Oleh: Hamsina Halik
(Revowriter Mamuju)
#MsulimahTimes — “Perempuan lebih rajin, lebih tekun, lebih detail, lebih sabar, dan lebih team-work daripada kita. Karena e-Commerce dan teknologi membutuhkan karakter seperti itu, sehingga meningkatkan partisipasi perempuan dalam bisnis, ekonomi dan politik otomatis akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan daya saing nasional di era digital.”
Kutipan diatas adalah ucapan dari Presiden Joko Widodo saat berbicara pada Sesi III KTT G20, Sabtu, 29 Juni 2019 lalu, ketika mengangkat isu terkait pemberdayaan perempuan. Berangkat dari kondisi perempuan yang banyak beraktivitas di dalam rumah, dianggap terkungkung, tertindas, tertinggal dan sebagainya oleh barat, memunculkan ide keadilan dan keseteraaan gender (KKG) yang akan menyelamatkan perempuan dari kondisi tersebut. Para perempuan didorong agar sejajar dengan laki-laki dalam segala lini kehidupan. Hingga gagasan ini pun menjangkit ke negeri kita, Indonesia.
Gagasan KKG disambut gembira oleh para perempuan. Serasa mendapatkan angin segar, mereka pun meninggalkan kodratnya sebagai ummu wa rabbatul bayt. Keluar ke ranah publik, bersaing bersama para laki-laki dalam hal pekerjaan, jabatan dan sejenisnya. Dengan anggapan bahwa laki-laki dan perempuan tak berbeda. Apa yang dilakukan oleh laki-laki, perempuan pun bisa. Perlahan tapi pasti, para perempuan yang beraktivitas di luar rumah ini pun mengalami segala macam bentuk kekerasan. Baik verbal maupun fisik. Hingga kekerasan seksual menimpa mereka. Perempuan semakin dieksploitasi.
Kasus kekeran terhadap perempuan pun meningkat dari tahun ke tahun. Melihat kondisi yang memprihatinkan ini, maka para pegiat feminisme perlu payung hukum untuk melindungi para perempuan. Maka, dimunculkanlah rencana pengesahan RUU PKS, yang dianggap akan mampu melindungi perempuan dari segala bentuk kekerasan seksual. Namun, sejak munculnya RUU PKS ini kontroversi terus bergulir ditengah-tengah masyarakat. Berbagai penolakan datang dari segala arah.
Para aktivis yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Peduli Perempuan melakukan aksi menolak Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) di Car Free Day (CFD) Dago, Kota Bandung, Ahad (21/7/2019). Menurut mereka jika RUU PKS disahkan akan berpotensi meningkatnya perilaku seksual yang bertentangan dengan agama, budaya dan norma sosial di masyarakat Indonesia. (www.Republika.co.id, 21/7/2019)
Penolakan juga datang dari pihak Majelis Nasional Forhati, sebagaimana dilansir dari antaranews.com (15/07/2019), menyatakan hal itu melalui pernyataan tertulisnya di Jakarta, Senin, yang ditandatangani Koordinator Majelis Nasional Forhati, Hanifah Husein, serta Sekretaris Majelis Nasional Forhati, Jumrana Salikki. “Secara sosiologis, ada muatan yang sarat dengan feminisme dan liberalisme ini, sehingga RUU PKS ini memungkinkan munculnya celah legalisasi tindakan LGBT, serta pergaulan bebas,” kata Husein.
/Sebuah Konspirasi/
Benarkah kaum perempuan tertindas? Benarkah rumah tangga adalah penjara bagi perempun? Benarkah perempuan tak akan maju jika hanya berada di dalam rumah saja? Inilah pertanyaan-pertanyaan diantara pertanyaan lainnya yang muncul dibenak manakala menyebutkan kata KKG. Sebuah gagasan yang sangat dipaksakan sebagai sebuah kebutuhan yang sangat penting bagi perempuan di dunia. Padahal faktanya, KKG ini tidaklah menjadi penyelesaian persoalan perempuan.
Berangkat dari pandangan yang keliru tentang laki-laki dan perempuan beserta potensi yang dimiliki. Mereka menolak sifat fitri dan kodrati. Akibatnya, muncul asumsi yang salah dalam penyelesaian persoalan manusia, khususnya perempuan. Dalam rumah tangga, perempuan memiliki peran sebagai ummu wa rabbatul bayt, tapi bagi pegiat gender ini adalah penjara bagi perempuan.
Padahal faktanya, ada begitu banyak perempuan di luar sana diberbagai belahan dunia, yang dengan sukarela dan ikhlas, tanpa paksaan sedikit pun memainkan peran sebagai ibu rumah tangga bagi dirinya sendiri. Bahkan mereka sangat mendambakan peran tersebut.
