Oleh. Dian F. Hasibuan
MuslimahTimes.com– Kita mungkin sudah sudah lelah dan tak lagi terkejut dengan angka-angka statistik dari penyebaran Covid-19. Namun setidaknya berita baru-baru ini berhasil menyita perhatian umum; Presiden Donald Trump dan istrinya terkonfirmasi positif Covid-19. Trump berkicau lewat Twitter pribadinya, “Bersama kami akan melewatinya,” unggahnya. Kini Trump dikabarkan tengah menjalani karantina untuk mencegah penularan.
Patut dicatat, seorang tentara Angkatan Laut yang juga personal valet (ajudan pribadi) presiden lebih dulu terinfeksi. Maka dikhawatirkan kini Gedung Putih telah menjadi kluster baru Covid-19. Amerika Serikat termasuk memiliki angka kesakitan fantastis dan masih sulit mengendalikan laju penyebaran kasus.
Fakta ini membuktikan, tidak ada orang atau tempat yang dipastikan aman dari paparan virus mematikan selama pandemi Covid-19. Amerika Serikat, yang tidak diragukan lagi sebagai negara adikuasa, tak luput dari serangan penyakit tak kasad mata tersebut. Lalu bagaimana dengan sikap kita maupun negara menghadapi fakta ganasnya penyebaran virus ini?
Sayangnya, tak sedikit dari rakyat Indonesia bahkan para pejabat yang meremehkan virus ini. Bukti peremehan tersebut terlihat dari perkataan maupun langkah politis yang diambil dalam menangani penyebaran virus. Kendati Pilkada 2020 telah banyak mendapat penolakan dari masyarakat, tetapi proses jalannya pesta demokrasi ini tetap saja terselenggara. Juru Bicara Presiden, Fadjroel Rachman, mengatakan bahwa penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020 tetap sesuai jadwal, yakni 9 Desember 2020. Ia mengatakan hal ini demi menjaga hak konstitusi rakyat, hak dipilih dan hak memilih. Bahkan Fajroel mengutip pernyataan presiden sendiri, “Presiden Joko Widodo menegaskan penyelenggaraan pilkada tidak bisa menunggu pandemi berakhir, karena tidak satu negara tahu kapan pandemi Covid-19 akan berakhir,” tambah beliau.
Apakah masih kurang bukti dan bahaya dari Covid-19 ini? Sehingga para politisi masih terus mengedukasi masyarakat untuk terus mendahulukan masalah pilkada ini ketimbang menyelamatkan nyawa yang lebih nyata di depan mata? Terlebih lagi, tidak ada pesta yang dilangsungkan secara gratis, termasuk pesta demokrasi dengan anggaran milyaran bahkan triliyunan. Selama ini pemerintah selalu berkelit seuputar keterbatasan dana kesehatan dan ketakutan akan bahaya resesi ekonomi. Sungguh memiriskan hati, jika langkah-langkah pragmatis dan egois ini malah dipilih oleh para pejabat yang kelak mengurusi rakyat?
Kalau masih punya nurani, kita tentu lebih peka, mana sebenarnya oknum yang berjuang untuk rakyat dan mana yang mengatasnamakan kepentingan rakyat. Sistem hari ini telah lama rusak dan melahirkan tatanan kehidupan yang sama rusaknya. Wallahu’alam. []
[Mnh]