Oleh. DessyFatmawati, S. T
#MuslimahTimes — Apa yang ada di benak remaja ketika dihadapkan dengan permainan truth or dare (ToD)? Maju atau mundur? Rasa penasaran yang tinggi ditambah kebutuhan untuk ‘diakui’ menjadikan game ini laris manis. Sayangnya perkembangan arah ToD games di era milenilal menuju ke arah yang berbahaya dan berpotensi kriminal. Dare challenge silih berganti muncul menyeret remaja dalam kubangan berbahaya.
Blue whale challenge, permainan dare yang diluncurkan tahun 2013 di Rusia. Menggunakan media social VKontakte dan Facebook untuk menjerat remaja, setidaknya 130 remaja di Rusia dan Asia Tengah tewas bunuh diri mengikuti game ini (2016). Philipp Budeikin (21) mengklaim game yang ia buat bertujuan untuk“cleanse society” of “biological waste”. Pemerintah Rusia mengganjar remaja pengidap bipolar disorder ini dengan penjara tiga tahun empat bulan sejak tahun 2017.
Sebelum Blue whale challenge mewabah, tahun 2007 muncul condom snorting challenge, menghirup kondom dari hidung dan mengeluarkannya lewat mulut. Salt and ice challenge, tantangan menggosok kulit dengan es dan garam hingga melepuh. Ice bucket challenge, menyiram diri dengan seember es, yang menewaskan remaja usia 18 tahun di Edinburg. Skip challenge atau passout challenge, menekan dada hingga kekurangan oksigen, menewaskan remaja usia 11 tahun di Carolina Selatan. Tide pod challenge, tantangan meminum detergen cair salah satu merk perusahaan P&G menewaskan 39 remaja di AmerikaSerikat.
Kini media sosial Youtube dan Instagram pun ramai dengan kiki challenge dan tak luput aplikasi WhatsApp sedang heboh dengan adanya game tantangan bunuh diri, momo challenge. Belum ada rilis resmi statistik korban kedua challenge dare ini. Berita tertabraknya pemain kiki challenge dan remaja Argentina (12) yang merekam aksi bunuh dirinya untuk memenuhi momo challenge sudah cukup menjadi bukti betapa tantangan-tantangan sampah ini harus segera dihentikan.
// Jeratan Kebebasan dalam Eksistensi //
Benar atau salah yang penting bebas. Benar atau salah yang penting eksis. Begitulah anekdot yang ada di tengah-tengah masyarakat yang mengagungkan kebebasan. Pengagungan prinsip kebebasan menyisakan beragam masalah. Bukanhanya banyak tapi juga unstoppable. Tingginya tingkat kemajuan teknologi seolah berkorelasi linier dengan ‘kreativitas manusia dalam melakukan kejahatan.’
Jeratan kejahatan yang melibatkan remaja sangat dipengaruhi oleh lingkungan dimana ia tumbuh. Lingkungan pendidikan ala barat sekuler yang kini menjadi kiblat, ilmu dituntut hanya sekedar untuk mendapatkan selembar ijasah. Sekolah hanya untuk mencetak pelayan-pelayan kapitalisme. Maka output pendidikan sekuler yang dihasilkan adalah generasi yang memagari diri hanya pada nilai-nilai kebendaan dalam memandang popularitas.
Tidak hanya sampai di situ, lingkungan sekuler berhasil memberikan stimulus untuk membangun tujuan dan cita-cita hidup sebatas hal-hal yang bersifat komersial dan material tanpa memandang batasan-batasan agama. Pemagaran cita-cita di luar kebendaan dan komersil bukan hanya keliru tapi juga rusak.
Terlebih akse sinformasi digital menyajikan ruang yang sangat luas untuk berinteraksi dengan beragam individu dan komunitas dari berbagai latar belakang. Akses yang sangat terbuka untuk berinteraksi dengan beragam gagasan, budaya dan gaya hidup yang kental dengan world view tertentu secara real time dan borderless. Termasuk akses remaja pada LGBT, hate speech, bullying, challenge dan sebagainya.
// Eksistensi Sejati //
Kapitalisme memandang pemuda hanyalah calon pelayanan industri yang harus dilatih skill untuk berebut kebendaan saja tanpa memperdulikan sisi yang lain. Tidaklah demikian dalam Islam.“Syubanu al-yaumrijalu al-ghaddi” (pemuda hari ini adalah tokoh pada masa yang akan datang), ini adalah pujian Islam pada remaja.
