Oleh: Ratu Ika Chairunnisa
Di zaman ini, mendamba keadilan seolah tak beda dengan pungguk merindu rembulan. Suatu yang hanya ada di angan. Namun, kenyataan pahit yang justru terpampang jelas di hadapan. Belum lama, sidak di lapas sukamiskin dengan gamblang menjelaskan. Bahwa keadilan di mata hukum telah mati dalam kenyataan. Jika pemilik dan pejabat Negara yang menjadi narapidana, hukum pun seolah bermuka dua. Dengan mudah perlakuan antara si miskin dan kaya jelas terlihat beda.
Lapas mewah dengan fasilitas serba wah sudah bukanlah menjadi rahasia. AC, kulkas, i-phone, uang total ratusan juta, hanya sekelumit yang tertangkap kamera. Semua bisa dengan mudah dibeli, hanya saat ada materi mengiringi. Namun tahukah. Ada masa dimana keadilan bukan sekedar khayalan. Ada zaman disaat kekuasaan adalah sumber tegaknya keadilan. Penguasa nyata menjadi perisai umat mendapatkan jaminan seluruh kebutuhan, tak terkecuali keadilan.
Masa itu hanya ada di masa Islam ditinggikan. Aturan Allah yang jadi landasan. Hingga takutnya penguasa akan pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT, menjadi kekuatan totalitasnya mengemban setiap amanah. Di masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab, misalnya. Saat Madinah dan sekitarnya mengalami kemarau panjang, yang dikenal dengan tahun kelabu. Banyak penduduk yang akhirnya kelaparan. Angin yang berhembus membawa debu bak abu berterbangan. Binatang ternak banyak mati berhamburan. Bahan makanan semakin kekurangan pasokan. Penyakit dan kematian datang tak terelakkan.
Saat itu, banyak kaum muslimin tak makan roti, mentega, minyak, ataupun susu dalam waktu cukup lama. Saat itulah Umar bersumpah. Tak akan merasakan lezatnya samin, susu, mentega dan daging sampai seluruh rakyat bisa dengan mudah merasakannya. Benar saja, Ia Teguh menjalankan sumpahnya. Iapun terus berupaya keras siang malam tuk selamatkan rakyatnya dari bencana.
“Bagaimana aku akan tahu keadaan rakyatku, bila aku sendiri tidak mengalami apa yang mereka alami.” Itulah kekata Umar yang mampu membuat umat semakin memendam cinta. Cinta pada penguasa kaum muslimin yang tetap setia memegang teguh syari’at-Nya.
Dengan tegas ia menolak saat ada seorang pelayan memberikan Umar samin dan susu seharga 40 dirham. Padahal, kala itu keadaan kaum muslimin sudah cukup membaik. Pasokan samin dan susu sudah terlihat memadati pasar. Namun, begitulah sang Amirul Mukminin bersikap. Ia tak ingin makan enak, sebelum memastikan seluruh rakyatnya mendapat makanan serupa. Tak jarang, perut sang Khalifah berdendang menahan lapar. Lalu ia katakan, “Berbunyilah sesukamu. Demi Allah, kamu tidak akan makan samin sebelum rakyat memakannya.”
Masya Allah! Seperti di Negeri dongeng rasanya kisah tersebut. Saat kenyataan hari ini menampakkan rakusnya para penguasa dan pejabat Negara menghisap harta rakyat melalui beragam jenis pajak dan harga yang terus melonjak. Asik bermewahan di atas keringat dan darah rakyat. Namun kisah Umar bin Khatab adalah nyata. Memang ada keadilan yang nyata itu dalam sejarah emas kekhilafahan Islam.
Umar juga menolak diberi jamuan roti bercampur minyak. Ditambah daging terlezat yang sengaja disediakan untuknya. Ia justru katakan “Apa ini?” tanya Umar.
Mereka menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, ini adalah daging hewan yang kami sembelih kemarin.”
Dengan tegas Umar menjawab “Tidak. Tidak. Seburuk-buruk pemimpin adalah aku, bila aku memakan dagingnya yang paling enak, lalu aku memberi makan orang-orang dari daging yang tidak enak.”
Tak hanya itu. Keadilan di mata hukum pun benar-benar ditegakkan. Tak hanya untuk rakyat jelata. Namun semua orang baik penguasa ataupun rakyat biasa mendapat perlakuan tak beda. Muslim dan non muslim pun akan diperlakukan sama.
Ibnul Jauzi merawikan bahwa Amr bin Al-Ash pernah menerapkan sanksi hukum (had) minuman khamr terhadap Abdurrahman bin Umar. Saat itu, Amr bin Al-Ash menjabat sebagai wali (gubernur) Mesir. Biasanya pelaksanaan sanksi hukum semacam ini diselenggarakan di sebuah lapangan umum pusat kota. Dengan tujuan, adanya efek jera bagi masyatakat yang melihatnya. Namun, Amr bin Al-Ash menerapkan hukuman terhadap putra Khalifah di dalam rumah. Saat info ini sampai ke telinga Umar, merah padamlah wajahnya. Berdesir darahnya, mendapatkan kenyataan ada ketidakadilan terpampang di Negara kekuasaannya. Ia langsung melayangkan sepucuk surat pada sang gubernur Mesir.
