Oleh: Tri Silvia
(Pengamat Kebijakan Publik)
MuslimahTimes.com – Belum lagi usai kegaduhan akibat tidak tuntasnya kasus penembakan enam laskar Front Pembela Islam (FPI) dan pembubaran organisasi nya, kini potensi kegaduhan muncul kembali. Lagi-lagi, potensi ini muncul dari tindak dan kebijakan Penguasa yang seringkali brutal dan salah kaprah. Tidak hanya sekedar mengundang protes dan unjuk rasa, kegaduhan ini berpotensi menimbulkan kegaduhan yang lebih besar, ia bisa mengadu domba rakyat dan menimbulkan perpecahan.
Sebagaimana dilansir oleh CNN.indonesia pada Jum’at (15/1/2021), Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE).
Disebut sebagai respon dari menjamurnya ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah terorisme di Nusantara, Perpres ini memiliki sasaran untuk meningkatkan pelindungan hak atas rasa aman warga negara dari ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme. Selain itu disebutkan pula bahwa Perpres ini merupakan bagian dari pelaksanaan kewajiban negara terhadap hak asasi manusia, pun untuk memelihara stabilitas keamanan nasional. (CNNIndonesia, 15/1/2021)
Jika ditilik dari tujuan dan sasaran diberlakukannya Perpres ini, sebenarnya tidak ada masalah. Mengingat bahwa menjaga ketertiban dan keamanan rakyat adalah kewajiban negara. Namun menjadi masalah ketika opini radikalisme dan terorisme yang dipegang Pemerintah masih tidak berubah. Dimana mereka tidak memiliki definisi yang jelas tentang kedua istilah tersebut dan cenderung mengarahkan keduanya pada Islam dan umatnya.
Hal tersebut menjadi lebih buruk saat salah satu program pelaksanaan dari Perpres tersebut melibatkan masyarakat secara umum. Disebutkan di dalamnya bahwa masyarakat akan dilatih untuk melaporkan terduga ekstrimis ke polisi. Dalam artian masyarakat akan dilatih bertindak seperti polisi untuk dikemudian hari bisa mempolisikan orang-orang yang mereka anggap bertindak ekstrim dan radikal serta mengarah pada tindak terorisme.
Perpres itu menjelaskan bahwa program tersebut dibentuk untuk merespons kebutuhan peran kepolisian masyarakat dalam mencegah ekstremisme. Hal tersebut diharapkan akan meningkatkan kesadaran, pemahaman, dan keterampilan polisi serta masyarakat dalam upaya pencegahan ekstremisme. Adapun pelatihan tersebut akan dilaksanakan oleh Polri sebagai penanggungjawab yang kemudian akan dibantu pula oleh BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme). (CNNIndonesia, 16/1/2021)
Kebijakan yang benar-benar salah kaprah bahkan memiliki potensi besar dalam merusak ketertiban, memecahbelah masyarakat dan mengadu domba mereka. Secara umum, negeri ini sudah memiliki aturan tersendiri terkait dengan hukum dan kepolisian, dimana masyarakat memiliki hak untuk melaporkan hal-hal yang melanggar hukum menurut mereka. Tanpa adanya pelatihan atau bahkan program pemolisian masyarakat, mereka sudah memiliki hak-hak tersebut.
Selain itu, selama ini pemerintah juga sudah memiliki banyak lembaga khusus untuk menangani persoalan ekstrimis, radikalis, dan terorisme sekalipun. Bahkan lembaga ini digadang-gadang sering mendapat pujian dari negara asing dalam berbagai aksinya. Lantas untuk apa mereka melibatkan masyarakat umum untuk menangani persoalan yang definisinya saja tidak jelas.
Masyarakat saat ini sudah terlalu lelah ditimpa berbagai masalah akibat buruknya sistem yang diterapkan. Berbagai kebijakan busuk dan kecurangan para pemegang kuasa membuat masyarakat hari ini menderita banyak sekali penyakit akut semisal individual liberalis, hedonisme, dan apatis berlebihan. Yang membuat mereka begitu mendewakan keuntungan pribadi dan kebebasan bertindak.
