Breaking News

Urgensitas Literasi Gizi demi Kesehatan

Spread the love

 Oleh. Tari Ummu Hamzah

Muslimahtimes.com–Melonjaknya kasus gagal ginjal pada anak di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) menimbulkan kekhawatiran publik. Karena tidak disangka ternyata pasien gagal ginjal di RSCM adalah anak-anak. Ketua Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dr Piprim Basarah Yanuarso, menegaskan tak ada laporan peningkatan kasus gagal ginjal pada anak. Hal di atas disampaikan Piprim merespons ramainya isu tentang banyaknya anak yang menjalani terapi cuci darah di RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. (Cnnindinesia.com)

Isu kesehatan soal gagal ginjal pada anak ini, tentu menjadi kekhawatiran bagi para orang tua. Karena makanan yang beredar dipasaran itu terbukti membahayakan kesehatan dalam jangka panjang. Meskipun di sosial media terdapat banyak sekali literasi digital tentang kesehatan, tapi kepedulian masyarakat terhadap kesehatan belum sepenuhnya terbangun.

Di pasaran juga masih beredar makanan yang mengandung pengawet, tinggi gula, dan tinggi garam. Kondisi ini diperparah dengan masyarakat yang belum memahami literasi kesehatan, yaitu tentang kepedulian akan pemilihan pangan. Misalnya selalu cek tabel nutrisi saat membeli makanan kemasan. Tidak hanya di cek ada atau tidaknya logo halal, namun juga dilihat kandungan-kandungan nutrisinya. Sebab makanan yang halal belum tentu menyehatkan. Masyarakat juga perlu diedukasi soal pengolahan bahan makanan agar tidak menimbulkan reaksi oksidasi pada tubuh.

Mengapa masyarakat minim edukasi soal makanan yang bergizi?

Edukasi dan literasi ini adalah hal yang wajib dilakukan oleh penguasa terhadap rakyatnya. Karena hal itu merupakan bentuk penjagaan penguasa kepada rakyatnya. Tetapi bagaimana jika penguasa minim soal edukasi makanan sehat? Atau bagaimana jika dibalik beredarnya makanan yang mengandung pengawet, tinggi garam, dan tinggi gula, ada peran pemerintah dalam ijin edarannya? Ini patut kita dalami. Karena perilaku masyarakat dalam memilih makanan ditentukan seberapa jauh masyarakat paham soal kesehatan dan makanan. Disisi lain perilaku masyarakat soal pangan juga bisa disetir pihak asing atau swasta lewat produk-produk makanan cepat saji mereka. Parahnya pemerintah juga melegakan makanan berperisa dengan gula buatan, beredar dipasaran. Legalisasi ini menyebabkan menjamurnya industri makanan instan dan cepat saji.

Nah, mengapa pemerintah seolah memberikan lampu hijau begitu saja kepada para pelaku bisnis makanan cepat saji dan instan? Jelas karena perputaran uang para pemodal bisnis akan jauh lebih banyak dimereka. Tidak peduli apakah makanan yang mereka produksi itu akan memberikan dampak kesehatan jangka panjang, yang penting produksi barang itu harus terus dijalankan untuk mengeruk keuntungan dan berputarnya roda bisnis mereka.

Jika perputaran bisnis konglomerasi industri cepat saji ini semakin besar, maka pajak yang harus dibayarkan kepada pemerintah juga akan besar. Disinilah para kapitalis bermain. Termasuk pemerintah. Dalam hal ini peran pemerintah memberikan regulasi-regulasi untuk melancarkan bisnis mereka. Sedangkan peran pemerintah kepada masyarakat untuk memberikan edukasi makanan sehat, sungguh sangat minim. Makin kesini makin terlihat bahwa pemerintah berpihak kepada pihak swasta. Sedangkan masyarakat hanya dijadikan obyek bisnis mereka. Maka dari itu kurangnya pendidikan dan literasi akan gizi tidak dimasukkan ke dalam kurikulum, agar masyarakat tetap setia pada produk-produk makanan kemasan.

Jadi dalam sistem kapitalis itu memang tidak memungkinkan masyarakat untuk mendapatkan hak-hak hidup sepenuhnya. Karena penguasa kapitalis hanya melihat masyarakat sebagai obyek bisnis. Selalu menimbang untung dan rugi jika hendak meriayah rakyatnya.

Solusi dalam Islam

Islam adalah agama yang mampu mendorong ummatnya untuk berlomba-lomba dalam menciptakan literasi. Semangat ini didorong oleh kekuatan aqidah Islam. Dimana Islam memerintahkan ummatnya untuk makan makanan yang halal. Bukan hanya sekadar halal, tapi juga sehat. Karena Allah sangat mencintai hamba-Nya yang kita secara mental dan fisik. Atas dorongan cinta kepada Allah inilah kaum muslimin di masa-masa kekhalifahan Abbasiyah misalnya, sangat mencintai literasi.

Dalam dunia kuliner ada seorang juru masak terkenal di masa itu namanya Ibnu Sayyar. Ia membukukan resep-resep hasil kreasinya dalam sebuah buku berjudul Kitab at-Tabikh wa Islah al-Aqhdiyah al-Ma’kulat. Satu hal penting yang ditekankan Ibnu Sayyar dalam bukunya adalah setiap masakan yang dibuat harus sesuai dengan kriteria sebagai makanan yang sehat dan halal serta sesuai tuntunan agama Islam. Ia juga mempertemukan kuliner dengan sains. Pada saat itu, para juru masak Muslim telah menyadari pentingnya menyajikan masakan yang sehat. Mereka benar-benar menjaga kualitas kandungan gizi masakan. Ibnu Sayyar mengatakan, sebelum memasak, hendaknya memperhatikan perkataan para ahli gizi dan kesehatan. Hal ini dilakukan agar masakan yang kelak dihidangkan mengandung nilai gizi tinggi.

Keahlian dan kejeniusan kaum muslimin saat itu mendapatkan dukungan penuh dari penguasa muslim. Karena meskipun masyarakat memiliki kejeniusan tapi tidak ada fasilitas dan distribusi literasi dari pemerintah, maka kejeniusan hanya milik pribadi saja. Penguasa muslim sangat memahami betul bahwa setiap muslim itu harus bisa bermanfaat dan memberikannya kontribusi peran ditengah ummat. Maka penguasa membrikan akses, fasilitas, dan kemudahan untuk mendapatkan pendidikan dan literasi. Tidak ada hitungan untung rugi dalam meriayah rakyatnya. Semuanya akan mendapatkan hak dasar hidup yang sama.

Untuk memang diperlukan peran pemerintah sepenuhnya dalam menjaga dan mencegah terjadinya isu-isu soal kesehatan masyarakat. Dalam hal ini jelas Islam lah yang sudah terbukti berhasil dalam me-ri’ayah manusia.