Oleh :Â Justin Adrini
#MuslimahTimes — Sejak abad 17-18, kapitalisme telah menjadikan uang tidak hanya sebagai alat tukar namun juga sebagai komoditas yang bisa diperdagangkan. Salah satu cara untuk menjadikan uang sebagai komoditas adalah dengan sistem utang yang berbasis pada riba. Masyarakat yang hidup dalam kapitalisme dibentuk agar terbiasa hidup dengan utang untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam perjalanannya utang tidak hanya menjadi gaya hidup masyarakat namun menjadi kebutuhan bagi sebuah Negara dalam proses pembangunan. Bahkan Amerika Serikat sebagai Negara adidaya saat ini memiliki utang sebesar $21 triliun. (jakartagreater.com,19/3/18)
Pada Negara dunia ketiga, utang luar negeri dijadikan sebagai alat penjajahan modern untuk menguasai negara-negara tersebut. Akibatnya memperlebar jurang antara Negara miskin dan Negara kaya, serta memiskinkan penduduk di Negara dunia ketiga. Pada tahun 2006 saja utang luar negeri dari 146 negara selatan melampaui US$ 2.207 miliar. Jumlah ini diakui oleh IMF melampaui kemapuan Negara-negara diatas untuk membayar, mengingat nilai diatas sama dengan 80% dari seluruh eksport barang dan jasa dari negar-negara diatas. (Charles W.Kegley,Jr (2007), World Politics: Trend and Transformation. Belamont,CA: Thompson. P.
Menurut Rudolf H. Strahm (Kemiskinan Dunia Ketiga, 1999), sebab utama utang negara-negara berkembang adalah politik negara-negara industri yang menjual produk ekspornya dengan kredit yang diobral ke negara-negara tersebut. Motto mereka adalah, “beli sekarang bayar belakangan”. Karena, hanya dengan politik ini negara-negara industri bisa mengatasi krisis penjualan barang-barang produk dunia industri mereka. Pada prinsipnya, negara maju hanya menjadikan negara berkembang sebagai tempat sampah untuk membuang kelebihan industrinya.
Sebab dan akibat utang negara-negara berkembang bagaikan sebuah spiral. Jalan spiral diawali dari gangguan (defisit) pada neraca pembayaran negara-negara berkembang yang disebabkan oleh: Pertama, nilai impor negara-negara berkembang lebih besar dari nilai ekspornya, sehingga praktis biaya impor yang terus membengkak tersebut harus dibiayai dengan kredit luar negeri (utang untuk impor). Dan ini dilakukan oleh negara industri sebenarnya sudah sejak terjadinya krisis ekonomi dunia tahun 1974, dimana ketika itu negara-negara industri berusaha menjual hasil kelebihan produksinya ke negara-negara berkembang dengan jalan memberikan kredit ke negara-negara tersebut. Kedua, anggaran belanja negara-negara yang utang luar negerinya sangat besar seperti Brasil, Meksiko, Argentina, Indonesia sangat dibebani oleh laba yang sangat kecil (karena laba yang didapat ditarik kembali keluar) dan keharusan membayar lisensi pada perusahaan-perusahaan multinasional yang membuka usahanya di negara-negara tersebut.
Defisit neraca pembayaran ini mau tak mau harus ditutup dengan pinjaman luar negeri. Sementara itu, bank-bank asing saling berlomba untuk memberikan kredit dan pinjaman kepada negara-negara berkembang yang pada akhirnya menyebabkan utang membengkak karena tagihan yang jatuh tempo dan bunga yang harus dibayarkan jumlahnya telah melampaui kredit baru yang akan didapat.
Utang Indonesia
Di Indonesia, utang luar negeri ternyata telah mengisi tidak kurang dari 40 persen defisit untuk pengeluaran pembangunan. Padahal pertumbuhan ekonomi sangat ditentukan oleh seberapa besar pengeluaran pembangunan, yang diputuskan pemerintah setiap tahun. Pada sisi pengeluaran rutin, APBN kita dijebak oleh pengembalian utang pokok dan bunganya.
Dari tahun ke tahun karena peningkatan penerimaan pajak yang meningkat dan peranan minyak yang masih dominan, tabungan pemerintah relatif memadai. Tapi jumlah tabungan yang dikumpulkan dari keringat rakyat dan eksploitasi sumber alam, habis sama sekali, bahkan tidak cukup untuk membayar cicilan utang pokok dan bunganya setiap tahun. Jadi, jika kita tidak mendapat utang baru dari negara donor, praktis kita tidak dapat membangun karena tidak ada dana yang tersisi untuk pembangunan langsung. Semua dana yang diperoleh habis digunakan untuk membayar cicilan utang dan bunganya.