“Dari hamba Allah, Umar, Amirul Mukminin. Ditujukan kepada si pendurhaka, putra Al-Ash. Aku heran terhadap tindakan anda, wahai putra Al-Ash. Aku juga heran terhadap kelancangan anda terhadapku dan pengingkaran anda terhadap perjanjianku. Aku telah mengangkat sebagai penggantimu dari orang-orang yang pernah ikut dalam perang Badar. Mereka lebih berhak dari anda. Apakah aku memilihmu untuk membangkangku? Aku melihat anda telah menodai kepercayaanku. Aku berpendapat lebih baik mencopot jabatanmu. Anda telah mencambuk Abdurrahman bin Umar di dalam rumahmu, sedang anda sudah mengerti bahwa tindakan semacam ini menyalahi aturanku? Abdurrahman itu tidak lain adalah bagian dari rakyatmu. Anda harus memperlakukan dia sebagaimana anda memperlakukan muslim lainnya. Akan tetapi anda katakan, “Dia putra Amirul Mukminin.” Anda sendiri sudah tahu bahwa tak ada perbedaan manusia di mata saya dalam hal yang berkaitan dengan hak yang harus bagi Allah. Bila anda telah menerima suratku ini, maka suruhlah dia (Abdurrahman) mengenakan mantel lebar hingga dia tahu bahwa keburukan perbuatan yang telah dilakukannya.”(DR. Muhammad Ash-Shalabi – _The Great Leader of Umar bin Khattab,_ hal 143).
Tak menunggu lama setelah membaca surat Umar, Abdurrahman digiring di sebuah lapangan pusat kota. Amr bin Al-Ash lalu mencambuk Abdurrahman di depan masyarakat. Bukan hanya kepada sang anak, keadilan berhasil tegak. Kepada seorang penguasa pun hukum tetap teguh ditegakkan. Adalah Jabalah, pemimpin terakhir Bani Ghassan yang tunduk pada imperium Romawi. Saat Islam berhasil menaklukkan wilayahnya, pemimpin bani Ghassanpun jatuh dalam pelukan Islam. Ia bersama pengikutnya resmi menyandang status muslim.
Suatu hari, Jabalah meminta izin akan berkunjung ke Madinah dalam waktu cukup lama. Umar sangat senang. Ia menjamu dan menyambut dengan hati riang. Jabalah bermaksud ingin sekaligus menunaikan haji. Sewaktu thawaf di Ka’bah, sarung Jabalah diinjak oleh seorang lelaki dari Bani Fazarah. Jabalah seketika meradang dan menempeleng laki-laki itu hingga patah tulang hidungnya. Lelaki tersebutpun menemui Umar bin Khattab. Mengadukan apa yang dialaminya. Umar menanyakan kejadian tersebut pada Jabalah. Jabalah tak memungkirinya.
“Hai Jabalah, mengapa anda menganiaya saudaramu sendiri, hingga tulang hidungnya sampai patah?” Tanya Umar.
“Aku sudah cukup sabar dengan tindakan si Badui itu. Sekiranya bukan karena kehormatan Ka’bah, sudah kucongkel kedua matanya.”
“Anda telah mengakui perbuatan anda. Sekarang, mana yang anda pilih, anda meminta maaf kepada si Badui itu atau aku laksanakan hukum qishash kepada anda?” Tegas Umar.
“Bagaimana anda akan menerapkan hukum itu pada saya? Bukankah dia itu seorang rakyat jelata, sementara saya adalah seorang Raja?” Jabalah tak terima.
“Islam telah menyamakan kalian berdua.” Jawab Umar.
“Wahai Amirul Mukminin, aku kira, setelah aku masuk Islam, aku akan menjadi lebih mulia dibanding pada masa jahiliyah.” Jabalah masih tak percaya.
Dengan tegas Umar kembali nyatakan, “Buang jauh-jauh pikiran macam itu! Bila anda tidak meminta maaf kepada orang itu, aku akan menjalani hukuman qishas pada anda.”
“Kalau begitu aku masuk Nasrani saja.” Jabalah menantang Umar.
“Bila anda masuk Nashrani, maka akan kupenggal lehermu, karena anda telah masuk Islam. Bila anda murtad, maka anda akan kuperangi.” (DR. Muhammad Ash-Shalabi – _The Great Leader of Umar bin Khattab,_hal 145).
Begitulah, keadilan ditegakkan pada masanya. Dengannya kedzaliman mampu dicerabut sampai ke akarnya. Syari’at Allah menjadi nyata terlihat di setiap sudut pandangan mata. Keindahan Islam bukan sekedar slogan dalam kata. Tapi mewujud nyata dalam penerapan Negara. Sudah selayaknya, kisah ini menjadi contoh tauladan Negara kita. Indonesia tercinta butuh sosok Umar bin Khattab yang tak goyah tegakkan setiap hukum Allah dalam Negara. Namun, sosok Umar bin Khattab tak mampu selesaikan problema, jika yang diterapkan justru sistem rakus yang menjauhkan kita dari aturan Allah sang pemilik semesta.
Maka, kembalikanlah kewenangan membuat hukum hanya pada-Nya. Hingga segera lahir banyak pemimpin yang menjadikan iman sebagai pondasi setiap langkah dan kebijakan Negara. Dengannya, harta, tahta dan kuasa tak lagi mampu menjadi alat penindas yang lemah. Keadilan akan segera menyebar di setiap sudut kota, bukan lagi sekedar khayalan semata.***