Karya: Choirin Fitri
Muslimahtimes.com – Aku terseok-seok merenda hidup
Merasa pijar terang benderang tetiba redup
Lalu, roboh tertelungkup
Aku berusaha kembali bangkit
Namun, kurasakan ada yang membelit
Rasanya amatlah sakit
Aku meraih pegangan
Nyatanya hanyalah angan
Kosong dari harapan
Aku harus bagaimana?
Haruskah kuteriaki durjana?
Ataukah diam menikmati merana?
Allahku dimanakah Engkau?
Masihkah ada untukku?
Hamba-Mu yang sedang dirundung pilu
(Catatan malam kelamku)
Sebuah ketukan terdengar bertalu dari balik pintu. Kututup buku Diary bersampul biru. Kuhapus air mataku kasar. Aku ingin seseorang yang ada di balik pintu itu tahu bahwa aku sedang menangis.
Seorang wanita paruh baya menatapku sendu. Ia bertanya mengapa aku menangis. Tak akan kujawab. Aku sudah banyak bicara selama ini. Sekarang saatnya aku membisu.
Wanita yang tetap awet kecantikannya itu menawarkan makan malam padaku. Sebuah piring berisi nasi goreng lengkap dengan telur ceplok di atasnya tak menggugah seleraku. Aku mati rasa. Lidahku enggan kugunakan untuk mengunyah.
Wanita yang telah melahirkanku 21 tahun yang lalu memasuki kamarku. Ia letakkan nampan berisi makan malam plus segelas teh panas di meja belajarku. Ia berpesan untuk tetap makan agar aku tak sakit. Ia bergegas pergi. Tampak air mukanya berubah sendu. Segurat air mata mau meluncur dari sudut matanya.
Aaaah, kenapa aku jadi keras kepala? Bukan. Bukan aku keras kepala. Aku hanya tak ingin kembali memikul dosa. Dosa karena telah membuat banyak mata menatapku dengan penuh nafsu.
Nafsu? Ya, nafsu. Aku ini adalah seorang model. Pakaian yang sering kukenakan selalu kurang bahan. Kadang terbuka di dada. Kadangkala di bagian paha. Seringkali punggung. Atau, bahkan hanya menutupi bagian-bagian vital.
Astaghfirullah. Sungguh, kini aku merasa sangat hina saat menatap gambar diri yang terpampang di berbagai majalah, televisi, media sosial, dan lainnya. Seakan ingin kurobek-robek gambar itu dan kubakar hingga jadi abu. Sayangnya aku tak kuasa.
“Kakak cantik sekali! Kakak seorang muslimah?”
Aku mengangguk dengan senyum lebar mengiyakan pertanyaan seorang gadis kecil berkerudung ungu saat aku bertemu dengannya di mall 2 pekan yang lalu.
“Sayang ya kakak nggak menutup aurat. Kata ibuku seorang muslimah itu wajib menutup aurat kayak aku ini. Biar nggak hanya cantik di mata manusia tapi juga di mata Allah.”
Perkataan itu bagai petir yang menyambar di siang bolong. Sampai detik ini ketika aku mengingat kembali kata-katanya air mataku luruh. Aku terduduk lesu. Gadis itu telah menghantarkan cahaya hidayah pada ragaku yang tak tahu malu.
Sejak saat itulah aku mengunci diri di kamar. Ayah sebagai manajerku telah kuminta untuk mengcancel seluruh jadwal pemotretan atau shoting. Yang kudapat, aku didamprat habis-habisan sebagai anak tak tahu diuntung dan berbagai cacian yang tak layak dilontarkan seorang Ayah.
Ibuku pun turun tangan memberikan nasihat. Tapi, aku bergeming. Aku tak mau kembali bergelimang dosa. Aku juga tak mau orang memandangku pun berdosa.
Aku hanya ingin menutup aurat. Hanya itu. Tak lebih. Karena, aku sadari, aku seorang muslimah. Aku ingin taat. Aku tak ingin terus tersesat.
Kulangkahkan kakiku gontai. Kuraih Al-Qur’an terjemah yang kusembunyikan di dalam almari bajuku. Kuraih secarik kain hitam yang kujadikan penutup auratku.
Kubuka lembar demi lembar dengan mata terpejam dan hati bergetar. Keberanikan mataku terbuka dan tepat di jemari tangan kananku kutemukan ayat cinta-Nya. Surat Yunus ayat 108-109.
قُلْ يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاۤءَكُمُ الْحَقُّ مِنْ رَّبِّكُمْ ۚفَمَنِ اهْتَدٰى فَاِنَّمَا يَهْتَدِيْ لِنَفْسِهٖ ۚوَمَنْ ضَلَّ فَاِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا ۚوَمَآ اَنَا۠ عَلَيْكُمْ بِوَكِيْلٍۗ
108. Katakanlah (Muhammad), “Wahai manusia! Telah datang kepadamu kebenaran (Al-Qur’an) dari Tuhanmu, sebab itu barang siapa mendapat petunjuk, maka sebenarnya (petunjuk itu) untuk (kebaikan) dirinya sendiri. Dan barang siapa sesat, sesungguhnya kesesatannya itu (mencelakakan) dirinya sendiri. Dan Aku bukanlah pemelihara dirimu.”
وَاتَّبِعْ مَا يُوْحٰىٓ اِلَيْكَ وَاصْبِرْ حَتّٰى يَحْكُمَ اللّٰهُ ۚوَهُوَ خَيْرُ الْحٰكِمِيْنَ ࣖ
109. Dan ikutilah apa yang diwahyukan kepadamu, dan bersabarlah hingga Allah memberi keputusan. Dialah hakim yang terbaik.
Air mataku deras mengalir. Ayat ini seakan tertuju tepat di batang hidungku. Hanya untukku yang sedang membutuhkan perhatian Rabbku. Ia nyatanya memperhatikanku dan mau menyapaku.
“Allah, terimalah aku. Ampunilah nistanya dosaku. Aku kembali pada-Mu.”
Lalu, gelap. Tanpa cahaya hidup.
Batu, 11 Juli 2021