Oleh: Kholda Najiyah
Founder Komunitas Istri Strong dan Salehah Institute
Muslimahtimes– “Mbak, kalau suamiku selingkuh, apakah aku harus bertahan?”
“Selingkuhnya sampai berzina?”
“Iya,”
“Wah, kalau itu tergantung kedalaman hati Mbak, apakah mau memaafkan atau melepaskan,”
Ada beberapa pertanyaan sejenis tentang perselingkuhan. Jawabannya saya kembalikan kepada pelakunya, karena ujian hati ini memang yang paling berat. Namun sebagai pencerahan, berikut penjabaran lebih detailnya.
***
Salah satu perkara akhir zaman yang mengguncang bangunan rumah tangga adalah selingkuh. Akad telah dikhianati. Hati tersakiti. Ada suami yang selingkuh, ada juga pihak istri yang selingkuh. Haruskah bertahan dalam pernikahan? Sedangkan dalamnya rasa sakit telah mengubah rasa sayang jadi benci. Menghapus ketaatan menjadi pembangkangan. Sulit melanjutkan pernikahan karena sulitnya melaksanakan hak dan kewajiban.
Benar sekali. Namanya pengkhianatan, akan sulit untuk memaafkan. Karena itu, sungguh adil hukum Islam mengatur tentang kondisi ini. Bagaimana?
Pertama, selingkuh di sini apa maknanya? Apakah baru sebatas pergaulan intim antara pasangan dengan lawan jenis, akan tetapi belum sampai berzina? Misalnya, diketahui telah chat mesra, berkhalwat dan membicarakan hal-hal berbau intim berdua. Jika itu yang terjadi, tugas dari pasangan adalah menasihati dan mengajak kembali kepada syariat, sembari tetap menutupi aib pasangan.
Pada dasarnya pasangan hidup adalah sahabat, tidak boleh membiarkan sahabat yang disayanginya berbuat maksiat. Wajib menasihati. Apalagi bagi suami, wajib mendidik istrinya hingga bertaubat. Sementara istri, memang tidak wajib mendidik suami, namun ada hak untuk menasihati dan meluruskan pasangannya. Sebab pasangan adalah pakaian, harus saling menjaga agar tetap baik. Apalagi dalam posisi seorang Muslim, dia pun wajib berdakwah mencegah kemungkaran sebisa mungkin.
Sebisa mungkin dibicarakan berdua, apa akar masalah perselingkuhan itu. Jika ada hak pasangan yang tidak terpuaskan, diupayakan untuk dipenuhi. Bahasa saya, rebut kembali kasih sayang dan kecenderungan pasangan yang telah berpaling pada yang lain. Pasti ada sesuatu yang menjadi alasan mengapa hal itu terjadi.
Adapun jika selingkuhnya sudah sampai taraf berzina, baik dengan pengakuan pelaku maupun disaksikan oleh empat saksi yang adil, Islam menegakkan hukum rajam, yaitu dilempar batu sampai mati. Tidak ada perbedaan pendapat ‘ulama dalam hal ini. Artinya, jika ada suami atau istri yang berzina dengan orang lain, otomatis terceraikan keduanya karena salah satu pelaku harusnya mati. Begitulah tegasnya hukuman zina, karena efek dari zina ini tidak main-main.
Hubungan suami istri sudah pasti mati, jika pasangan berzina, karena hilangnya respek, rasa percaya, kasih sayang dan ketaatan pada pasangan. Sulit untuk memaafkan pengkhianatan dan membangun kembali kepercayaan. Sulit untuk menjalankan kewajiban dan memberikan hak pada pasangan, jika kebencian telah menjalar akibat zina. Tentu rumah tangga seperti ini hakikatnya telah mati.
Apabila suami yang berzina dan akhirnya dihukum rajam, istri yang menjanda akan disantuni negara. Ini adil, karena dia berhak mendapatkan suami saleh kembali, tanpa harus tersiksa dalam hubungan pernikahan yang telah ternoda. Demikian pula jika istri yang berzina dan telah dirajam, suami bisa menikah lagi dengan wanita salehah yang diinginkannya.
Sementara jika tetap bertahan dalam pernikahan dimana pasangannya adalah seorang pezina, tentu akan terus dihantui rasa was-was. Dibayang-bayangi kecemasan, bagaimana jika pasangannya diam-diam masih berzina tanpa sepengetahuannya, karena perbuatan zina adalah candu yang kerap diulang-ulang.
Sayangnya, tidak ada penguasa Islam yang punya hak menegakkan hukum rajam ini, kecuali di beberapa bagian negeri Islam yang masih menegakkan syariat. Lantas bagaimana jika karena suatu hal, seperti tidak ada pengadilan yang menerapkan hukum Islam, dan juga tidak cukup saksi sehingga hukuman rajam tidak ditegakkan, apakah istri atau suami harus menceraikan pasangannya yang telah berzina? Ataukah mempertahanan pernikahan dan memaafkannya?