Pada data yang dikeluarkan Bank Indonesia (BI) Februari lalu, Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia 2017 silam mencapai US$352,2 miliar atau sekitar Rp4.849 triliun (kurs Rp13.769). Jumlah itu naik 10,1% dibandingkan tahun sebelumnya. Sebagai gambaran, pada 2016, ULN Indonesia ‘hanya’ naik sebesar 3%.
Peningkatan ULN ini memang cukup drastis karena “sejalan dengan kebutuhan pembiayaan untuk pembangunan infrastruktur dan kegiatan produktif pemerintah lain”, ungkap Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Agusman, dalam keterangan resminya. Dalam lebih tiga tahun memimpin, pemerintahan Jokowi menyebut telah membangun di antaranya 2.623 km jalan aspal, sebagian besar di “Papua, perbatasan Kalimantan dan Nusa Tenggara Timur”; lebih dari 560 km jalan tol; lebih 25.000 meter jembatan; sejumlah bandar udara; proyek Light Rail Transit (LRT) Jabodebek dan Palembang, serta Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta. (bbc.com,13/03/18)
Secara total, komposisi utang pemerintah di Februari masih di dominasi dari Surat Berharga Negara (SBN) mencapai Rp 3.257,26 triliun. Sementara itu, total pinjaman pemerintah melalui bilateral, multilateral, komersial, dan supplier mencapai Rp 734,98 triliun. (cnbcindonesia.com,15/03/18). Adapun utang luar negeri swasta mencapai 2.322 triliun dengan kurs 13.500 per dollar AS. Besar kemungkinan belum termasuk utang BUMN.(kompas.com, 21/03/18)
Pemerintah menyikapi tingginya utang ini dengan optimis, hal ini salah satunya nampak dari pernyataan Kementrian Keuangan (Kemenkeu). Kemenkeu mengatakan, apabila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, Indonesia memiliki rasio utang paling rendah. Menurut Kemenkeu, rasio utang Indonesia per Februari 2018 29,2% dari PDB. Hal itu menunjukkan apabila jumlah utang tersebut masih dalam batas aman, yang diperbolehkan UU No. 17 Tahun 2003 sebesar 60% dari PDB. Kemenkeu juga mengungkapkan bahwa tiga lembaga pemeringkat di dunia Fitch, S&P dan Moody’s menilai perekonomian Indonesia saat ini sehat. Hal tersebut berarti Indonesia layak dijadikan tempat berinvestasi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga menegaskan Indonesia sekarang lebih mampu membayar utang-utangnya dibanding sebelumnya.Kemampuan itu tercermin dari rasio utang atas produk domestik bruto (PDB) yang relatif lebih rendah dari era sebelumnya. Menurut data yang dikutip Menkeu, 10 tahun lalu utang RI hanya US$ 132 miliar, namun PDB juga sangat rendah yaitu US$ 364 miliar, sehingga rasio utang terhadap PDB adalah 36%. Tahun ini, utang melonjak menjadi US$ 300 miliar, tetapi PDB naik dua kali lipat lebih menjadi sebesar US$ 861 miliar, sehingga rasionya hanya 34%.
Dengan pemahaman ini, kata Sri Mulyani, utang Indonesia sebetulnya lebih kecil dari sebelumnya meskipun nominalnya lebih besar.Sebagai catatan, negara-negara maju seperti Jepang dan Amerika Serikat memiliki rasio utang terhadap PDB di atas 100%, sehingga dalam perspektif ini kemampuan membayar utang Indonesia jauh lebih baik.
Terkait strategi pembayaran utang, Direktur strategis dan Portofolio Utang Kemenkeu Scenaider Clasein H Siahaan mengatakan, pemerintah harus mengangsur sebesar Rp450 triliun per tahun. Bagaimana pemerintah melunasinya? pemerintah akan melakukan pengelolaan utang dengan baik dengan mendorong penerimaan dari perpajakan. Untuk itu pemerintah melakukan struktur ulang utang jatuh tempo dan pemerintah butuh waktu Sembilan tahun untuk melunasi hutang itu.