Bingkai yang diberikan oleh Islam bukan sekedar kebebasan yang justru membawa kebinasaan. Islam membingkai naluri manusia untuk eksis gharizatul baqa’ dipersembahkan untuk Sang Illahi bukanmengemis pada manusia.
Bangunan-bangunan untuk ruang eksistensi dibentuk dalam tiga langkah. Pendidikan Islami, lingkungan yang bersih dan sibuk dalam ketaatan. Dimana tiga langkah ini terwujud sempurna jika ditopang pilar individu, masyarakat dan negara.
PendidikanIslami
Keluarga kaum muslim adalah madrasah pertama bagi putra-putrinya. Di usia emas (golden age), anak-anak bisa dibentuk menjadi apapun, tergantung orang tuanya. Pengajaran terbaik adalah Al Qur’an. Setelah mereka bisa menghafal Alquran di usia enam atau tujuh tahun, mereka pun mulai menghafal kitab-kitab hadits.
Karena itu, di era keemasan penerapan sistem Islam, bermunculan pemuda yang sudah mampu memberikan fatwa. Iyash bin Mu’awiyah, Muhammad bin Idris as-Syafii misalnya, sudah bisa memberikan fatwa saa tusianya belum genap 15 tahun.
Selain penguasaan knowledge yang begitu luar biasa, mereka juga dibiasakan oleh orang tua-orang tua mereka untuk mengerjakan shalat, berpuasa, berzakat, infaq hingga berjihad.
Dengan bekal ilmu dan pembentukan mental yang sehat dan kuat, ketika mereka mempunyai masalah, keyakinan mereka kepada Allah, qadha’ dan qadar, rizki, ajal, termasuk tawakal begitu luar biasa. Masalah apapun yang mereka hadapi bisa mereka pecahkan. Mereka pun jauh dari stres, apalagi menjamah challenge berbahaya, miras dan narkoba untuk pembuktian diri dan melarikan diri dari masalah.
Lingkungan yang bersih
Negara tidak akan memfasilitasi segala hal yang membuat kehidupan pemuda berbelok ke arah hura-hura, dugem dan kehidupan hedonistik lainnya. Tidak terbuka pintu untuk mengonsumsi miras, challenge berbahaya atau narkoba, baik sebagai dopping, pelarian atau sejenisnya. Kehidupan pria dan wanita pun dipisah. Tidak ada ikhtilath, khalwat, menarik perhatian lawan jenis [tabarruj], apalagi pacaran hingga perzinaan.
Karena kehidupan mereka seperti itu, maka produktivitas generasi muda di era keemasan Islam ini pun luar biasa. Banyak karya ilmiah yang mereka hasilkan saat usia mereka masih muda. Begitu juga riset dan penemuan juga bisa mereka hasilkan ketika usia mereka masih sangat belia. Semuanya itu merupakan dampak dari kondusivitas kehidupan masyarakat di zamannya.
Sibuk dalam ketaatan
Mungkin awalnya mubah, tetapi lama-lama kemubahan tersebut melalaikan, bahkan menyibukkannya dalam kebatilan. Seperti ungkapan, jika seseorang tidak menyibukkan diri dalam kebenaran, pasti sibuk dalam kebatilan. Karena itu, selain kehidupan masyarakat yang bersih, berbagai tayangan, tontonan atau acara yang bisa menyibukkan masyarakat dalam kebatilan harus dihentikan.
Agar masyarakat, khususnya generasi muda tidak terperosok dalam kesia-siaan, maka mereka harus disibukkan dengan ketaatan (aktivitas fardhu dan sunnah serta penunjangnya). Dengan menyibukkan diri dalam ketaatan, waktu, umur, ilmu, harta dan apapun yang mereka miliki menjadi berkah. Karena itu, dalam usia 20 tahunan, Imam an-Nawawi, misalnya bisa menghasilkan berjilid-jilid kitab. Muhammad Al Fatih sukses eksis menggenapi challenge Allah sebagai penakhluk konstantinopel. Begitupun Salahuddin Al Ayyubi, menerima challenge membebaskan Al Quds.
Alangkah manisnya eksistensi dalam bingkai Islam. Tidak hanya kemuliaan di dunia. Namun kemuliaan yang bisa kita bawa meski hidup telah tertunai dan dengan bangga berbisik pada raga sebelum berpisah dengan dunia.
===================
Sumber Foto : Kompas Regional