Hal ini tentunya berakibat pada hilangnya rasa simpati dan kasih sayang. Tingkat emosi pun akan cenderung tidak stabil dan meledak-ledak, hal tersebut kemudian akan lebih mendominasi daripada akal sehat itu sendiri. Dalam kondisi semacam ini, bagaimana bisa kemudian Pemerintah memberi tugas tambahan kepada masyarakat untuk bertindak selayaknya pihak kepolisian.
Selayaknya sebuah negara, Islam juga memiliki aturan yang jelas dan tegas terkait dengan sistem pemerintahan. Selain itu, Islam pun memiliki kriteria mumpuni terkait dengan Imam atau Khalifah yang akan memimpin umat. Islam telah memikulkan beban berat kepemimpinan pada seorang Khalifah, dimana ia bertanggungjawab penuh pada masyarakat. Sebagaimana bunyi hadits yang artinya, “… Seorang Amir (Imam) atas manusia adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya itu…” (HR. Bukhari).
Seorang pemimpin wajib memenuhi segala kebutuhan dasar masyarakat secara cuma-cuma. Baik berupa kebutuhan pangan, pakaian, tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, dan juga urusan keamanan. Ia pun wajib memberikannya tanpa melihat ras maupun golongan, semua diberi tanpa tapi dan tanpa nanti. Itulah hakikat sistem pemerintahan dalam Islam.
Selain itu, Islam pun menjelaskan bahwa seorang Imam atau Khalifah adalah seorang Perisai, yang akan senantiasa melindungi orang-orang yang ada dibawah pertanggungjawaban nya. Sebagaimana hadits yang artinya, “Sesungguhnya seorang Imam (penguasa) itu (bagaikan) perisai. Orang-orang berperang di belakangnya, dan juga berlindung dengannya…” (HR. Muslim).
Imam Nawawi menjelaskan bahwa istilah perisai dalam hadits diatas bermakna sebuah pelindung bagi orang-orang yang berada di belakangnya, karena seorang Imam menjadi sebuah perisai yang melindungi kaum muslim dari musuh-musuh mereka. Perlindungan tersebut dilakukan dengan organisasi tentara, menjaga perbatasan, serta menyerukan jihad fisabilillah.¹
Sungguh telah jelas bahwa penyediaan keamanan merupakan tanggungjawab negara, dan hak bagi warga negara. Adapun dalam pelaksanaan nya negara memiliki organisasi tentara yang akan menjaga perbatasan dan menjalankan jihad dibawah komando Imam. Negeri ini sudah memiliki sistem dan organisasi keamanan, yang sebenarnya mampu untuk menjamin keamanan seluruh warga, tanpa perlu melibatkan lagi masyarakat sipil yang seolah-olah bisa bertindak selayaknya kepolisian. Pelibatan rakyat dalam Islam hanyalah pada saat adanya seruan jihad Fisabilillah didengungkan, maka seluruh rakyat memiliki kewajiban untuk turut serta.
Apalagi jika kita melihat kecenderungan opini ekstrimisme berbasis kekerasan yang mengarah pada tindak terorisme, yang lagi-lagi mengarah pada Islam dan umatnya. Maka, adalah wajib bagi umat Islam untuk menolaknya. Pasalnya sebagaimana hadits diatas bahwa pengertian Imam sebagai perisai adalah bahwa Imam memiliki tugas untuk melindungi kaum muslim dari musuh-musuh mereka. Maka Perpres ini justru sebaliknya, mereka dibentuk justru untuk memerangi Islam dan kaum muslimin yang rindu akan penerapannya secara kaffah.
Berdasarkan hal-hal tersebut, maka umat Islam wajib untuk menolak dengan tegas Perpres zalim ini. Umat Islam bersaudara, mereka bagaikan satu tubuh, saat ada satu anggota tubuh yang terasa sakit maka anggota tubuh yang lainnya juga akan merasa sakit. Maka dari itu, adalah sebuah kezaliman besar ketika ada usaha untuk mengadu domba umat Islam dan menimbulkan perpecahan di tengah mereka.
“Sungguh, manusia yang paling dicintai Allah pada Hari Kiamat dan paling dekat kedudukannya di sisi Allah ialah pemimpin yang adil. Orang yang paling dibenci Allah dan paling jauh kedudukannya dari Allah adalah pemimpin yang zalim” (HR Tirmidzi).
Wallahu A’lam bis Shawwab
¹ (Fathullah, Abu Lukman. 2011. 60 Hadits Sulthaniyah. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah)