
Oleh: Arin RM, S.Si
#MuslimahTimes — Istilah sekularisme tak lagi awam di masyarakat. Sekularisme dinilai sebagai pemicu awal dari jauhnya norma dan keberadaban lantaran absennya agama dari kebanyakan aktivitas hidup saat ini. Hal ini tentu sejalan dengan definisi dari sekularisme itu sendiri. Ensiklopedi Islam mendefinisikan sekularisme sebagai suatu aliran atau sistem doktrin dan praktik yang menolak segala bentuk yang diimani dan diagungkan oleh agama atau keyakinan harus terpisah sama sekali dari masalah kenegaraan (urusan duniawi).
Dari sejarahnya, sekularisme muncul pertama kali di Eropa. Ide ini merupakan jalan tengah dari pemuka agama dan elit kekuasaan di Eropa sepanjang Abad Pertengahan (Thomas Aquinas, St. Agustine, Tertullian, dan St. Jerome) yang mengharuskan semua urusan hidup tunduk pada ketentuan agama; dan sebagian pemikir dan filsuf (Machiaveli dan Michael Mountaigne) yang mengingkari keberadaan Tuhan atau menolak hegemoni agama dan gereja. Jalan tengah dari keduanya ialah, agama tetap diakui, tapi tidak boleh turut campur dalam pengaturan urusan masyarakat. Agama hanya dibatasi pada urusan privat saja, tidak mengatur urusan publik (politik, ekonomi, sosial, dan sebagainya).
Jika kemudian dunia Islam saat ini akrab dengan sekularisme, tidak lain adalah akibat imperialisme. “Sekularisme berfungsi sebagai ideologi yang dipaksakan dari luar oleh para penjajah,” ungkap John L Esposito dalam Ensiklopedi Oxford. Dunia Islam pertama yang menerapkan sekularisme adalah Turki pasca Kekhalifahan Turki Usmani mengalami kekalahan dalam Perang Dunia I. Turki di era Mustafa Kemal berubah 360 derajat dari negera Muslim menjadi negara sekuler. Zia Gokalp (1875-1924), sosiolog dan politikus nasional Turki yang pertama kali memopulerkan istilah “sekuler” di dunia Islam. Ia menggulirkan perlunya pemisahan antara masalah ibadah serta keyakinan dan muamalah.
Menarik dicermati, bahwa ketika Eropa di masa itu menerapkan sekularisme, mereka justru bisa mengalami kemajuan yang pesat dalam peradabannya. Penemuan dan pemikiran berkembang, industri berkembang, ekonomi mereka menggeliat, hingga bisa bangkit dari zaman kegelapannya .Namun, tatkala Muslim yang dipapar sekularisme, yang terjadi adalah sebaliknya. Sebab dalam praktikny aide ini tidak membawa kepada kebahagiaan dan kebaikan untuk manusia, tetapi justru menjerumuskan umat manusia ke dalam jurang penderitaan yang sangat mengerikan dan memilukan. Kegemilangan Turki sebagai negara adikuasa sebelum Perang Dunia 1 yang tak dapat kembali adalah contohnya.
Sedangkan di masa kini, problematika pelik terpaksa dihadapi manusia (termasuk Muslim). Dalam hal ekonomi, ketika campur tangan ajaran Islam dihilangkan, pelaku ekonomi akhirnya mengambil konsep kebebasan berekonomi yang lahir dari jalan pikir manusia sendiri, yakni liberalisme. Hasilnya jumlah orang miskin yang hidupnya kurang dari 1 dollar sehari tercatat 1,214 milyar jiwa di tahun 1997 (20% dari penduduk dunia). Sebanyak 1/5 orang terkaya di dunia mengkonsumsi 86% semua barang dan jasa, sementara 1/5 orang termiskin di dunia hanyamengkonsumsi kurang dari 1% saja .(The United Nations Human Development Report, 1999).
Dari sisi gaya hidup, penafian agama menjadikan hedonism sukses menyusup ke pola pergaulan laki-laki dan perempuan. Pengagungan kebebasan menjadikan generasi terancam punah lantaran pergaulan bebas menjadi sebab merebaknya HIV/AIDS. Dari Januari sampai dengan Maret 2019 jumlah AIDS dilaporkan sebanyak 1.536 orang. Prosentase tertinggi kelompok umur 30-39 tahun, diikuti kelompok umur 20-29 tahun (24,5%) (siha.depkes.go.idlaporan per 15/04/2019).
Dari sini, benarlah bahwa apa yang disampaikan oleh Taqiyuddin An-Nabhani, bahwa sekularisme bertentangan dengan fitrah manusia, yang terwujud secara menonjol pada naluri beragama. Sekularisme harus diputus, sebab jika pengaturan kehidupan diserahkan kepada manusia, akan tampak perbedaan dan pertentangan tatkala pengaturan itu berjalan. Apa yang harusnya dikendalikan berdasarkan truran Allah yang Mahatau, justru disetir oleh akal manusia yang serba terbatas. Walhasil terjadilah kerusakan dalam sekala luas, sebagaimana firmanNya yang dalam TQS. Arrumayat 41: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (kejalan yang benar).”
Agar keterpurukan tidak semakin menjadi-jadi, maka sekularisme perlu ditinggalkan. Sebagaimana ayat di atas, caranya adalah kembali ke jalan yang benar. Muslim tentu meyakini bahwa kebenaran mutlak adalah wahyu Allah, sehingga kembali pada jalan yang benar adalah dengan kembali pada apa yang Allah berikan, yakni Islam. Islam mewajibkan penerapan Syariat Islam pada seluruh aspek kehidupan, seperti aspek pemerintahan, ekonomi, hubungan internasional, muamalah dalam negeri, dan peradilan (QS. Albaqarah ayat 208).