Optimisme pemerintah tentang kemampuan untuk membayar utang jelas perlu dikritisi dengan  meneliti fakta yang ada. Walaupun Menkeu menyatakan bahwa rasio utang Indonesia aman yaitu sebesar 29,2% dari PDB namun secara nominal jelas nilai utang Indonesia melonjak drastis sebesar 10,1%. Bertambahnya nilai utang membawa konsekuensi pada meningkatnya pembayaran bunga utang pada tahun-tahun berikutnya. Sedangkan secara riil APBN Indonesia selalu defisit selama 10 tahun terakhir. Dalam teori ekonomi kondisi ini disebut dengan Fisher’s Paradox, yaitu semakin banyak cicilan pokok dan bunga yang harus dibayar, semakin banyak pula utang yang menumpuk. Dengan kata lain utang akan dibayar dengan sistem ‘gali lubang tutup lubang’. Bahkan bisa jadi lubang yang digali akan bertambah dalam karena semakin besarnya utang. Akibatnya Indonesia bisa terjerat dalam kubangan utang dan semakin sulit untuk keluar.
Ekonom INDEF, Enny Sri Hartati, menyebut jumlah utang pemerintah “pasti tidak aman” karena bunga dan cicilannya dibayar dengan “gali lubang, tutup lubang”. Utang baru dianggap aman kalau pelunasannya “tidak mengganggu likuiditas”.
Kondisi gali lubang tutup lubang ini muncul akibat rasio penerimaan pajak, yang merupakan salah satu sumber dana untuk membayar ULN, “juga turun”. Realisasi penerimaan pajak Indonesia pada 2017 mencapai Rp1.151 triliun atau ‘hanya’ 89,7% dari target pada APBN-P 2017. Maka upaya pemerintah untuk mengelola keuangan dengan baik pada akhirnya akan membuat kondisi ekonomi rakyat semakin sulit, karena pemerintah akan berupaya menggurangi defisit anggaran dengan peningkatan pendapatan yang bertumpu pada penggenjotan pajak dan efisiensi APBN. Peningkatan pajak akan membuat pemerintah mencari cara untuk semakin memeras rakyat melalui pajak, bukan tidak mungkin tarif pajak akan dinaikan. Sedangkan efisiensi anggaran kemungkinan akan berdampak pada dikuranginya subsidi untuk rakyat dengan alasan tidak tepat sasaran. Maka pada akhirnya rakyatlah yang harus menanggung beban karena meningkatnya utang.
Meski Komposisi utang didominasi SBN, bukan berarti kondisi utang menjadi aman. Suku bunga yang dibayar pemerintah pada SBN jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pinjaman luar negeri dari organisasi internasional atau negara manapun. Bahkan, Ekonom senior Indef Faisal Basri menjelaskan, bunga yang ditetapkan dalam SBN selalu meningkat dalam 3 tahun terakhir ini, yakni pada 2015 (8,6%), 2016 (9,8%), dan 2017 (10,9%). “Jangan kaget kalau bunga utang pemerintah itu lebih tinggi, [karena komposisi utang pemerintah lebih bersandar pada SBN],” katanya dalam acara diskudi Indef, di Jakarta, Rabu (21/3/2018).
Selain itu SBN yang sangat mudah didapatkan, berimbas pada perencanaan penggunaan utang yang kurang matang dan penurunan transparansi. Penggunaan SBN akan membuat kondisi makro ekonomi semakin tidak stabil, karena pondasi ekonomi disandarkan pada keadaan pasar yang selalu fluktuatif. Jadi, jika dulu Indonesia menyandera diri sendiri kepada negara donor, sekarang Indonesia menyanderakan dirinya kepada pasar juga. Sedangkan pasar sama sekali tidak bisa kita kendalikan.
Mengenai utang luar negeri swasta yang mencakup 49% dari total 4.849 triliun, pemerintah nampaknya juga tetap harus berhati-hati. Utang luar negeri swasta berpotensi menciptakan krisis (ekonomi), seperti yang terjadi pada 1997. Utang luar negeri swasta bisa ‘berbahaya’ karena tidak bisa dikontrol pemerintah. Pengelolaan dan pembayaran utang pokok dan bunganya, hanya bergantung pada perusahaan peminjam itu sendiri. Menjelang krisis 1997, banyak perusahaan swasta yang menarik ULN dalam jumlah besar. Namun, ketika terjadi krisis utang yang dipicu pelemahan mata uang Baht Thailand, Rupiah ikut melemah, sehingga banyak utang yang gagal bayar. Kondisi inilah yang ditakutkannya terjadi lagi di Indonesia, jika ULN swasta terus membengkak.
Â
Jebakan Utang Luar Negeri
Selain utang melalui penerbitab SBN, komposisi utang Indonesia per Januari 2017 juga mencakup utang luar negeri (baik bilateral maupun multilateral), yaitu sebesar Rp 728,15 triliun. Secara bilateral, Jepang, Prancis, dan Jerman masih menjadi kreditur terbesar utang Indonesia. Sementara secara multilateral, Indonesia masih meminjam dari Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), dan Bank Pembangunan Islam (IDB). (Data Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, Jumat (26/1/2017)).
