianati nurani umat di seluruh dunia. Maka, selama umat Islam belum kembali pada kesatuan di bawah kepemimpinan yang adil dan sistem yang bersumber dari wahyu Allah—Khilafah—tanah Palestina akan terus bersimbah darah, dan dunia akan terus pura-pura membutakan mata.
Wallahua’lam bish-showab.
