Oleh: Wulan Citra Dewi, S.Pd.
(Penulis, Motivator dan Pemerhati Remaja)
Sampai kapan pun, keindahan Islam akan senantiasa terpancar. Sekuat daya-upaya para pembenci untuk memonsterisasi, keelokan Islam tetap bersinar bak mentari. Siapalah manusia?! Sekedar makhluk, yang hidupnya bergantung pada rahmat Al-Khaliq, Allah Swt. Lantas, mampukah sang hamba mendurhakai Sang Pencipta? Sekali-kali tidak!
Alhamdulillah, di tengah riuh pencitra-burukan wajah Islam, peminat iman justru semakin berdatangan. Ibarat bola kasti, semakin kuat daya hempas yang diberikan semakin tinggi pula pantulannya. Masyaallah. Berbagai genre yang digunakan untuk menghantam Islam, mulai dari komedian hingga ke tusuk konde sekalipun, tidak menyurutkan langkah para pencari kebenaran Islam. Bahkan, bukan hanya meneguk kebenaran yang ada. banyak dari mereka yang berdiri di garda terdepan untuk menjadi pembela firman-firman Tuhan. Luar biasa!
Bukti Cinta
Sejatinya manusia tidak akan pernah luput dari gelora cinta. karena demikianlah fitrah yang Allah Swt. gariskan. Karenanya pula, hidup ini menjadi berirama. Penuh debar yang cetar membahana di setiap harinya. Cinta, memanglah sebuah rasa yang begitu nyata memberikan daya tak berlogika. Segala yang mustahil, menjadi mungkin jika cinta sudah berkata. Itulah mengapa, Islam memberikan rambu-rambu sedemikian rupa dalam hal pengelolaan rasa cinta. Mutlak, apapun yang dicinta oleh seorang hamba harus berlandaskan pada kecintaan Allah Swt. dan Rasulullah Saw. Ya, cinta haruslah tunduk pada syariat-Nya. Cinta harus bersemi dari apa yang Allah Swt. ridai: Al-Quran dan As-Sunnah. Inilah cinta tertinggi yang harus kita daki. Masyaallah!
Kecintaan kita pada agama ini adalah keharusan. Karena tidak ada penyelamat kecuali hanya agama yang diridai-Nya, Islam. Cinta tentu tidak cukup sekedar dilisankan. Harus ada pembuktian sehingga pasti bahwa Islam begitu kita cinta. Mencintai Islam, tentu satu kesatuan dengan mencintai Allah Swt. dan RasulNya. Tidak terpisahkan.
Bukti cinta tidak lain adalah dengan sami’na wa atho’na (saya mendengar dan saya taat) pada setiap syariat yang ada. Al-Quran dan As-Sunnah menjadi panduan dalam kehidupan. Secara kaffah, bukan setengah-setengah. Artinya, tidak dikatakan cinta jika seseorang hanya mengambil Islam dari sisi musyawarah saja sedangkan sisi politiknya tidak.
Demikian pula, tidak dikatakan cinta kepada Islam, ketika seseorang hanya mengimani perkara habluminallah sedangkan habbluminannas-nya ia abaikan.
Sama halnya, mencintai Baginda Nabi Muhammad Saw. juga tidak cukup sekedar mengucapkan shalawat kepada Beliau. Belum terbukti cinta kita, tatkala sekedar memperingati hari lahir atau isra’ mi’raj semata. Karena hakikatnya, Rasulullah Saw. diutus bukan sekedar untuk puji-pujian umatnya. Lebih dari itu, diutusnya Rasulullah Saw. adalah untuk diitiiba’ atau diikuti oleh kita.
Inilah hakikat dari mencintai. Bukti bahwa kita cinta, maka tiada berat rasa untuk mengikuti setiap apa yang diamanahkan pada kita.Terlebih lagi, amanah yang bersumber dari Allah Swt. sekaligus kekasih-Nya yang mulia. Tiada kata yang pantas terucap, kecuali sami’na wa atho’na. Tiada laku yang layak kecuali bergegas mengikuti segala yang dititahkan. Habbluminallah, habbluminanafs dan habbluminannas kita harus sesuai dengan syariat-Nya.Totalitas, bukan pilah-pilah yang dirasa pas. Karena sikap seorang hamba ahli Surga, adalah ia yang total menicintai agamanya. seratus persen. Ya, cinta Islam A-Z.
Jangan sampai tertipu dengan para penista meski mereka kian meraja. Teguh dalam kebenarana adalah satu-satunya pilihan. Kaffah dalam mencinta, terikat hanya pada syariat-Nya. Sehingga kita akan turut bersinar bersama pancaran eloknya Islam. Semoga kita pula,
termasuk hamba yang ahli Surga. Aminn. Wallahua’lam.***