Oleh. Ummu Firly
Muslimahtimes.com–Perundungan (bullying) pada remaja bukan sekadar urusan “anak nakal” yang akan hilang dengan waktu. Ia adalah gejala dari kegagalan ekosistem pendidikan, keluarga, media, dan kebijakan publik. Di banyak kasus, perundungan berujung pada trauma panjang, penurunan prestasi, gangguan kesehatan mental, bahkan tragedi bunuh diri—menjadi persoalan kemanusiaan yang memerlukan respons serius dari seluruh lapisan masyarakat
Data terbaru menegaskan bahwa problem ini jauh dari selesai. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat sekitar 3.800 kasus perundungan sepanjang 2023, dengan hampir separuhnya terkait satuan pendidikan dan pesantren , indikator bahwa ruang belajar kita masih rawan bagi anak (suarasurabaya.net). Lebih tragis lagi, sepanjang 2025 KPAI mencatat puluhan kasus bunuh diri anak (25 kasus) yang terkait perundungan, sebuah alarm bahwa ejekan dan kekerasan antar remaja berpotensi mengambil nyawa (CNN Indonesia).
Di ranah digital, perundungan berubah wujud menjadi cyberbullying: pelecehan, penyebaran konten memalukan, pengucilan virtual, atau kampanye penghinaan yang berlangsung 24/7. Laporan Indonesia Indicator menunjukkan puluhan ribu unggahhan terkait kekerasan digital pada anak selama periode Januari–Juli 2024 (sekitar puluhan ribu unggahan yang memicu engagement besar), memperlihatkan betapa cepat dan massifnya bullying versi daring (RM.id ).
Secara internasional, studi-studi kesehatan sekolah dan survei global mengindikasikan prevalensi bullying pada remaja di banyak negara berkisar antara puluhan persen, menandakan bahwa ini masalah lintas-negara yang juga dipengaruhi faktor sosial, keluarga, dan dukungan sebaya.
Di Balik Maraknya Perundungan
Melihat data itu, jelas bahwa akar perundungan bukan hanya pada “tingkah remaja” melainkan pada struktur yang lebih luas:
1. Prioritas Kebijakan dan Anggaran Pendidikan
Banyak sekolah kekurangan konselor, mekanisme pelaporan yang aman, dan program pembinaan karakter yang konsisten. Ketika kebijakan pendidikan lebih menekankan pencapaian akademis dan kuantitas, ranking, UN, nilai, maka pembinaan moral dan penguatan psikososial menjadi prioritas kedua. Ini adalah kegagalan kebijakan publik yang bersifat politis: pilihan anggaran dan kurikulum mencerminkan prioritas negara. Tanpa alokasi yang nyata untuk layanan perlindungan anak, kasus pun menumpuk.
2. Ekonomi Media dan Tanggung Jawab Korporat Digital
Perusahaan platform digital beroperasi dengan logika engagement dan monetisasi. Konten sensasional yang mendorong interaksi cepat diprioritaskan,sementara perlindungan anak, moderasi yang sensitif terhadap trauma, atau desain produk yang mengurangi risiko bullying sering kalah investasi. Ini adalah masalah regulasi: negara belum sepenuhnya menuntut tanggung jawab platform terhadap keselamatan anak.
3. Budaya Kompetitif dan Ideologi Pendidikan yang Terfragmentasi
Ideologi kompetitif yang menilai manusia dari prestasi dan posisi membentuk kultur sekolah di mana dominasi sosial dihargai. Ketika karakter dan akhlak tidak menjadi tujuan pendidikan utama, remaja belajar tak hanya bagaimana menjadi “pintar”, tetapi juga bagaimana mempertahankan status lewat cara apa pun, termasuk merendahkan orang lain.
4. Kesenjangan Sosial dan Marginalisasi
Perundungan sering menargetkan yang “berbeda”: anak miskin, anak dari keluarga rentan, anak dengan kebutuhan khusus, atau yang memiliki identitas berbeda. Ini memantulkan ketidakadilan struktural: perundungan adalah salah satu manifestasi kekerasan simbolik dari ketimpangan sosial.
Dari perspektif ideologis, problem ini menuntut kita mempertanyakan paradigma hidup dan pendidikan yang diterapkan. Apakah nilai-nilai kemanusiaan ditempatkan cukup sentral? Ataukah model kehidupan yang kita anut , kapitalis, sekuler, kompetitif , justru memelihara individualisme yang mengikis empati?