Munculnya gagasan KKG berawal dari revolusi pemikiran yang ada di Barat. Kehidupan kapitalistik materialistik telah mendorong perempuan Barat untuk keluar ke sektor publik. Diiringi dengan terbukanya kesempatan bagi mereka untuk bekerja dan menempuh pendidikan tinggi, sehingga perempuan pun bisa melihat dunia dari sudat pandang yang berbeda.
Hingga muncul isu-isu penindasan terhadap perempuan. Yang kemudian dengan isu inilah, memberikan pembenaran dari fakta bahwa sistem kapitalistik tidak mampu melindungi kaum perempuan. Mengakibatkan lahirnya berbagai gerakan feminisme. Dengan beragam aliran. Semata bertujuan untuk meliberalisasi perempuan dari belenggu ikatan apa pun, termasuk ikatan nilai-nilai agama.
Inilah konspirasi yang ada dibalik isu KKG. Meliberalkan negara-negara muslim melalui upaya pembaratan. Atau yang lebih dikenal dengan westernisasi. Melalui konspirasi ini, Barat menjadikannya sebagai upaya lanjutan dalam menghapuskan peradaban-peradaban Islam. Dan mencegah bangkitnya kembali peradaban Islam melalui penghancuran keluarga-keluarga muslim.
/Target Akhir KKG/
Dalam gagasan KKG, pemberdayaan perempuan lebih ditekankan. Mandiri dari segi ekonomi dan sektor lainnya. Dan bebas dalam memilih jalan hidup. Sehingga, ketika seorang istri telah mapan secara finansial tak perlu lagi bergantung pada suami. Dengan kata lain, kemandirian disini bermakna bahwa istri tak wajib lagi taat pada suami. Yang pada akhirnya, peran domestik pun tak lagi betumpu pada perempuan saja. Suami dan istri, harus gotong royong dalam mengerjakan tugas-tugas domestik. Pun, dalam hal menjaga, merawat dan mendidik anak menjadi tugas suami juga.
Namun kenyataannya, tak satupun dari mereka mengambil peran ini. Tersebab, masing-masing disibukkan dengan aktivitas di ranah publik. Sibuk bersaing mengejar materi dan jabatan. Sehingga, anak-anak pun terlantar. Tak ada yang mengurus dan membersamai mereka. Pilihan yang tersisa hanyalah menggaji pembantu untuk menggantikan peran domestik istri. Jika sudah demikian, maka kehancuran institusi rumah tangga muslim sudah berada diambang kehancuran.
Laki-laki yang memegang amanah kepemimpinan atas keluarganya kian melemah. Sebab, kaum perempuan pun ingin diperlukan layaknya pemimpin dalam keluarga. Terlebih jika gaji istri lebih tinggi dari suami. Pada akhirnya, peran istri sebagai ummu wa rabbatul bayt terabaikan. Padahal, ini adalah peran utama dan pertama dalam melahirkan generasi gemilang yang berkepribadian Islam. Inilah tujuan akhir dari isu KKG ini yang perlu diwaspadai. Yaitu, menghilangkan kepemimpinan laki-laki, baik dalam keluarga maupun ditengah-tengah masyarakat. Serta mencerabut peran keibuan yang ditanganlah lahirnya generasi muslim berkualitas.
Padahal, sejatinya Islam memandang laki-laki dan wanita dalam posisi yang sama. Diciptakan dengan beban tanggung jawab dalam beribadah kepada Allah. Secara keseluruhan, syariat Islam berlaku untuk laki-laki dan perempuan, tanpa ada perbedaan sedikit pun. Pahala bagi yang menjalankannya dan ancaman siksaan bagi yang melanggarnya. Dihadapan Allah, posisi manusia sebagai hamba memiliki hak dan kewajiban yang sama.
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97)
Laki-laki dan perempuan secara biologis dan kemampuan fisik sangat berbeda. Wanita secara kodrati melakukan reproduksi, mengandung, melahirkan, menyusui, menstruasi dan lain sebagainya. Sementara laki-laki, beban nafkah berada dipundaknya, menjadi qowwam bagi keluarganya. Maka, menjadi tidak adil jika laki-laki pun dibebankan dengan peran sebagaimana seorang perempuan. Sebab, laki-laki tak memiliki kelebihan tersebut.
Dengan demikian, kesetaraan laki-laki dan perempuan bukan berarti bahwa keduanya sama dan setara dalam segala hal. Melainkan, laki-laki dan perempuan diciptakan untuk saling melengkapi satu sama lain. Menjadi partner hidup dan sebagai sahabat. Bukan hubungan persaingan ataupun hubungan atasan dan bawahan sebagaimana dalam konsep liberalisme. Inilah keadilan laki-laki dan perempuan, bukan kesetaraan.
Wallahu a’lam []