Oleh. Rut Sri Wahyuningsih
(Kontributor Muslimahtimes.com)
Muslimahtimes.com–Dua warga Singowangi, Kecamatan Kutorejo, Mojokerto dibuat terkejut dengan BPJS-nya yang tak aktif saat dibuat berobat. Padahal, keduanya harus segera dapat penangan medis akibat penyakit yang diderita. Sekdes Singowangi, Adi Dwi mengatakan bahwa mereka termasuk warga tidak mampu dan dengan terpaksa harus mengalihkan ke BPJS mandiri kelas 3 sebab ketiadaan biaya. Hal ini ternyata sebagai dampak penonaktifan PBI JKN yang dibiaya daerah. Belakangan DPRD mengungkap jika penonaktifan Kartu Indonesia Sehat (KIS) daerah sedikitnya mencapai 90 ribu peserta. Sementara itu, dinas kesehatan berkilah pencoretan bantuan akibat keterbatasan anggaran. (radarmojokerto.jawapos.com, 28/8/2023)
Ketua Komisi IV DPRD Kabupaten Mojokerto, Sopi’i, mengaku prihatin dengan kebijakan yang diambil pemerintah daerah ini. ’’Otomatis, masyarakat langsung kena dampaknya. Buktinya banyak kartu BPJS mendadak tidak aktif saat dipakai berobat,’’ ungkapnya. Sesuai hearing yang dilakukan komisi IV bersama dinas kesehatan sebelumnya, terungkap jika pencoretan menyasar puluhan ribu peserta yang tersebar di 18 kecamatan. ’’Sembilan puluh ribuan peserta yang dibiayai pemerintah daerah dinonaktifkan, alasannya karena memang tidak ada anggaran, tapi itu kan angka tidak sedikit,’’ tambah Sopi’i
Menurut Sopi’i penonaktifan ini bisa-bisa mengancam keberlangsungan status Universal Health Coverage (UHC) atau Cakupan Kesehatan Semesta yang sebelumnya diterima Pemkab Mojokerto. Seharusnya jika memang tidak siap maka program UHC tidak boleh dipaksakan. Dan sekaligus ini wujud tidak konsistennya pemda dalam mencanangkan UHC. Artinya, perluasan cakupan kepesertaan BPJS di Kabupaten Mojokerto yang bersumber dari PBI daerah sangat dipaksakan. Di sisi lain, mengejar UHC, di lain sisi tidak mempertimbangkan kemampuan anggaran untuk keberlangsungannya.
Kapitalisasi Kesehatan Sebuah Keniscayaan
Kesehatan adalah salah satu kebutuhan masyarakat yang tidak bisa harus dipenuhi. Jika masyarakat lemah karena kesehatannya tidak terjamin, tentulah sangat berpengaruh pada roda perekonomian dan kehidupan sosial lainnya. Masalahnya, karena ini adalah kebutuhan publik yang tentu membutuhkan pembiayaan besar sementara tidak semua individu masyarakat memiliki kemampuan finansial yang sama maka butuh kehadiran negara.
Namun, negara apa yang terkatagori mampu menjamin kesehatan masyarakat secara totalitas? Dalam sistem hari ini, disebabkan negara mengadopsi sistem kapitalisme, maka, mengkapitalisasi kesehatan adalah sebuah keniscayaan, posisi negara memang dibatasi, sekadar pengatur dan legitimasi kebijakan, selebihnya eksekutor lapangan adalah pihak ketiga atau swasta, baik asing maupun aseng.
Para pemilik modal lah yang banyak memengaruhi berbagai proyek di negara ini termasuk kesehatan. Salah satunya adalah BPJS kesehatan, jaminan negara terkait kesehatan masyarakat yang diklaim berbasis gotong royong. Yang kaya membantu yang miskin, namun pembayaran iuran setiap bulannya tak pandang kaya atau miskin, bahkan jika telat membayar kena pinalti. Belum lagi kualitas pelayanan yang ala kadarnya, jatah untuk dokter sangat minim, pembatasan jumlah hari rawat inap dan tidak setiap jenis sakit di-cover BPJS.
Lebih mirisnya, seolah ada jargon orang miskin dilarang sakit, meski ada bantuan pembayaran dari pemerintah yang disebut Penerima Bantuan Iuran (PBI) APBD, yaitu peserta JKN yang iurannya dibiayai oleh Pemerintah Daerah melalui APBD. Namun praktiknya di lapangan banyak mengalami kendala, salah satunya keterbatasan dana APBD. Sangat jelas kekurangan itu akan terjadi, sebab sumber dana terbesarnya berasal dari pajak sangatlah fluktuatif. Meski realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) hingga 26 Desember 2022 sebesar Rp36 miliar atau mencapai 105,8 persen dari target (Pajak.com). Namun kebutuhan daerah tak kalah besar, sebab bukan hanya kesehatan. Sebanyak apapun perluasan obyek pajak yang digenjot pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapatan daerah dari sektor pajak tetap tak akan optimal membiayai seluruh kebutuhan rakyat.
Pun jika melihat besaran investasi ataupun potensi pariwisata yang dimiliki kota Mojokerto. Sehingga butuh tindakan revolusioner untuk merubah keadaan. Rakyat yang jatuh miskin hari ini bukannya berkurang, terlebih pasca pandemi justru bertambah banyak. Melemahnya perekonomian, banyaknya pengangguran karena lapangan kerja banyak berkurang, membuat setiap kepala keluarga menderita sehingga tak lagi mampu menafkahi keluarganya secara wajar, jatuhlah mereka dalam kemiskinan.
Islam: Wujudkan Kesehatan Paripurna
Rasulullah saw bersabda,”Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api“. (HR. Abu Dawud dan Ahmad). Maknanya, haram bagi negara untuk memberikan kepemilikan umum kepada swasta atau pribadi. Barang-barang yang menjadi milik umum adalah memiliki sifat jika ketersediaannya terbatas, maka akan menimbulkan perselisihan seperti barang tambang, hutan, laut, sungai, energi dan lainnya.
Maka, pengaturan pengelolaannya mutlak di tangan negara. Dari sinilah negara akan mendapatkan dana yang besar. Ditambah lagi dengan adanya kepemilikan negara seperti jizyah, fa’i, ghanimah dan lainnya. Maka tak perlu bertumpu pada pajak. Negara akan leluasa menjamin seluruh kebutuhan pokok rakyat dari sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan. Hanya Islam dengan syariatnya yang mampu mewujudkan bukan kapitalisme. Wallahu a’lam bish showab.