
Oleh : Yulida Hasanah
#MuslimahTimes — Situasi Papua semakin mencekam. Up date terbaru kondisi Papua hingga hari Rabu, 21 Agustus 2019 massa yang berjumlah lebih dari seribu orang, berkumpul di depan Kantor DPRD Mimika. Awalnya suasana damai terlihat, namun setelah beberapa jam menunggu kedatangan Bupati dan Ketua DPRD Mimika yang belum juga hadir. Massa kemudian terprovokasi hingga melakukan tindakan anarkis.
Wartawan Antara melaporkan dari lokasi kejadian bahwa lemparan batu ke arah gedung DPRD Mimika yang terletak di Jalan Cenderawasih Kota Timika, mencuat sekitar pukul 13.00 WIT.Dua hari sebelumnya, yaitu hari Senin, 19 Agustus 2019, mahasiswa dan masyarakat Papua melakukan demonstrasi besar-besaran hingga memblokade sejumlah jalan protokol di Manokrawi, Papua Barat. Bahkan, massa sempat membakar Gedung DPRD. Mereka juga merusak sejumlah fasilitas dan membuat lalu lintas di Manokwari jadi semerawut.
Kejadian radikalisme di atas disebutkan tersulut api emosi karena tak terima dengan rasisme dan persekusi terhadap sejumlah mahasiswa asal Papua yang sedang belajar di Jawa Timur, Jumat (16/8/2018).
Sungguh menyedihkan, di tengah ramainya slogan “saya Indonesia, saya Pancasila” dan di tengah-tengah perayaan hari kemerdekaan yang mengusung kebhinekaan. Justru, hari ini Indonesia semakin terlihat potensi perepecahannya. Papua merupakan sebuah provinsi yang sedang berpotensi disintegrasi. Namun sayang, beritanya tertutupi dengan proyek deradikalisasi yang fakta radikal itu sendiri tak terlihat hingga hari ini. Sedangkan, situasi Papua yang jelas-jelas makin darurat mengancam kesatuan NKRI, malah disikapi hanya dengan permohonan maaf saja.
Masalah Papua, masalah kita bersama. Jika rasisme menjadi penyebab utama kericuhan di Papua. Seharusnya negeri ini evaluasi diri, mengapa masalah rasisme antar golongan dan suku masih saja terjadi. Sebab, rasisme tak kan muncul, jika negara tidak melakukan diskriminasi terhadap rakyatnya karena perbedaan ras dan suku. Selain itu, rasisme ini takkan muncul, jika negara mengadopsi pandangan hidup yang sesuai dengan fitrah penciptaan manusia. Dari pandangan hidup itulah, negara mampu mengambil solusi rasisme yang terjadi.
Sedangkan kita tak bisa memungkiri, negeri ini mengadopsi pandangan hidup sekuler yang memisahkan agama dari urusan negara dan rakyatnya. Dan Demokrasi di negeri ini, hanya terus memberikan jaminan kebebasan atas nama HAM walaupun kebebasan itu berkaitan dengan disintegrasi.
Islam, Khilafah dan Nasib Papua Nanti
Muncul dua pertanyaan besar, mengapa pandangan hidup menjadi standar bagi kuat tidaknya keutuhan negeri? Dan adakah bukti nyata, bahwa negara yang menjadikan pandangan hidup yang sesuai fitrah manusia, akan menjamin rakyatnya dari rasisme dan diskriminasi?
Dua pertanyaan tersebut, telah mampu dijawab oleh Islam dan Khilafah sebagai sebuah negara yang menjadikan pandangan hidup atau Aqidah Islam sebagai landasan/pondasi negara.
Dalam Islam, manusia dilahirkan dengan fitrah yang sama, sama-sama membutuhkan satu dengan yang lain, lemah dan tidak berdaya. Karena itu, tidak ada manusia yang bisa hidup sendiri. Mereka membutuhkan orang lain, membutuhkan komunitas. Komunitas ini tumbuh dan berkembang, karena manusia diciptakan berpasangan, laki dan perempuan. Dari pasangan ini lahir suku, kabilah dan bangsa. Karena itu, fitrah manusia diciptakan oleh Allah bersuku-suku dan berbangsa-bangsa.
Meski demikian, Allah tidak menjadikan suku, kabilah dan bangsa ini sebagai standar tinggi, rendah, unggul dan tidaknya mereka. Tetapi, Allah telah menjadikan ketakwaan mereka sebagai standarnya. Karena itu, Nabi SAW mengecam kebanggaan jahiliyah, kebanggan kepada suku, kabilah dan bangsa.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Abu Dzar,
“Lihatlah, engkau tidaklah akan baik dari orang yang berkulit merah atau berkulit hitam sampai engkau mengungguli mereka dengan takwa.” (HR. Ahmad)
Islam juga tidak menjadikan konsep nasionalisme sebagai pemersatu mereka. Karena persatuan seperti ini lemah. Sebaliknya, Islam menjadikan akidah Islam sebagai pemersatu mereka. Namun tidak berarti memaksa orang non-Muslim menjadi Muslim.
Allah SWT berfirman : “Ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh musuhan, maka Allah memersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara.” (TQS. Ali Imron :103)
Misi persatuan inilah yang Rasulullah bawa dengan mengemban Islam sebagai landasan sebuah Negara Islam pertama yang tegak di Madinah. Setelah wafatnya Rasulullah Saw, para Khulafa’ Rasyidin menggantikan kepemimpinan beliau dalam sebuah negara yang dikenal dengan sebutan Khilafah. Mereka membebaskan Irak yang penduduknya sangat heterogen. Ada yang beragama Nasrani, Mazdak, dan Zoroaster dan ada pula yang berbangsa Arab dan Persia. Setelah itu, Persi menyusul. Penduduknya terdiri dari orang-orang non-Arab, Yahudi dan Romawi, namun mereka memeluk agama yang dipeluk bangsa Persia.
Syam juga jatuh ke tangan para Khulafa’ Rasyidin. Ketika itu, Syam adalah koloni Romawi, berperadaban Romawi, dan memeluk Kristen. Penduduknya terdiri dari bangsa Suriah, Armenia, Yahudi, sebagian Romawi. Afrika Utara yang penduduknya Barbar dan di bawah kekuasaan Romawi akhirnya juga jatuh ke pangkuan kaum Muslim.
Setelah itu, dilanjutkan oleh khilafah-khilafah berikutnya. Menariknya, semua perbedaan itu berhasil dilebur dan diintegrasikan oleh Islam di bawah naungan khilafah. Mereka menjadi umat yang satu, yang disatukan oleh agama, bahasa, tsaqafah dan undang-undang.
fakta sejarah di atas menunjukkan bahwa Khilafah menaungi aneka ragam agama, suku dan budaya. Dengan Khilafah, keragaman, kebhinekaan dan persatuan dijamin keterjagaannya. Maka,hanya dalam naungan Khilafahlah, Papua akan menemukan habitatnya.
###