Oleh : Emma Lucya F
(Penulis BUku “Nak, Bunda Ingin Resign”)
#MuslimahTimes — Tak dinafikan, saat ini kiprah muslimah di sektor publik semakin beragam. Mulai dari profesi guru, dokter, direktur, pengusaha, politisi, akuntan, dan lain sebagainya. Bahkan profesi yang dulu hanya digeluti laki-laki, juga dilakoni perempuan. Contohnya pemain bola perempuan, penarik becak, tukang ojek perempuan, sopir taksi/busway perempuan, pilot perempuan, bahkan ada petinju perempuan.
Sayangnya, kiprah itu tak melulu positif. Tak sedikit muslimah yang terjerat kasus kriminal. Seperti penipuan, suap, korupsi, peredaran narkoba, KDRT, bahkan pembunuhan. Ironisnya, pelakunya juga tak sedikit yang –maaf- berkerudung. Kerudung hanya dijadikan kedok untuk melakukan kejahatan, atau saat tertangkap tangan melakukan kejahatan tiba-tiba penampilannya mendadak berubah 180 derajat: berkerudung, bahkan bercadar.
Kini, budaya permisif telah mengubah para perempuan menjadi pemberani. Berani menentang suami atas nama keadilan dan kesetaraan gender (KKG), berani buka-bukaan aurat atas nama eksistensi diri, tak malu membuka aib sendiri di hadapan banyak orang, bahkan tak ragu membunuh janin dengan dalih menjaga kecantikan diri. Apakah ini kebangkitan muslimah?
PROPAGANDA BARAT
Bila kita cermati, hingga saat ini, muslimah terus menjadi sasaran dari propaganda Barat untuk menjelek-jelekkan Islam dan kaum muslim. Segala bentuk identitas muslimah dipreteli, dan muslimah digiring untuk lebih mendekatkan dirinya dalam pemikiran dan budaya Barat yang sekular.
Bisa jadi memang banyak muslimah yang menutup auratnya, namun hanya mengikuti tren yang sedang berkembang. Sayang sekali, kebangkitan muslimah yang dielu-elukan masih merupakan kebangkitan yang palsu.
Pada 2002, BBC dalam dokumennya berjudul ‘Faith in Fashion’, secara khusus membahas bagaimana seorang perempuan bisa menjadi muslimah sekaligus menjadi bagian dari lingkaran fashion seperti di masyarakat Barat. Di mana, mereka memiliki keinginan untuk mengadopsi gaya pakaian Barat yang sudah ‘di-Islamkan’ –bagaimanapun bentuknya!
Karena itu, saat ini yang menjadi fokus perhatian Barat ialah mendiskreditkan dan membuat batasan baru tentang pakaian muslimah, serta penguatan konsep Barat tentang cara menetapkan apa yang benar dan apa yang salah (menurut persepsi mereka).
Seperti beberapa waktu lalu, tuntunan Islam tentang berpakaian (berkerudung dan bercadar) sengaja dibenturkan dengan warisan budaya lokal Indonesia (konde dan sejenisnya) yang sebenarnya sebuah pembandingan yang tak imbang. Ajaran Islam yang tuntunannya dari wahyu Ilahi dibandingkan dengan hasil pemikiran manusia yang sudah menjadi sejarah di masa lalu. Sungguh tak berimbang dan tak perlu juga diperdebatkan. Karena sebuah hasil budaya (urf) jika tidak sesuai dengan syariat Islam maka akan tertotak untuk dibenarkan atau dilanjutkan penggunaannya.
Dalam berpakaian juga demikian. Islam telah menetapkan aturan berkerudung (QS. An-Nur: 31) dan berjilbab (QS. Al-Ahzab: 59) dalam menutup aurat. Maka budaya lokal yang sebelumnya membuka aurat jelas tertolak dengan sendirinya.
Propaganda Barat seperti slogan “because I’m worth it” (karena saya layak mendapatkannya) ingin mengatakan bahwa perempuan yang tidak menggunakan produk mereka berarti tidak menghargai dirinya sendiri.
Jangan sampai slogan ini terus mengungkung pemikiran para muslimah di negeri ini hingga menjadi semakin konsumtif, obsesif, dan begitu sibuk mengurusi penampilannya, mengalahkan masalah-masalah lain dalam kehidupannya.
Atau, jangan sampai pola pikir muslimah justru semakin sekular dan liberal, tergiur gaya hidup hedonis-materialistis. Mereka gagal mengikatkan dirinya kepada suatu perangkat nilai-nilai Islam sesungguhnya. Kasus korupsi, penipuan, kejahatan seksual, atau pergaulan bebas yang dilakukan oleh muslimah adalah buah nyata serangan pemikiran Barat. Inilah ancaman ideologi Kapitalisme sekular yang menjadikan materi dan kesenangan dunia sebagai orientasi akhirnya.
KEMBALI KE ISLAM
Kebangkitan hakiki muslimah hanya jika mereka kembali pada Islam. Tidak hanya penampilan luarnya, tapi menyeluruh. Pola pikir, pola sikap dan perilakunya harus benar-benar kembali berpegang teguh pada Islam. Mereka memiliki kepribadian Islam. Berpegang teguh pada ajaran Islam, menjalankan perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya (takwa).
Islamlah yang harus menjadi standar perbuatan seorang muslimah, bukan budaya Barat yang sangat bertentangan dengan keimanannya. Dengan Islam sebagai rujukan yang melekat di kepalanya, terlepas dari tekanan atau realitas yang ada, seorang muslimah justru akan terhormat, mulia dan meraih kebangkitan hakiki.
Standar mereka dalam menilai baik (khair) dan buruk (syar) hanyalah Islam. Mereka menjalankan ajaran Islam bukan berdasarkan senang atau tidak senang, namun semata-mata hanya untuk mendapatkan keridaan Allah SWT. Kebangkitan hakiki yang mereka contohkan dapat diraih jika seorang muslimah memahami posisi dan peran sesuai yang digariskan syariat Islam secara kafah. Bukan menuntut kebebasan seperti perempuan Barat.
Kita bisa bercermin pada para muslimah di masa keemasan Islam. Sejarah mencatat nama-nama besar seperti Sayyidah Khadijah binti Khuwailid r.a., Sitti Fathimah Az-Zahra r.a., Asma binti Abu Bakar r.a., Sumayyah r.a., Ummu Habibah binti Abu Sufyan r.a., Lubabah binti al-Harits al-Hilaliyah r.a., Fathimah binti al-Khaththab r.a., Ummu Jamil binti al-Khaththab r.a., Ummu Syarik r.a., dan masih banyak lagi. Sejak bersentuhan dengan Islam, keseharian mereka hanya dipersembahkan demi kemuliaan Islam.
Merekalah pelopor dan peletak dasar pilar-pilar pergerakan muslimah yang hakiki, yang layak menjadi teladan pergerakan muslimah dari zaman ke zaman. Mereka mampu seperti itu karena hidup dalam naungan Negara Khilafah Islamiyah.[]