Mengembalikan Sistem Kehidupan yang Menjamin Martabat
Sistem Islam kaffah di sini dimaksudkan sebagai penerapan prinsip Islam secara menyeluruh , bukan hanya ritual, tetapi juga akhlak, hukum, ekonomi, pendidikan, dan tata pemerintahan , sehingga seluruh komponen sosial bekerja sinergis menjaga martabat, keadilan, dan kesejahteraan generasi muda.
Berikut bagaimana Islam kaffah memberi solusi konkret:
1. Pendidikan Karakter Terintegrasi Sebagai Kurikulum Nasional
Islam menempatkan tarbiyah (pendidikan) pada posisi sentral: pembentukan akhlak sebelum kejar target semata. Kurikulum berbasis akhlak (adab, empati, ihsan, amanah) harus diintegrasikan ke seluruh mata pelajaran dan praktek keseharian sekolah: pembiasaan doa, diskusi akhlak, mentoring, tugas pelayanan sosial, dan program restorative justice saat konflik terjadi.
2. Kewajiban Kolektif dalam Menjaga Anak (Fard Kifayah dalam Bentuk Sosial)
Islam mengajarkan ukhuwah dan amar ma’ruf nahi munkar—komunitas bertanggung jawab mencegah zalim. Ini bisa diterjemahkan menjadi protokol komunitas sekolah: tanggung jawab semua guru, orang tua, dan santri/siswa untuk melapor dan menolong korban, serta komite tata tertib berbasis syariah yang mengedepankan pemulihan (taubat, minta maaf, perbaikan) dan perlindungan.
3. Hukum dan Kebijakan yang Melindungi Anak
Negara yang menerapkan prinsip Islam kaffah akan menempatkan perlindungan anak sebagai prioritas hukum dan anggaran: standarisasi layanan konseling di setiap sekolah, saluran pelaporan anonim yang dilindungi, serta regulasi ketat bagi platform digital yang mengizinkan penyebaran konten merendahkan martabat anak. Prinsip keadilan (adl) menuntut sanksi yang tegas bagi pelaku serta program rehabilitasi.
4. Etika Digital Berbasis Syariah
Pendidikan literasi digital berbasis nilai Islam, menjaga lisan, menahan diri dari menyebar aib orang, etika bermedia sosial,harus diajarkan sejak dini. Platform yang beroperasi di bawah negara yang menegakkan prinsip kaffah juga akan diatur untuk memprioritaskan keselamatan anak (content moderation, age-gating, mekanisme take-down cepat).
5. Penguatan Keluarga sebagai Madrasah Pertama
Islam menekankan peran keluarga. Program parenting Islami wajib disebarluaskan untuk membekali orang tua mendidik adab, memantau pergaulan anak, dan membangun komunikasi empatik sehingga remaja punya tempat aman untuk curah hati.
6. Kebijakan Publik yang Berpihak dan Terukur
Penerapan Islam kaffah menuntut indikator kinerja pendidikan yang memasukkan aspek kesejahteraan mental, tingkat bullying, dan keberfungsian layanan perlindungan anak. Anggaran negara harus menunjang layanan psikososial di sekolah serta audit kepatuhan sekolah terhadap standar perlindungan anak.
Penutup
Perundungan remaja bukan hanya soal perilaku buruk sekelompok anak. Ia adalah cermin dari prioritas sosial, desain kebijakan, dan kerangka nilai yang kita anut. Islam kaffah menawarkan narasi komprehensif: menghormati martabat manusia, mendidik akhlak, menegakkan keadilan, dan mewajibkan tanggung jawab kolektif. Namun tanpa implementasi nyata,reformasi kurikulum, regulasi platform digital, anggaran layanan konseling, dan penguatan keluarga, nilai itu tetap retorika.
Jika kita sungguh-sungguh peduli pada generasi, sudah saatnya bergerak sistemik, menjadikan pendidikan akhlak dan perlindungan anak sebagai pilar utama kebijakan publik. Dengan demikian, perundungan bukan hanya dihukum, tetapi dicegah dan disembuhkan dari akarnya,melalui cara hidup yang menempatkan martabat setiap anak sebagai kewajiban bersama.
