Oleh : Sayyida Marfuah
(Praktisi Pendidikan dan Anggota Akademi Menulis Kreatif)
MuslimahTimes– Bagai “anak ayam mati di lumbung padi”, mungkinkah? Pada realitas empiris pasti tidak mungkin. Dalam habitat berkecukupan dan melimpahnya makanan mana mungkin seekor anak ayam mati kelaparan. Peribahasa tersebut nampaknya sangat tepat untuk menggambarkan situasi negeri kita yang melimpah sumber daya alamnya, namun tak mampu mengangkat kesejahterakan rakyat yang ada di dalamnya.
Jika kita melihat realitas kehidupan di masyarakat, kita masih sering dapati kondisi petani yang tidak bisa hidup sejahtera dengan hasil pertaniannya, begitupun para nelayan yang tak tersejahterakan oleh hasil tangkapan ikannya, juga para buruh yang tak mampu sejahtera dari hasil cucuran keringatnya. Padahal konon di negeri kita ini, katanya tongkat kayupun bisa jadi tanaman, lautannya ibarat kolam susu, tapi kenapa problem kemiskinan dan kekurangan gizi masih kita jumpai di mana-mana. Sungguh sebuah ironi.
Sebagaimana dilansir harianjogja.com, 17/10/2019, musim kemarau panjang ternyata juga mengancam sumber pangan bagi warga suku anak dalam (SAD). Sehingga membuat warga SAD yang berada di Kampung Duren Kecamatan Renah Pamenang Kabupaten Merangin, Jambi terancam kelaparan. Selama ini, warga terpaksa makan monyet hasil buruan, itupun jika mereka dapat berburu. Tapi jika tidak, terpaksa hanya mengkonsumsi air putih untuk mengganjal perutnya.
Sumber lain menyebutkan bahwa masyarakat Indonesia banyak yang belum mendapatkan akses pangan yang layak. Menurut data GHI (Global Hunger Index) 2017, permasalahan kelaparan di Indonesia memasuki skala yang cukup serius. Sebanyak 19 juta penduduk di Indonesia mengalami kelaparan. Hal ini menunjukkan bahwa keadilan pangan belum sepenuhnya menyentuh seluruh warga Indonesia.(viva.com, 30/10/2019). Data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) menunjukkan, prevalensi balita stunting di tahun 2018 mencapai 30,8 persen dimana artinya 1 dari 3 balita mengalami stunting. (jawapos.com, 20/09/2019)
Pada Desember 2014, tepatnya dalam acara kuliah umum di Balai Senat Balairung Universitas Gajah Mada (UGM), Presiden Jokowi pernah mengatakan RI bakal swasembada pangan dalam 3 tahun. Ketika itu Jokowi baru sekitar 2 bulan menjabat sebagai Presiden RI. Namun, kenyataannya tidak semudah yang dibayangkan. Berdasarkan data Ombudsman RI, total impor beras dalam kurun waktu 4 tahun (2015-2018) sebesar 4,7 juta ton, sedangkan pada kurun waktu 2010-2014 mencapai 6,5 juta ton. Jumlah total impor akan meningkat jika pemerintah melakukan kembali pada tahun 2019. Sedangkan total impor gula selama kurun waktu 2015-2018 mencapai 17,2 juta ton, lebih tinggi 4,5 juta ton dibandingkan periode 2010-2014 yang mencapai 12,7 juta ton. (indonesiainside.id/18/10/2019)
Masalah lain disampaikan oleh Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana (PSP) Kementan Sarwo Edhi yang mengungkapkan bahwa Indonesia kehilangan 650 ribu hektare lahan sawah. Namun tidak dapat langsung disimpulkan berkurangnya lahan sawah karena beralih fungsi. (detikfinance, 16/10/2019)
Sementara itu, Ekonom INDEF Rusli Abdullah menilai faktor kegagalan swasembada pemerintah terletak di perencanaan. Salah satu hal mendasar dalam perencanaan adalah data yang valid. Menurutnya, pemerintah kita belum mampu swasembada pangan. Gagal. Bahkan yang terbaru, pakan jagung untuk ternak saja masih impor. Tahun kemarin (2018, red) ada impor beras 2,8 juta ton. Kedelai untuk bahan baku tempe dari Argentina dan Amerika juga impor, termasuk gandum, padahal gandum merupakan bahan dasar mie instan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat menengah ke bawah.(indonesiainside.id, 18/10/2019)
Fakta-fakta di atas bertolak belakang dengan tema global Hari Pangan Sedunia atau World Food Day yang diperingati setiap tanggal 16 Oktober. Pada tahun 2019 menyoroti perlunya upaya yang lebih keras untuk mengakhiri kelaparan dan bentuk-bentuk kekurangan gizi lainnya dengan tema global “Tindakan kita adalah masa depan kita. Pola Pangan sehat, untuk #Zerohunger 2030”, dimana semua pihak diminta ikut memastikan keamanan pangan dan pola pangan sehat tersedia untuk semua orang. (antaranews.com, 16/10/2019)
Sistem Ekonomi Neoliberal Kapitalisme Biangnya
Persoalan hilir dari buhul besar masalah ketahanan pangan adalah kemiskinan dan kurang gizi. Oleh karena itu topik swasembada pangan selalu menarik untuk diperbincangkan mengingat Indonesia dengan jumlah penduduk terbesar di Asia Tenggara butuh ketahanan pangan.
