Oleh. Afifah
(Muslimah Brebes)
Muslimahtimes.com–Bagaikan fenomena gunung es, kasus kekerasan terhadap anak kembali menjadi sorotan publik. Dikutip dari www.kompas.com( 30/3/2024) anak seorang selebgram, Hifdzan Silmi Nur Emyaghnia, atau akrab disapa Aghnia Punjabi, JAP (3 tahun) menjadi korban kekerasan pengasuhnya, IPS. Aghnia mengunggah foto sang putri dengan mata kiri lebam yang tampak sulit terbuka, telinga memar, serta guratan luka di pipinya.
Kasatreskim Polestra Malang Kota, Kompol Danang Yudanto, mengatakan motif IPS melakukan kekerasan terhadap korban lantaran kesal saat anak berusia 3 tahun itu menolak untuk diobati dan beberapa faktor pendorong personal lainnya, yakni salah satu anggota keluarga tersangka yang sedang sakit.
Berulangnya kasus kekerasan terhadap anak, membuktikan bahwa anak tidak mendapat jaminan keamanan bahkan di lingkungan keluarga sendiri. Yang berarti juga karena lemahnya jaminan perlindungan atas anak, bahkan di dalam keluarga kecilnya sendiri. Hal ini semakin ditegaskan dengan data yang ditunjukkan banyaknya kasus kekerasan pada anak.
Dikutip dari www.nusantaranews.net (8/2023) Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) melaporkan, ada 16.854 anak yang menjadi korban kekerasan pada tahun 2023. Untuk jumlah kekerasan fisik terhadap anak tercatat sebanyak 4.025 kejadian. Ada pula 3.800 kekerasan psikis pada anak yang terjadi pada tahun 2023. Data tersebut menggambarkan betapa anak-anak di negeri ini tidak mendapatkan perlindungan yang semestinya dilakukan oleh semua pihak baik keluarga,masyarakat, maupun negara.
Kondisi ini merupakan sebuah keniscayaan ketika kehidupan diatur tidak menggunakan syariat Islam, namun diatur dengan sistem yang berlandaskan materi. Yang tak lain adalah sistem sekulerisme kapitalisme membuat keluarga, masyarakat, maupun negara tidak memahami kewajiban mereka dalam memberikan perlindungan hakiki untuk anak.
Salah satu buktinya legalisasi Undang-Undang Pencegahan-Kekerasan Dalam Rumah Tangga, maupun UU Perlindungan anak yang sudah mengalami dua kali revisi. UU ini nyatanya mandul ketika kasus kekerasan terhadap anak tetap saja marak terjadi. Inilah buah penerapan sistem sekulerisme kapitalisme sistem ini hanya memberikan kehidupan yang buruk bagi anak-anak.
Sangat berbeda dengan perlindungan anak yang diatur dengan sistem Islam, Islam memahami benar potensi dan kebutuhan anak-anak secara fitrah anak berhak memperoleh perlindungan dan kasih sayang dimanapun dia berada baik ketika berada ditengah-tengah keluarga, masyarakat, maupun negara. Secara fakta anak-anak merupakan generasi yang akan menjadi pengisi sebuah peradaban.
Maka dari itu, Islam mewajibkan semua lapisan masyarakat tersebut memahami pentingnya perlindungan anak dan berperan serta mewujudkannya. Dari sisi keluarga, Islam mewajibkan seorang ibu menjadi al-umm wa Rabbatul bayt dan madrasah al-ula bagi anak-anaknya. Peran ibu yang demikian sangat strategis untuk mencetak generasi berkualitas. Ibu berkewajiban mengasuh, mendidik, menjaga, dan merawat anak-anak mereka di rumah.
Sementara itu, Islam mewajibkan seorang ayah sebagai qowwam dalam rumah tangga yang wajib mencari nafkah, menjaga agar keluarganya senantiasa taat kepada Allah. Sehingga terwujudlah sinergi ayah dan ibu dalam mendidik, mengasuh, mencukupi gizi anak dan menjaga mereka dengan basis keimanan dan ketakwaan kepada Allah. Konsep ini memberikan perlindungan pertama pada anak-anak. Perlindungan selanjutnya diwujudkan oleh masyarakat. Secara, masyarakat menjadi lingkungan untuk tumbuh kembang anak. Karena itu, Islam menjadikan masyarakat menjadi pengontrol perilaku anak dari kejahatan dan kemaksiatan melalui penerapan sistem sosial Islam. Masyarakat akan terbiasa melakukan amar makruf nahi munkar kepada siapa pun.
Keberadaan negara mutlak dibutuhkan dalam perlindungan anak sebab negara memiliki semua instrumennya. Karena itu, Islam mewajibkan negara hadir sebagai ra’in (pelayan) dan junnah (perisai) rakyatnya. Termasuk memberikan perlindungan kepada anak melalui berbagai mekanisme. Melalui penerapan sistem ekonomi Islam, negara akan menjamin secara tidak langsung kebutuhan pokok berupa sandang, pangan, papan setiap anak. Yakni dengan memberikan jaminan lapangan pekerjaan bagi ayah- ayah mereka. Selanjutnya, negara akan menjamin secara langsung kebutuhan dasar publik berupa pendidikan, kesehatan, dan keamanan setiap anak.
Jaminan secara langsung dari negara diwujudkan dalam bentuk setiap anak bisa mendapatkan kebutuhan tersebut secara gratis dan berkualitas. Sehingga kesejahteraan bisa dirasakan oleh anak-anak. Melalui sistem pendidikan Islam, negara mampu membentuk generasi berkepribadian Islam dan berakhlak mulia. Hal ini sesuai dengan tujuan kurikulum pendidikan dalam Islam dan melalui sistem sanksi Islam negara akan memastikan pelaku kejahatan bagi anak mendapatkan hukuman yang setimpal akibat tindakan kriminalnya.
Dalam Islam dorongan perlindungan kepada anak-anak bukan sekadar karena kondisi fitrah mereka, lebih dari itu memberi perlindungan kepada anak-anak merupakan perintah Allah. Karenanya perlindungan anak dalam Islam didasarkan dorongan akidah Islam. Namun semua ini hanya akan menjadi konsep manakala Islam tidak diterapkan secara praktis oleh institusi negara. Oleh karena itu, keberadaan institusi Khilafah Islamiyah menjadi sebuah kebutuhan sebagai wujud perlindungan anak yang hakiki .
Wallahu a’lam