Para ulama berpandangan, hal tersebut tidak otomatis memutus ikatan pernikahan. Dalam hal ini tergantung pada kebesaran hati pasangan. Ada dua pilihan yang bisa diambil.
Pertama, tetap mempertahankan pernikahan dengan memaafkannya, karena adanya penyesalan dan taubat pasangannya. Ditandai dengan perilaku yang menunjukkan tanda-tanda taubat nasuha. Seperti membuang kenangan dengan selingkuhannya, memutuskan hubungannya, tidak merahasiakan HP-nya dan mau lebih terbuka pada pasangan sahnya.
Jika memilih memaafkan, maka ia harus menutupi aib pasangannya dan menjaganya agar benar-benar bertaubat dan tidak mengulangi lagi perbuatannya. Tetap memenuhi hak dan kewajibannya dengan baik agar tidak lagi jatuh dalam lubang pengkhianatan. Membangun kembali hubungan yang lebih intim dan menumbuhkan kembali kasih sayang di antara keduanya agar tidak ada kesempatan untuk berpaling.
Pilihan kedua, menceraikannya karena sudah tidak bisa menjalankan hak dan kewajiban dikarenakan telah hilangnya rasa kasih sayang dan kepercayaan. Pilihan ini dilakukan karena dikhawatirkan jika bertahan akan menzalimi pasangan. Semisal terus mengungkit kesalahannya dan tidak bisa menumbuhkan kembali rasa kasih sayang di antara keduanya.
Lebih-lebih lagi, jika pasangannya yang telah berzina tidak menunjukkan tanda-tanda taubat. Bahkan, seorang suami WAJIB menceraikan istrinya yang selingkuh jika istrinya tidak ada tanpa-tanda bertaubat dan setelah dididik juga tidak mau bertaubat. Sebab, suami tidak boleh berlaku dayuts, yaitu membiarkan perbuatan keji dalam keluarganya.
Sabda Resulullah Saw:
ثَلَاثَةٌ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، الْعَاقُّ لِوَالِدَيْهِ، وَالْمَرْأَةُ الْمُتَرَجِّلَةُ، وَالدَّيُّوثُ
“Tiga orang yang Allah tidak akan melihat mereka (tidak meridhai mereka) pada hari kiamat, orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, wanita yang bergaya lelaki, dan dayyûts.” (HR. Ahmad).
وَالدَّيُّوثُ الَّذِي يُقِرُّ فِي أَهْلِهِ الْخَبَثَ
“Lelaki dayuts yang membiarkan perbuatan keji pada keluarganya.” (HR Ahmad).
Bagaimana jika yang berzina adalah suaminya dan juga tidak ada tanda-tanda bertaubat meski istri sebenarnya ingin memaafkannya? Dalam hal ini istri juga berhak atau boleh mengajukan cerai kepada suaminya. Talak memang di tangan suami, boleh ia menceraikan istrinya, boleh juga tidak mengabulkan.
Namun jika istri telah menggugat cerai, suami hendaknya tidak menyulitkan dan terus menzaliminya, disebabkan kelakuan zinanya sendiri yang telah merusak rumah tangganya. Oleh karena itu jika suami tetap tidak mau menceraikan dan istri tidak bisa menerimanya serta sulit menjalankan ketaatan kepada suaminya, istri boleh mengajukan fasakh atau khulu’ dalam pernikahannya.
***
Demikian, jika perselingkuhan terlanjur masuk dalam rumah tangga. Semoga Allah Swt. menjaga agar rumah tangga kita tidak terinveksi perselingkuhan. Oleh karena itu, pasangan harus saling mencegah agar tidak terjadi pengkhianatan, sebagai bentuk saling menjaga keimanan anggota keluarganya. Hal ini bisa dilakukan jika kedua pasangan hidup dalam pergaulan yang akrab, bersahabat, intim, lengket, terbuka dan saling tahu satu sama lain.
Jangan sampai pasangan hidup seatap dan seranjang, tetapi tidak tahu sepakterjangnya. Agenda kegiatannya apa, aktivitasnya di mana saja dan berteman dengan siapa. Paling tidak secara global harus tahu kesehariannya. Hal ini untuk saling menjaga satu sama lain agar tidak tergoda.
Bila ada gelagat mencurigakan, akan tercium sejak dini. Adakah gerak-geriknya yang tidak seperti biasa. Orang selingkuh biasanya ditandai dengan mulai berbohong. Raut mukanya penuh kedustaan dan menyembunyikan sesuatu di balik ucapan dan perbuatannya. Sering membuat alasan-alasan yang tidak masuk akal. Mengunci dan menyembunyikan handphonenya dari pasangan, mengunci media sosialnya atau bahkan mengganti nama akunnya. Wallahu’alam.(*)
Bogor, 28 Januari 2021