Jika kita cermati, sebenarnya kemiskinan di pedesaan yang berimbas pada ketidakmampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pangannya secara berkualitas dan kontinyu, tidak lain adalah buah penerapan sistem ekonomi neoliberal kapitalisme. Selain itu, nampak dengan jelas di hadapan kita akan lepas tangannya pemerintah dalam mengurusi rakyatnya yakni dengan cara memandirikan keluarga-keluarga petani dan petani-petani rakyat. Namun di sisi lain, korporatisasi pangan tidak dihentikan.
Islam, Solusi Tuntas Masalah Pangan
Sebagai sebuah agama yang sempurna, Islam memiliki konsep dan visi dalam mewujudkan ketahanan pangan. Islam memandang pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang wajib dipenuhi per individu. Seorang pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah kelak bila ada satu saja dari rakyatnya yang menderita kelaparan.
Dalam hal ini syariah Islam juga sangat menaruh perhatian terhadap upaya peningkatan produktivitas lahan. Menurut Islam, tanah-tanah mati yakni tanah yang tidak tampak adanya aktifitas produktif di sana, bisa dihidupkan oleh siapa saja baik dengan cara memagarinya dengan maksud untuk memproduktifkan atau menanaminya, dan tanah tersebut menjadi milik orang yang menghidupkan itu. Rasul bersabda; “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya”. (HR. Tirmidzi, Abu Dawud).
Setidaknya ada lima prinsip pokok tentang ketahanan pangan yang pernah dijalankan di masa yang sangat panjang dari Kekhilafahan Islam, namun tetap relevan hingga kini dan masa-masa yang akan datang:
Pertama, optimalisasi produksi, yaitu mengoptimalkan seluruh potensi lahan untuk melakukan usaha pertanian berkelanjutan yang dapat menghasilkan bahan pangan pokok. Di sinilah peran berbagai aplikasi sains dan teknologi, mulai dari mencari lahan yang optimal untuk benih tanaman tertentu, teknik irigasi, pemupukan, penanganan hama hingga pemanenan dan pengolahan pasca panen.
Kedua, adaptasi gaya hidup, agar masyarakat tidak berlebih-lebihan dalam konsumsi pangan. Konsumsi berlebihan justru berpotensi merusak kesehatan (wabah obesitas) dan juga meningkatan persoalan limbah. Nabi juga mengajarkan agar seorang mukmin baru “makan tatkala lapar, dan berhenti sebelum kekenyangan”.
Ketiga, manajemen logistik, dimana masalah pangan dan yang menyertainya (irigasi, pupuk, anti hama) sepenuhnya dikendalikan oleh pemerintah yaitu dengan memperbanyak cadangan saat produksi berlimpah dan mendistribusikannya secara selektif pada saat ketersediaan mulai berkurang. Dalam hal ini teknologi pasca panen menjadi penting.
Keempat, prediksi iklim, yaitu analisis kemungkinan terjadinya perubahan iklim dan cuaca ekstrim dengan mempelajari fenomena alam seperti curah hujan, kelembaban udara, penguapan air permukaan serta intensitas sinar matahari yang diterima bumi.
Kelima, mitigasi bencana kerawanan pangan, yaitu antisipasi terhadap kemungkinan kondisi rawan pangan yang disebabkan oleh perubahan drastis kondisi alam dan lingkungan. Mitigasi ini berikut tuntunan saling berbagi di masyarakat dalam kondisi sulit seperti itu.
Sebagian ilmuwan pertanian dalam sejarah Islam menuliskan semua prinsip ketahanan pangan itu nyaris dalam satu buku. Di dalamnya, dibahas soal jenis lahan pertanian dan pilihan tanah, pupuk kandang dan pupuk lain, alat pertanian dan karya budidaya, sumur, mata air, saluran irigasi, tanaman, pembibitan, penanaman, pemangkasan, dan pencangkokan buah. Mereka juga membahas soal budidaya serealia, kacang-kacangan, sayuran, bunga, umbi-umbian, dan tanaman untuk parfum. Pun, tentang tumbuhan dan hewan beracun serta pengawetan buah. Bahkan tentang fiqih pertanahan dan akhlak petani.
Khatimah
Ketahanan pangan bagi seluruh rakyat akan terwujud hanya jika pemerintah hadir secara utuh sebagai pelayan dan pelindung rakyat disertai penghentian implementasi sistem ekonomi neoliberal kapitalisme yang menyebabkan terjadinya korporatisasi pangan.
Sistem Islam dibawah naungan Khilafah memiliki solusi secara tuntas dan komprehensif dalam masalah pangan, di mana ada keterpaduan antara kebijakan politik, ekonomi dan pertanian.
Wallaahu A’lam bi ash-Showab