Oleh. Trisnawaty A
(Revowriter Makassar)
#MuslimahTimes — RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS) kembali mencuat, mengingat tahun 2019 merupakan tahun terakhir anggota legislatif membahas RUU yang masuk Prolegnas 2014-2019. Organisasi perempuan yang mendesak kasus ini terdiri dari Indonesian Feminist Lawyer CLubs (IFLC), Jaringan Pekerja Prolegnas Pro Perempuan (JKP3), Pengurus Pusat Fatayat Nahdlatul Ulama (NU) dan Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Sebelumnya RUU ini pertama kali diajukan oleh Komnas Perempuan sejak tahun 2016. Bergulir terus sejak tahun 2018 bahkan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2018.
Wacana ini bergulir bukan tanpa sebab, masih segar dalam ingatan bagimana kelompok pro gender yang melakukan aksi di kawasan MH Thmarin sebagai puncak dari Women’s March 2018 yang digelar sabtu 3 maret 2018 dengan di antaranya membawa poster yang bertuliskan ‘Tubuhku adalah milikku”. Inilah ruh yang mendorong pejuang feminisme memperjuangkan disahkan-nya RUU P-KS ini. Desakan untuk melegislasi RUU P-KS, adalah adanya keprihatinan akan peningkatan kasus kekerasan seksual yang menimpa anak dan perempuan.
Komnas Perempuan sebagai salah satu National Human Right Institution, menemukan sejak tahun 2014 Indonesia sudah dinyatakan darurat kekerasan seksual tercatat 4.475 kasus kekerasan seksual menimpa anak perempuan dan perempuan. Tahun 2015 angka ini meningkat menjadi 6.499 kasus dan pada 2016 menjadi 5.785 kasus pelecehan seksual. Sepanjang tahun 2017 sebanyak 348.446 kasus. Katanya angka ini menunjukkan masih minimnya perhatian pemerintah terhadap upaya penghapusan kekerasan seksual yang sangat dibutuhkan oleh para penyintas. Menurut Ratna Batara dari Jaringan Pekerja Prolegnas Pro Perempuan (JKP3): Indonesia jelas butuh regulasi khusus untuk pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual. Peraturan perundangan kita masih lemah dan tidak substansial (www.cnnindonesia.com).
//Aroma kebebasan Di balik RUU P-KS//
Dilansir dari Hidyatullah.com bahaa ada aroma kebebasan di balik RUU P-KS ini. Hal ini tampak pada Frasa kontrol seksual pada pasal 5 ayat (2) huruf b yang dikategorikan kekerasan seksual artinya mendorong setiap orang untuk bebas memilih aktivitas seksual tanpa ada kontrol dari pihak lain. Pihak yang melakukan kontrol seksual justru bisa dipidanakan. Orang tua tidak boleh melarang anak lajangnya melakukan hubungan seks bebas karena bisa terkategori kontrol sosial. Kebebasan seksual ini makin nampak pada pasal 7 ayat (1) yaitu adanya hak mengambil keputusan yang terbaik atas diri, tubuh dan seksualitas seseorang agar melakukan atau berbuat atau tidak berbuat. Artinya kebebasan seksual harus dilindungi. Termasuk ketika memilih seks bebas, kumpul kebo, zina dan seks menyimpang semisal LGBT.
Lebih jauh lagi, pada pasal 7 ayat (2) dinyatakan bahwa Kontrol Seksual sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) meliputi: a. Pemaksaan menggunakan atau tidak menggunakan busana tertentu. Maka orang tua tidak boleh mendisiplinkan anaknya berhijab untuk menutup aurat. Karena termasuk kontrol seksual dalam hal busana. Seorang laki-laki tidak harus berpakaian laki-laki, namun boleh berpakaian perempuan. Demikian juga sebaliknya, perempuan boleh berpakaian laki-laki. Karena melarangnya termasuk kontrol seksual. Para perempuan juga berhak berbaju seksi dan minim, karena itu dianggap hak yang dilindungi undang-undang.
Pasal 8 ayat (2) menyebutkan bahwa Tindak pidana perkosaan meliputi perkosaan di dalam dan di luar hubungan perkawinan.Sesuai pasal ini, seorang istri bisa sesuka hatinya memilih untuk melayani suami atau tidak. Jika suami memaksa untuk berhubungan, maka terkategori pemerkosaan. Hal ini sejalan apa yang diungkapkan oleh Ustadzah Pratma Julia Sunjandari (Pemerhati Kebijakan Politik) : Tidak bisa dipungkiri bila dibaca secara teliti, dengan menggunakan paradigma Islam politik, akan tampak jika muatan western yang memuja sekularisasi dan liberalisasi turut mendominasi materi RUU ini. Klausul ‘secara paksa’ bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, memberi kesan bahwa sebuah perbuatan seksual yang dilakukan tanpa paksaan, dikehendaki oleh satu sama lain, sekalipun relasinya tidak setara dan seseorang secara bebas memberikan persetujuannya, tidak akan dikategorikan sebagai perbuatan yang patut di sanksi.
Masih menurut beliau bagi pemuja liberalisme, mereka memiliki doktrin “my body my otority”, “tidak ada urusan dengan kebebasan kami”, “aurat gue, bukan urusan loe..”
//Solusi Mandul Dibalik RUU P-KS, Islam Punya solusi//
Dengan sudut pandang Islam kita dapat melihat bahwa apa yang ditawarkan oleh para penggiat gender melalui RUU P-KS untuk menyelesaikan persoalan kekerasan seksual adalah mandul. Solusi tersebut adalah solusi yang tidak akan menyelesaikan persoalan, lahir dari kalangan liberal pemuja syahwat.
Isu gender adalah senjata bagi barat untuk menikam Islam dengan menggulirkan program peningkatan partisipasi perempuan di ranah publik. Namun ‘eksploitasi’ massif perempuan ini terhalang dengan kasus-kasus kekerasan yang menimpa mereka. Mereka menganggap semua masalah yang berkaitan dengan perempuan dan anak selalu diawali dengan pandangan diskriminatif, termasuk pada masalah kekerasan seksual. Sehingga inilah alasan yang mendorong mereka untuk mendapatkan payung hukum melalui RUU P-KS.
Berbeda dengan Islam, Islam punya seperangkat aturan, dan bagi seorang muslim seharusnya menyadari bahwa hidup ini bukan tanpa aturan (bebas) tetapi senantiasa terikat dengan syariat yang diturunkan oleh Allah swt melalui RasulNya.
Dengan kesadaran ini akan melahirkan ketakwaan individu dan melahirkan adanya akitivitas amar ma’ruf yang senantiasa dilakukan oleh masyarakat atau jamaah dakwah . Selain itu, wajib terwujudnya pelaksaanaan syariat Islam secara kaffah oleh negara yang akan menangani kejahatan seksual maupun semua penyakit sosial yang menjamur di tengah-tengah masyarakat, baik secara preventif maupun kuratif. Ini bisa terwujud dengan mengganti liberalisme kapitalisme dengan sistem Islam yaitu khilafah islamiyah.
Allah swt berfirman : “Wahai orang-orang yang beriman masuklah kalian kedalam islam secara kaffah (totalitas) dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syeitan, karena sesungguhnya syeitan adalah musuh yang nyata bagi kalian.” (TQS Al-Baqarah[2]:208). Wallahu ‘allam