Oleh: Erna Hermawati S.Sl
(Anggota Komunitas Penggerak Opini Muslimah)
Setiap individu memiliki kebutuhan pokok seperti kebutuhan atas pangan, papan, dan sandang. Selain itu, dia juga memiliki hak dasar hidup seperti hak akan keamanan, pendidikan dan kesehatan. Jika akses terhadap kebutuhan pokok itu mudah didapat, niscaya hidupnya menjadi sejahtera. Namun, pada saat ini akses pada kebutuhan mendasar sangat sulit dan mahal untuk diperoleh. Salah satunya akses untuk memperoleh pelayanan kesehatan.
Jaminan kesehatan di Indonesia menggunakan sistem jaminan sosial nasional yang dikelola oleh BPJS. Masalah demi masalah bermunculan. Salah satunya, BPJS tidak mampu untuk membayar hutang ke beberapa rumah sakit mitra BPJS (Hidayatulloh 12/01/2019). Kepala BPJS, Untung Patri Wicaksono Pribadi mengakui bahwa ada 18 rumah sakit di Karawang yang belum dibayar tunggakannya oleh BPJS. Namun, menurutnya tunggakan BPJS tersebut akan dibayar oleh APBN. Masalah tersebut muncul diakibatkan oleh premi yang dibayar oleh peserta BPJS masih rendah, sehingga dapat dipastikan terjadi tunggakan (kompas.com/11/1/2019).
Hal ini senada seperti yang disampaikan oleh Direktur Utama BPJS kesehatan Fachmi Idris bahwa klaim yang dibayarkan perusahaan selalu lebih besar ketimbang iuran yang diterima pesertanya. Sehingga BPJS mengalami defisit setiap tahunnya. Pada tahun 2017 saja defisit BPJS sekitar 9,75 triliyun. Disisi lain, pemasukan dari iuran yang dikelola oleh BPJS tidak semua digunakan untuk memberikan jaminan kesehatan. Sebagian dari dana yang dikelola oleh BPJS kesehatan harus diinvestasikan dalam negeri baik itu instrumen deposito, saham, Surat Berharga Negara (SBN), reksadana dan intrumen lainnya.
Bagaimana dengan dampak pada pasien BPJS sendiri?
Pikiran Rakyat (9/01/2019) melansir beberapa contoh kasus pasien yang tidak mendapatkan pelayanan oleh rumah sakit karena menghentikan pelayanan pengobatan pada pasien terhitung sejak tanggal 1 Januari 2019. Sehingga mereka harus bayar sendiri jika ingin mendapatkan pengobatan. Tentu hal ini sangat miris, karena biaya pengobatan yang tinggi tidak mampu dijangkau oleh rakyat kecil. Hal ini diungkapkan Asep Dadang, seorang warga kecamatan Cilawu yang mendatangi rumah sakit Nurhayati karena ingin berkonsultasi terkait berhentinya sementara pelayanan BPJS. Dia menyampaikan bahwa tidak mampu menanggung biaya operasi hernia istrinya sebesar 10 juta rupiah, karena dia adalah pasien miskin pemegang Kartu Indonesia Sehat (KIS).
Masalah bermunculan ketika pemerintah tidak sepenuhnya menjamin jaminan kesehatan rakyatnya. Karena sejak awal, ide dasar jaminan kesehatan sosial adalah pengalihan tanggung jawab penyelenggaraan pelayanan kesehatan dari pemerintah kepada institusi yang memiliki kemampuan tinggi untuk membiayai pelayanan kesehatan atas nama peserta jaminan sosial Buletin kaffah edisi 073).
Hal ini dikemukakan oleh Asih dan Miroslaw, German Technical Coorperation, sebuah LSM yang berperan aktif dalam mendorong kelahiran JKN.
Oleh karena itu, BPJS sejatinya bukanlah jaminan kesehatan, tetapi dia adalah asuransi kesehatan yang disandarkan pada premi yang dibayar oleh rakyat. Efeknya, karena diwajibkan, maka jika rakyat telat membayar, akan dikenai sanksi baik denda atau sanksi administratif. Padahal dalam Islam, kesehatan dipandang sebagai kebutuhan mendasar untuk kemaslahatan publik yang wajib disediakan oleh negara. Rasululloh saw telah mengingatkan kita bahwa: pemimpin adalah pengurus rakyat dan dia bertanggungjawab atas rakyat yang dia urus (HR. Bukhari).
Selain itu, jaminan kesehatan dalam Islam memiliki empat sifat, yaitu: tidak ada pengkelasan dalam pemberian layanan kepada rakytat, bebas biaya, seluruh rakyat bisa mengakses dengan mudah, pelayanan mengikuti kebutuhan medis bukan dibatasi plafon. Pembiayaan untuk jaminan kesehatan ini membutuhkan pos pemasukan negara yang ajeg dan terkelola baik. Sumber-sumber pemasukan negara yang telah ditentukan oleh syariah diantaranya, hasil pengelolaan harta kekayaan umum termasuk hutan, berbagai macam tambang, minyak, gas, dan lain-lain. Diharapkan dengan memaksimalkan sumberdaya dan kekayaan yang dimiliki, maka negara akan cukup untuk membiayai dan memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan mudah diakses.