Selain 6 besar ini, Indonesia juga memiliki utang luar negeri kepada Negara lain, mencakup: Korea Selatan Rp 19,66 triliun,China Rp 12,94 triliun,Amerika Serikat (AS) Rp 8,84 triliun,Australia Rp 7,24 triliun,Spanyol Rp 3,42 triliun,Rusia Rp 3,43 triliun,Inggris Rp 2,07 triliun.
Sebagaimana telah disebutkan di awal bahwa utang luar negeri telah menjadi instrument untuk menjajah negeri dunia ketiga, termasuk Indonesia. John Perkins,mantan konsultan tekhnik di negara-negara miskin yang dibiayai Bank Dunia dan IMF membongkar habis-habisan konspirasi yang dilakukannya lewat buku best seller “Economic Hitmen”. Ia mengakui tugasnya adalah bagaimana menyalurkan utang yang luar biasa besar kepada negara-negara yang ia tahu tidak akan mungkin sanggup membayar utang pokok dan bunganya dalam waktu yang ditentukan. Pada saat yang sama, ia harus berusaha ‘membangkrutkan’ negara-negara itu hingga terjebak dalam ketergantungan luar biasa kepada para pemilik modal.
Indonesia sendiri telah masuk ke dalam jebakan utang luar negeri sebagaimana diungkapkan oleh Mantan Menko Perekonomian era Gusdur,DR.Rizal Ramli: ” Lembaga –lembaga keuangan internasional,seperti bank Dunia,IMF,ADB, dan sebagainya dalam memberikan pinjaman ,biasanya memesan dan menuntut Undang-Undang ataupun peraturan pemerintah negara yang menerima pinjaman. Tidak hanya dalam bidang ekonomi, tetapi juga di bidang sosial. Misalanya, pinjaman sebesar 300 juta dolar Amerika Serikat dari ADB yang ditukar dengan Undang-Undang Privatisasi BUMN, sejalan dengan kebijakan neoliberal. Undang-Undang Migas ditukar dengan pinjaman 400 juta dolar Amerika Serikat dari Bank Dunia.”
Syariat Mengeluarkan dari Jerat Utang
Islam memberikan pandangan yang detail terkait utang. Utang disebut oleh para fuqaha dengan istilah al qardh,islam membedakan antara pengutang sebagai individu dan Negara meskipun semuanya sama-sama merupakan tasharruf individu, meskipun tindakan tersebut bukan dilakukan untuk dirinya melainkan untuk Negara dan rakyat yang diperintahnya.dalam konteks individu, sebagai pribadi, utang hukumnya mubah dengan catatan utang tersebut meniadakan adanya riba yang didalam islam sangat jelas diharamkan selain itu utang tersebut tidak mendatangkan kemudaratan (Abdurrahman al maliki,as siyasah al iqtishadiyah al mutsla,316).
Dalam konteks Negara statusnya dikembalikan kepada hukum Negara. Dalam konteks ini,Negara tidak boleh melakukan pinjaman kecuali dalam urusan yang jika ditangguhkan akan menyebabkan mudarat,kerusakan atau kehancuran baik terhadap Negara maupun rakyatnya dengan catatan tidak boleh berbentuk riba,disertai syarat-syarat yang melanggar hokum syariah seperti liberalisasi ekonomi,pencabutan subsidi,pembukaan investasi asing,dll ,juga dengan utang tidak akan membahayakan Negara dan umat islam. Selain itu tidak boleh berutang kepada Negara kafir harbi fiÂ’lan (Negara yang secara nyata memusuhi islam dan umat islam) seperti AS, rusia, cina.
Hal yang lain, Islam telah memberikan solusi dengan struktur dan format penyusunan APBN yang berbeda, dalam hal ini APBNnya tidak bertumpu pada pajak dan utang melainkan dari sumber-sumber lain yang ditetapkan oleh syariat, seperti kepemilikan umum dan kepemilikan Negara, yang disusun untuk memastikan terjaminnya seluruh kebutuhan rakyat, individu per individu.
- Khatimah
Sistem ekonomi kapitalisme telah terbukti menimbulkan kesulitan di tengah kehidupan umat. Cacat bawaan kapitalisme sebagai ideologi rusak tidak akan pernah bisa diperbaiki kecuali dengan mengganti seluruh sistemnya. Dan satu-satunya pengganti yang shahih adalah Ideologi Islam. [Wallahu aÂ’lam bishawab]
===========================
Sumber Foto : bangkusekolah