Oleh: Iranti Mantasari, BA.IR, M.Si
(Alumni Pascasarjana Kajian Timur Tengah dan Islam)
MuslimahTimes.com–Pandemi yang tak kunjung usai ini tentu sudah sangat melelahkan banyak pihak. Bukan hanya lelah secara fisik, namun juga secara pikiran dan juga psikis. Para tenaga kesehatan yang menjadi front pertama yang menangani pasien Covid, para keluarga yang harus menghadapi gugurnya orang-orang tersayang, para ahli dan pakar yang harus tetap mengedukasi publik di tengah “tsunami informasi” yang tidak dapat dipertanggungjawabkan tentang Covid-19, bahkan pemerintah itu sendiri yang menjadi penanggungjawab utama penanganan pandemi karena berhubungan dengan hajat hidup orang banyak.
Namun, sungguh disayangkan, dengan kondisi pandemi yang menguras energi publik ini, realita ironis disajikan kepada masyarakat akan perangai penguasa dan elit negeri. Mulai dari jajaran menteri yang malah mengomentari kisah fiktif sinetron di televisi, penguasa dan anak seorang elit yang dengan santainya melakukan kunjungan ke luar negeri saat PPKM Darurat sedang diberlakukan, hingga permintaan agar komedian menderaskan lawakannya dengan dalih menaikkan imun rakyat.
Perangai yang demikian sedikit tidak telah menggambarkan mentalitas penguasa dan elit di negeri sekuler yang minim sense of crisisnya di tengah pandemi ini, sebagaimana yang disampaikan Direktur Eksekutif INDEF (Institute for Development on Economic and Finance), Tauhid Ahmad kepada redaksi Tempo. Tentu saja hal-hal tersebut bukanlah sesuatu yang dilarang, akan tetapi, berkaitan dengan relasi penguasa dan rakyatnya, ada etika dan komunikasi publik yang harus dijalankan dengan baik.
Entah disadari atau tidak, sudah muncul distrust crisis di masyarakat kepada penguasa. Hal ini adalah konsekuensi langsung dari penanganan wabah yang tidak jelas dan belum membuahkan hasil pada berhentinya laju pandemi bahkan yang memasuki tahun keduanya ini. Apabila isu ini disadari oleh penguasa, maka harusnya mereka mengevaluasi dirinya yang berkapasitas sebagai pihak yang dibebankan amanah di pundaknya untuk mengatur urusan rakyat.
Distrust atau ketidakpercayaan dalam kehidupan berbangsa bernegara adalah suatu hal yang jelas berbahaya, karena akan menimbulkan banyak masalah baru. Sekularisme yang mengakar kuat di kehidupan umat hari ini saja sudah menghadirkan problematika yang sangat pelik, apatah lagi dengan adanya distrust ini. Ketidakpercayaan publik juga akhirnya akan berujung pada gagalnya menumbuhkan sense of belonging antara penguasa terhadap rakyatnya dan rakyat terhadap penguasanya.
Kondisi yang demikian kompleks ini seakan menunjukkan bahwa rakyat tengah mencari sosok penguasa yang pantas untuk mereka cintai, yang penguasa itu juga menunjukkan cintanya kepada rakyat serta hajatnya dengan sebaik-baik dan sebenar-benar pengurusan, termasuk dalam penanganan wabah. Pentingnya relasi yang terbangun antara penguasa dan rakyatnya ini tentu menjadi sorotan di dalam Islam, hingga Rasulullah Saw., sang qudwah terbaik menyabdakan hadis beliau yang artinya, “Dari ‘Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian mencintai mereka dan mereka pun mencintai kalian. Mereka mendo’akan kalian dan kalian pun mendo’akan mereka. Sejelek-jelek pemimpin kalian adalah yang kalian membenci mereka dan mereka pun membenci kalian, juga kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian.” Kemudian ada yang berkata, ”Wahai Rasulullah, tidakkah kita menentang mereka dengan pedang?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak, selama mereka masih mendirikan shalat di tengah-tengah kalian. Jika kalian melihat dari pemimpin kalian sesuatu yang kalian benci, maka bencilah amalannya dan janganlah melepas ketaatan kepadanya.” (HR. Muslim)
Cukuplah Rasulullah Saw. dengan teladan kepemimpinan beliau menjadi sebaik-baik contoh bagi mereka yang terbebankan amanah kekuasaan di pundaknya untuk benar-benar memantaskan dirinya menjadi pemimpin yang layak dicintai oleh rakyatnya. Tak lupa para sahabat ra. yang telah dengan apik melanjutkan tugas kepemimpinan umat sepeninggal baginda nabi saw. juga menjadi gambaran pemimpin ideal yang rakyatnya senantiasa mencintai dan mendoakan kebaikan baginya.
Sebagaimana Islam menempatkan nyawa satu orang muslim luar biasa berharga, para pemimpin ini akan bersungguh-sungguh untuk menjaga satu jiwa dari kebinasaan. Terjadinya pandemi secara global ini adalah ketetapan Allah Swt., namun ikhtiar untuk menghentikannya sehingga tidak menimbulkan mudharat yang lebih besar lagi merupakan hal yang ada di bawah kendali manusia. Para pemimpin yang memahami hakikat pandemi ini akan membuatnya berusaha semaksimal kemampuannya untuk mengelola hajat rakyatnya yang kian tergerus sebagai efek pandemi.
Demikianlah, para pemimpin yang dirindukan itu adalah orang-orang yang menggenggam Islam dengan segenap daya dan upayanya untuk diimplementasikan dalam kehidupan. Islam yang menjadi asas dan landasannya dalam melaksanakan kewajiban imamah atau kepemimpinan dan menunaikan hak-hak rakyatnya hanya dapat dimiliki oleh sosok-sosok yang mukhlis, yang mengesampingkan kepentingan duniawi jika berbenturan dengan kepentingan ukhrawi, sosok yang takut akan Yaumuddin dan rincinya perhitungan Allah al ‘Adl di Hari Perhitungan yang tidak ada keraguan atasnya. Wallahu a’lam bisshawwab.[]