Oleh: Epi Aryani
(Anggota komunitas revowriter Karawang)
“Menjadi ibu adalah profesi dengan tingkat stress paling tinggi”
Selalu terngiang-ngiang dengan penggalan buku Irawati Istadi yang berjudul Mendidik Anak Dengan Cinta. Yang saya baca sekitar 6 tahun-an lalu, ketika usia anak pertama baru berusia sekitar 3 bulanan. Saat itu, saya hanya bertanya-tanya dalam hati. Sehoror itukah?
Seiring barjalannya waktu. Pernyataan itu layaknya mimpi yang menjadi nyata . Dimana emak harus berkutat dengan urusan domestik. Bangun paling pagi, dan tidur paling belakangan. Mengurus rumah. Mengurus kebutuhan suami dan triple combo (anak, bayi dan balita sekaligus). Berulang-ulang. Setiap hari. Selamanya. Dan tanpa libur. Konde mande, eh onde mande…
Belum lagi dengan kesibukan emak diarea publik seperti ngaji dan dakwah. Ditemani triple combo yang setia mendampingi kemanapun emak pergi. Beserta drama yang mengiringinya. Mulai dari kerewelan, rebutan sesuatu sampai tantrum guling-guling.
Jika emak menambah kesibukan dengan dagang (online atau offline), berkerja atau melanjutkan pendidikan, nampaknya tingkat stress akan semakin meningkat. Mendekati level dewa (lebay mode on).
Bagaimana kondisi keluarga jika sang ibu dilanda stress? Nampaknya suasana rumah bakal jadi horor, tiada keceriaan, hampa, bahkan hancur lebur.
*Luruskan Niat*
Sejatinya, menjadi ummu wa robbatul bayt (ibu dan pengatur rumah tangga) adalah tugas utama muslimah yang lelahnya akan Allah ganti dengan pahala.
So, niatkan bahwa segala aktifitas kita adalah untuk meraih ridho Allah semata. Sehingga lelah berubah menjadi lillah.
Jangan ampe rugi dengan kufur nikmat mak, udah cape malah dapet dosa pula.
“Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya semua urusan nya adalah baik untuknya. Dan hal itu tidak ada kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila dia mendapatkan kesenangan maka dia pun bersyukur, maka hal itu adalah baik baginya. Apabila dia tertimpa kesulitan maka dia pun bersabat, maka hal itu juga sebuah kebaikan untuknya” (HR.Muslim)
*Minta Bantuan Suami*
Berbagi tugas dengan suami dalam mengerjakan tugas rumahan lumayan effektif dalam menjaga kewarasan ibu. Biasanya ibu akan cepat marah jika dalam kondisi lelah, lapar, gerah (ehm, pengalaman pribadi).
*Me Time, We Time*
Dengan ritme pekerjaan rumah tangga yang monoton, ibu butuh refreshing untuk mengembalikan kewarasan nya. Istilah Me Time sebenernya tidak harus dengan meninggalkan keluarga atau dengan budget tertentu.
Jika dengan makan mie instan rebus plus telor dan cabe rawit yang banyak bisa mengembalikan energi, maka lakukanlah.
We Time bisa dilakukan bersama seluruh anggota keluarga sepulang dari kajian ahad. Bisa dengan mengunjungi sanak saudara. Atau sekadar jalan-jalan sore sambil jajan. Menguntungan semua pihak bukan. Semua senang, semua menang.
*Bertemu Dengan Sesama Emak Lillah*
Mengutip pernyataan seorang kawan. “Hidup kita ini sudah terlalu sesak dengan permasalahan hidup. Urusan rumah tangga, listrik dan BBM naik terus, mahalnya biaya pendidikan. Dll. Kemudian bertemu dengan teman-teman yang memiliki visi akhirat. Masya Allah, kita bisa sejenak melupakan semua itu dan kembali berenergi”. Dont u feel it? Kalo saya sih iyes, kalo kamu?
*Sistem Yang Kondusif*
Tetep, dari serangkaian cara, tidak akan sempurna menjaga para ibu tanpa adanya sistem kehidupan yang baik. Sistem kehidupan yang bisa menjamin fasilitas publik yang berkualitas dan murah bahkan gratis (pendidikan, kesehatan, dll). Keamanan terjamin. Masyarakat yang islami. Harga kebutuhan hidup terjangkau. Sehingga para ibu bisa tenang menjalankan tugasnya tanpa ada rasa was was. Tentu hanya dengan sistem islam lah semua bisa terpenuhi.
wallahu a’lam.